Mohon tunggu...
Nico Andrianto
Nico Andrianto Mohon Tunggu... -

Bersyukur dalam kejayaan, bersabar dalam cobaan......

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

#Puzzle 8: Dust Buster Story

29 Desember 2015   16:18 Diperbarui: 29 Desember 2015   16:30 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Joe Octovits, panggilannya. Raut mukanya mengguratkan seorang George Bush Jr., tetapi dengan sifat dan perangai yang boleh dibilang kebalikannya. Ia sangat sopan, dan tidak brangasan. Perawakannya mungkin 10 centimeter lebih tinggi dari si presiden AS, karena saat berkunjung ke istana Negara dengan sepatu boot koboy-nya nampak Bush Jr. tidak lebih tinggi dari SBY. Joe adalah supervisor Lawe saat bekerja sebagai cleaner di sebuah residential area di daerah Manuka. Jangan dihina, banyak cleaner di Australia adalah para kandidat Master dan Doktor di berbagai bidang keilmuan. Meski kaum the Dust Buster itu bergelimang dengan debu dan kotoran, namun gaji besar yang mereka peroleh bisa untuk membeli rumah atau mobil saat pulang ke Tanah Air.

Dengan bahasa inggris logat Eropa timurnya yang kental, Joe adalah orang pertama yang mengajari Lawe teknik pembersihan yang benar. Lawe beruntung, supervisornya itu orang yang telaten mengajarinya menggunakan berbagai bahan kimia dan mempraktikkannya.

“Look at me, carefully, Lawe, kalau lantai kotor, maka pakailah mop dengan air panas yang banyak. Basahi lantai dengan air agak menggenang, lalu keringkan mop, dan serap air di lantai dengan sempurna, maka hasilnya akan seperti ini. Bersih bukan?”, kata Joe suatu hari.

Air, khususnya yang panas seperti dari tabung itu bisa kau gunakan untuk mopping, membersihkan tegel atau lantai. Dengan bahan kimia yang pas kau akan mendapatkan efek yang tepat, selain bau wangi floral atau fruity fresh yang menyegarkan. Untuk membersihkan lantai toilet bisa kau gunakan cairan cleaner degreaser warna merah, untuk membersihkan toiletnya kau bisa gunakan nitro clean all purpose detergent warna biru yang mengandung desinfectan, untuk wastafel sangat baik gunakanlah cairan super clean 40 warna kuning. Jangan campur cairan-cairan ini, karena bisa-bisa menimbulkan reaksi kimia yang berbahaya. Sedangkan untuk kotoran yang sangat bandel gunakanlah super clean warna putih air, tapi awas, jangan salah pakai cairan di pojok itu, karena akibatnya bisa fatal. Bisa-bisa tegel harus dikelupas dan diganti yang baru, sehingga bisa-bisa kau akan kerja bakti selama enam bulan untuk mengganti biayanya”, jelas Joe sambil menepuk-nepuk bahu Lawe.

Setelah itu Joe mengajari bagaimana menempatkan mop basah di atas bak air pel dengan cara diputar agar helai-helai mop terurai melingkar, sehingga mudah kering. “Jangan biarkan mop basah di dalam bak pel, ia akan busuk dan berjamur”, tambahnya.

Kalau untuk membersihkan kaca dan menggosok lift, cairan kimia apa yang harus aku pakai, Joe”, tanya Lawe.

Untuk kaca gunakan window magic glass cleaner warna biru muda yang bisa kausemprotkan dan kau bersihkan menggunakan lap ini. Sedangkan untuk mengkilapkan dinding lift gunakanlah cairan stainless steel polish warna putih susu. Aku telah buatkan lap khusus dengan gagang panjang untuk membersihkan lift.”, jelas Joe.

Pada lain kesempatan Joe berbagi ilmu lagi, “Kalau mem-vacuum karpet di lorong residential area, pastikan kau tidak terganggu oleh kabel panjang vacuum cleaner itu. Jadi kalau kabelnya menjalar di sebelah kanan stop contact listrik, sedotlah debu di sebelah kiri, demikian pula sebaliknya agar kau tak terganggu. Juga jangan sampai kabel itu terikat-ikat oleh kaki meja atau kursi. Setelah membersihkan sink atau wastafel, pastikan semua gagang kran air kearah kiri. Itu untuk memudahkan kamu membedakan mana yang telah terpakai dan harus kau bersihkan esok hari, dan mana yang masih bersih. Janganlah kau boros memakai tenagamu, Lawe”.

Joe Octovitz pula yang mengajari Lawe tentang filosofi seorang cleaner, “Kau harus bisa memanfaat kekuatan angin, air, suhu, mekanis gosokan dan bahan kimia untuk membersihkan banyak hal. Kekuatan angin bisa kau gunakan untuk menyedot debu dengan vacuum cleaner seperti ini, atau untuk meniup daun-daun serta debu dengan alat blowing mechine seperti ini. Alat mekanis gosok bertenaga listrik bisa digunakan untuk mengilapkan lantai, sedangkan mobil penyikat lantai bisa gunakan untuk membersihkan lantai tempat parkir ini”, jelasnya yang diserap Lawe dengan mengangguk-angguk. Penjelasan Joe diserap dengan serius oleh Lawe yang merasa perlu belajar ilmu pembersihan dari seorang pakar dan praktisi. Ia merasa beruntung Joe mau berbagi tips yang sangat membantunya menyelesaikan tugas hariannya itu.

#

Joe sebenarnya lebih mirip seorang agen rahasia dari sebuah negara Eropa Timur yang disusupkan ke Australia untuk menjadi sel tidur, daripada seorang cleaner profesional. Joe seorang Hungaria yang bangga sebagai keturunan Atilla the Hunt, ksatria legenda dari berabad silam yang mewakili keperkasaan Eropa kuno. Lebih dari itu semua, Joe adalah seorang sosialis tulen yang hidup di tengah dunia kapitalis Australia. Doktrin sosialisme begitu terserap di dalam tubuhnya yang mulai renta, sehingga ia anti segala yang berbau kapitalisme. Meski Blok Timur telah runtuh dan terkubur menjadi bangkai sejarah, ia terlanjur menjadi pribadi dengan mindset perang dingin. Pandangan Joe tentang sistem kapitalisme sungguh buruk, sesuatu yang ia kecam seperti sedang mencaci-maki sekte sempalan yang tersesat.

Joe menyebut orang-orang kaya tak mau menginjak tanah dan harus selalu diatas karpet merah bahkan sejak dari bandara. “Dulu pada saat revolusi industry dimulai dan banyak orang-orang kaya baru, para kapitalis berlaku sok kaya. Jangan heran, pada saat itu mereka ingin diperlakukan bak seorang raja. Ayahku pernah bilang, jika seorang kaya jaman dulu misalnya menginjak kabel gulungan vakum cleaner seperti yang kau bawa ini Lawe, maka para pekerja akan menggunting kabel itu demi tidak mengganggu kenyamanan berdiri si orang kaya itu”, Joe bersemangat memberi contoh yang disambut kernyit di dahi Lawe.

Joe Octovits sangat mencintai negerinya dan berjanji akan pulang saat masa “pension” nanti dan berkumpul dengan keluarganya. Perceraiannya dengan istrinya yang orang Australia asli telah memukul hidupnya. “Sejak bercerai dengan istriku dan hidup sendiri, aku memikirkan untuk suatu waktu kembali kenegaraku. Kurasakan, meski telah puluhan tahun tinggal permanen di Australia, aku belum bisa merasa sepenuhnya menjadi warga Australia. Nggak tahu kenapa, tinggal disini bisa hidup dengan cukup, tetapi semua seakan hanya kerja dan kerja. Hidupku seperti budak modern yang kerja demi membayar tagihan-tagihan dan membeli ini-itu”, kata Joe di sela-sela istirahat.

