“Pemberontakanku itu akhirnya merembes pula pada pemberontakan intelektualku. Aku bosan dengan yang linier-linier saja, Lawe. Aku ingin hal yang beda. Aturan agama-pun aku terobos demi pemikiran baru yang bagiku jauh lebih menjanjikan. Teman-temankulah yang memperkenalkan pemikiran liberal itu kepadaku, melalui buku-buku bacaan dan internet. Dan saat ini aku tak bisa lepas dari arus yang menyeretku itu”, Sadrach menjelaskan yang sesekali disambut anggukan ritmis kepala Lawe.
“Sebenarnya kadang aku bertanya dalam hati apakah yang kulakukan ini memang benar. Kadangkala pula aku ingat kematian, sehingga ingin mempersiapkan bekalnya seperti diajarkan oleh agama. Tapi pemikiranku telah jauh dari aturan-aturan itu. Aku bertahan pada konsep setelah kematian itu hampa, tak ada kehidupan. Materialisme telah menjebakkan sampai sejauh ini”, tambah Sadrch seperti ABG galau.
“Kau masih bisa berubah, Sadrach. Aku tahu, didalam lubuk hatimu masih menyisakan ruang tauhid. Kau hanya perlu me-reset kembali cara pandang duniamu. Banyak hal-hal positif dari berfikir secara progressif, agar manusia menggunakan akalnya dan tak terjebak pada teks agama tanpa penalaran. Namun untuk lepas kendali dalam pemikiran yang sepenuhnya liberal adalah sebuah kesalahan besar, karena akal punya keterbatasan.”, jawab Lawe berusaha menghibur.
“Iya Lawe, saat ini aku ingin sekali memperbarui tauhid-ku kembali, keyakinanku pada Yang Maha Esa, pencipta alam semesta, yang tidak beranak dan diperanakkan”, jawan Sadrach lirih.
“Ok boss, Sadrach. Kita sudah sampai di Toadhall. Kita lanjutkan kembali short journey conversation kita Senin nanti. Tapi kalau kau masih masih ingin ngobrol, pintu unitku terbuka lebar untukmu malam ini”, kata Lawe sambil menghentikan mobilnya di tempat parkir Toadhall.
“Trims tawaranmu, kawan. Aku memang ingin ngobrol lagi setelah ini”, jawab Sadrach.
@@@
Catatan kaki: