“Makanya tuntaskan prosesnya, Lawe. Jangan kepada koruptor-koruptor yang lemah saja lembagamu bisa garang”, tambah Sadrach.
“Siap Boss”, jawab Lawe bersemangat.
Journey 10: Jumat, 07:30-08:00 am, Perjalanan Manuka - Toadhall
“Kenapa kau begitu anti-agama, sih Drach”, tanya Lawe suatu kali. Percakapan dalam perjalanan sepulang kerja cleaning service kali ini seperti awalan sebuah interogasi.
“Kau tahu kan, orang sangat dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya, Lawe”, kalimat Sadrach terasa sangat serius di telinga Lawe. Ia seperti sedang membuka sebuah kotak berwarna oranye dari pesawat jatuh yang sering disebut kotak hitam itu.
“Aku pernah mengalami kehidupan yang pahit sekali, Lawe. Sebenarnya aku tidak berangkat dari keluarga yang kekurangan, Lawe. Aku besar di keluarga yang sangat berkecukupan. Setiap keinginanku selalu dipenuhi oleh orang tuaku yang sangat menyayangiku. Namun ada hal yang membuatku sangat kecewa pada Tuhan. Saat aku menginjak masa remaja, aku jatuh hati pada seorang gadis. Ternyata gadis itu menolak perasaanku. Itulah pertama kali aku merasakan tak terpenuhi keinginanku”, Sadrach menguraikan pengalaman hidupnya.
“Orang yang duduk disebelahmu ini juga pernah mengalaminya, Drach. Kau bukan satu-satunya orang malang seperti itu di dunia ini”, sela Lawe mencoba berempati.
“Aku tumbuh di lingkungan yang sangat religius, Lawe. Hari-hariku diisi dengan kegiatan mengaji dan menimba ilmu agama. Waktu itu aku dititipkan oleh ayahku pada kakekku yang memiliki sebuah pesantren di Kudus. Mungkin orang tuaku melihat aku punya bakat memberontak dan agak bandel, makanya aku dimasukkan ke pesantren. Mereka ingin perilakuku bisa diarahkan dan ditempa di pesantren itu. Belakangan kurenungkan pendekatan seperti itu justeru membuatku merasa seperti dibuang. Aku bosan dengan segala rutinitas pesantren salaf itu. Aku melawan tradisi yang dianut. Mulailah aku berkenalan dengan pemikiran para filosof”, tambah Sadrach sambil menghela napas panjangnya.
“Aku tahu, anak muda selalu ingin mengetahui hal-hal baru”, jawab Lawe sambil terus mengemudikan sedan yang melaju di ANZAC Parade.
“Yang aku inginkan sebenarnya adalah progresifitas, aku tak suka kejumudan dalam pemikiran. Diluar aspek teologi, perpecahan diantara kaum muslim membuatku kecewa dan frustrasi. Akalku tak sanggup menerima, bagaimana bisa kita menentukan hari raya saja bisa berbeda sampai dua tiga hari. Padahal bulan yang dilihat sama dan islamnya juga sama. Ironisnya negeri lain sudah menginjak-injak bulan itu. Akupun lalu berpaling pada pemikiran Barat”, urai Sadrach.
“Aku terpana dengan gebyar kebebasan berfikir yang mereka tawarkan. Aku anak yang cukup cerdas, Lawe. Selama menempuh SD, SMP dan SMA diluar kegiatan pesantren itu aku selalu mendapatkan juara kelas yang memberiku kepuasan intelektual. Sungguh kehidupan pesantren hanya membuatku bosan. Aku bisa seenaknya menjalani kehidupan pesantren seperti itu, karena memang pesantren itu milik kakekku. Teman-temanku tak berani menegurku, meski aku melanggar aturan pesantren yang ketat. Mereka juga tak berani melapor kepada kakekku. Jadilah aku menjadi anak yang lepas kendali”, tambahnya.