Anak-anaknya yang tumbuh dewasa dalam kultur Australia, hanya akan datang ke rumahnya saat mereka membutuhkan uang saja. Akhirnya Joe menyalurkan perasaannya itu dengan menggoreskan cat akrilik di kanvas. Joe berangsur menjadi seorang pelukis surealis, melukis wajah-wajah sedih wanita Barat. Satu lukisan yang ia pasang di dinding ruang tamu rumahnya adalah lukisan berukuran satu meter kali 80 sentimeter tentang seorang wanita tengah menyangga kepalanya dengan kedua tangannya dengan tatapan mata kosong menghiba. Beberapa lukisan lainnya dengan tema serupa ia pasang di dinding-dinding kamar tidurnya. Dimata Joe terdapat kekosongan jiwa wanita Barat muncul justeru saat kebebasan dalam dunia kapitalis yang egois telah mereka raih. Di negerinya, Hungaria, kondisi masyarakatnya masih seperti di Asia, penuh rasa kekeluargaan dan penghargaan kepada yang lebih tua dan juga kepada wanita.

Joe hijrah ke Australia pada tahun 1980-an saat berumur 23 tahun. Sebagai seorang yang berasal dari Eropa Timur, ia tak kesulitan memasuki pasar kerja sebagai cleaner yang memang banyak “dikuasai” orang dari Eropa Timur. Sambil mengunyah sereal gandum yang dicampur dengan susu panas kesukaannya, ia memulai pembicaraannya dengan Lawe, “Aku dulu sebagai anak muda ingin mencoba hal baru dengan pergi ke Australia. Dulu ada beberapa ratus orang dari negaraku bersamaku berimigrasi ke Australia. Ada yang tetap tinggal disini seperti aku, beberapa lainnya balik kenegaraku lagi. Sejak datang ke Canberra, aku kerja tak jauh-jauh dari urusan pembersihan alias cleaner. Karena punya anak dan istri, akupun tak pernah meninggalkan kota ini”.

Joe bersemangat saat menceritakan tentang Canberra, “Dulu Canberra kebanyakan berupa padang rumput, dan daerah Manuka ini adalah pusat kotanya. Saat aku datang, kota ini dulu masih sangat sepi. Hanya ada orang-orang keturunan Inggris yang tinggal yang kebanyakan dingin dan cuek. Lama-lama banyak pendatang dari Eropa Timur, Italia, Yunani, Yugoslavia, dan Asia”.

Joe sangat bersemangat saat menceritakan negerinya, beberapa diantaranya terkait teori konspirasi. Beberapa cerita dirasakan Lawe masuk akal, beberapa lainnya masih samar atau bahkan aneh. Lawe hanya mendengarkan penjelasan yang jauh dari pengetahuannya tersebut.

Lihat itu negara-negara Barat selalu berupaya menghisap negara-negara kaya sumber daya alam seperti negerimu. Mereka masuk dengan dalih apapun untuk mendapatkan bahan-bahan tambang. Hal itu tidak bisa mereka lakukan di negara sosialis pada waktu lalu. Kemudian mereka melakukan makar dengan membuat rezim-rezim boneka dan mengorbitkan tokoh-tokoh gadungan dengan kekuatan pencitraan serta dukungan media massa yang kuat. Dan hal tersebut akan ketahuan sepuluh atau dua puluh tahun kemudian seperti bisa kita lihat dalam program-program dokumenter di SBS”.

Hampir tidak mungkin saat ini negeri-negeri Barat menguasai secara militer negara lain, bahkan untuk negara lemah semacam Afghanistan, meskipun sudah dikeroyok oleh puluhan negara. Penjajahan ekonomi dengan membeli para pemimpin negara berkembang itu seperti mengulangi penjajahan jaman dahulu”, kata Joe.

Orang kapitalis akan semena-mena tanpa adanya pengimbang dari gerakan kiri”, tambah Joe. “Ingat kata-kataku, Lawe. Kau adalah sedikit orang Nusantara yang berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi di Australia. Kau harus menjadi orang yang sadar akan permainan global para kapitalis itu. Jadilah seperti Soekarno yang berani menentang Kapitalisme Global. Jadilah Hugo Chaves yang berani menasionalisasi perusahaan asing demi kesejahteraan warga negaranya. Jadilah engkau pembersih bagi korupsi di negerimu, korupsi besar yang melibatkan penjualan aset-aset bangsamu oleh para pemimpinmu sendiri”, tambah Joe sambil menepuk-nepuk pundak Lawe yang disambut dengan senyum khas Asia-nya.

#

Meja kayu berkerangka besi bulat berukuran satu setengah kali tiga meter dengan dua buah kursi panjang itu tidaklah memiliki pembatas. Namun bahasa tubuh para mahasiswa yang sedang berdiskusi menciptakan garis pemisah yang nyata diantara mereka. Di bawah langit biru itu, Sadrach di pojok kursi sedang menikmati wine-nya, sedangkan lima mahasiswa berada pada sisi lainnya. Suasana musim dingin dan berada dalam yurisdiksi Australia yang melegalkan minuman beralkohol memungkinkan Sadrach yang muslim menenggak minuman keras itu terjadi. Sadrach Hadikuncoro, pemuda 36 tahun dengan senyum bayi yang mengecoh, meski perutnya yang membuncit tak bisa menutupi umurnya itu. Parfum macho berkelas Sadrach terasa ovensif siang itu. Yang jelas, pemikiran liberal garis keras Sadrach telah membedakannya dengan kelima mahasiswa lainnya.

Nuansa kebebasan akademis di kampus Australia memungkinkan diskusi penuh energi itu terjadi. Pemikiran-pemikiran kritis yang telah disuarakan di negeri sendiri semakin nyaring terdengar. Sudah bukan menjadi perkara tabu mengolok-olok negeri sendiri sebagai jagoan korupsi kelas dunia ditengah-tengah mahasiswa internasional. Sangat kontras dengan perilaku mahasiswa China dan Vietnam yang tertutup tentang politik negerinya. Sadrach berupaya mempengaruhi teman-temannya untuk menuruti pemikiran liberalnya meskipun mengorbankan integritas kesatuan bangsanya serta menjual murah kekayaan negerinya. Dalam banyak kesempatan, ia mendukung daerah yang ingin melepaskan diri dari pemerintah pusat. Kali ini keenam mahasiswa itu sedang mendiskusikan penguasaan perusahaan-perusahaan multinasional asing atas kekayaan bumi Nusantara.

Membicarakan sumberdaya alam Nusantara itu seperti membicarakan kekayaan yang bukan milik kita, kawan. Buktinya begitu banyak kontrak pertambangan yang sungguh tidak adil bagi negara kita. Kontrak-kontrak Karya itu dibuat saat pergantian rezim dari Soekarno ke Soeharto yang sangat menguntungkan pihak perusahaan multinasional asing. Freeport contohnya, bertahun-tahun hanya membayar royalti 1% untuk bahan emas yang diambil, setelah bertahun-tahun mengakui sedang menambang bahan tembaga. Jadi nama Kota Tembagapura itu lebih tepatnya adalah Emaspura”, Penjelasannya Lawe seperti pizza lezat masakan seorang koki pemenang acara Master Chef yang dihidangkan panas-panas, membuat yang hadir ingin segera menikmatinya.

Benar, kawan. Sejak tahun 1967 melalui Freeport Amerika Serikat menguasai konsesi tambang di Grasberg dengan cadangan emas 46,1 juta troy ounce atau sebesar 1.429 milliar gram emas. Jumlah bahan-bahan tambang yang diambil tak terdeteksi dengan akurat, karena pengolahannya langsung dilakukan di luar Nusantara. Dalam ilmu pertambangan bisa dipastikan di dalam deposit batuan emas itu juga mengandung bahan uranium. Ironisnya, penguasaan saham pemerintah pada PT Freeport hanya 9,36%, jadi sangat minoritas untuk bisa mempengaruhi keputusan korporasi. Kontrak Karya semacam ini benar-benar sebuah penjajahan atas sumberdaya alam kita. Seolah Papua tidak masuk dalam yurisdiksi kedaulatan kita”, kata Ahmad yang sejarawan, lalu menambahkan: “Kurang dari satu generasi, Negeri Nusantara telah kembali dijajah bangsa lain. Kekayaan alamnya bukan untuk penduduknya, tetapi untuk perusahaan-perusahaan multinasional”.

Pembahasan kontrak karya tidak sesederhana itu, kawan. Dalam ilmu hukum itu dijelaskan; Contract is contract! Melanggar kontrak berarti wanprestasi, bro! That is just flat out stupid. Juga harus diingat, saat perjanjian itu ditandatangani, ekonomi kita sedang morat-marit pasca hancurnya Orde Lama, sehingga kita sangat memerlukan investasi asing”, kata-kata Sadrach agak congkak khas kaum liberal.

VOC saat menjajah Nusantara juga berdasarkan kontrak yang jelas, tentang penyewaan lahan untuk perkebunan atau pembangunan benteng-benteng pertahanan. Namun semua orang tahu substansinya sangat menghisap kekayaan alam dan manusia kita”, argumen Lawe seperti gerakan lincah Burung Srigunting meladeni angkuhnya sang gagak hitam.

VOC dulu datang dengan menawarkan konsesi monopoli atas produk-produk pertanian dan perkebunan yang bernilai mahal di Eropa. Mereka mendirikan benteng untuk memastikan hegemoni kontrak-kontrak mereka dilaksanakan oleh kerajaan-kerajaan partner. Setelah VOC mapan, pelan namun pasti mereka benar-benar menjajah bangsa kita secara ekonomi, sosial, politik dan keagamaan”, tambah Dadang Suhendar dari Bappennas mendukung argumen Lawe.

Bukankah biaya eksplorasi pertambangan itu mahal, kawan. Contohnya, untuk mendapatkan sumur minyak produktif, investor harus melakukan pengeboran berkali-kali. Dari lima kali pengeboran mungkin hanya satu atau dua yang berhasil. Dari yang berhasil itupun belum tentu mendapatkan sumur yang ekonomis, atau bisa beroperasi sampai puluhan tahun. Bisa-bisa hanya beroperasi setahun, lalu “habis”. Investasi pertambangan itu mahal dan beresiko tinggi. Ingat kejadian semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo akibat kesalahan pengeboran, bro! Bukankah telah dipahami adagium di dunia bisnis itu high risk, high return”, tangkis Sadrach.

Pikiran Sadrach itu, yang pertama ngawur, yang kedua banget ! Emas Freeport termasuk yang paling mudah diambil. Saya berasal dari Papua, sobat. Pada saat eksploitasi dimulai, gunung emas open pit itu hanya perlu dikeruk dan diolah sudah bisa menjadi batangan emas yang pasti laku di pasar internasional. Emas itu nilainya tak pernah turun, kawan. Jadi pemilik konsesi Freeport itu benar-benar seperti memiliki tangan Midas! Bahkan tak disentuhpun gumpalan-gumpalan itu memang emas”, sergah Sulaeman Pattipi.

Kontrak Karya Freeport itu memang terjadi karena kecelakaan sejarah. Kontrak itu benar-benar konsesi yang hanya menguntungkan asing. Makanya Amerika benar-benar menjaga kepentingan ekonominya itu, dengan cara apapun. Karakteristik negara superpower ini memang digerakkan oleh kepentingan ekonominya semata. Perangpun akan dilakukan jika bisa memberikan manfaat ekonomi, khususnya minyak dan bahan-bahan tambang bernilai mahal atau untuk bisnis peralatan militer mereka, kawan”, kata Ahmad Gassing sang sejarawan Universitas Nusantara.

Sang mahasiswa Asian Studies itu lalu menambahkan; “Kalau kita mengenal tentara Gurkha sebagai tentara bayaran global di masa lampau, di jaman sekarang lebih jauh perusahaan keamanan semacam XE Corporation mampu memengaruhi pemerintah resmi melakukan peperangan di berbagai negara. Perusahaan besar itu mampu mendorong pemerintah mereka untuk membuka pertempuran demi konsesi minyak, yang otomatis akan membuka peluang bagi kontrak-kontrak jasa keamanan dengan keuntungan milyaran dollar. Mereka mirip negara di dalam negara. Demi mengamankan pipa minyak di Asia Tengah, atau sumur-sumur minyak di Irak dan Timur Tengah mereka tak segan menggelar operasi militer. Kalau menggunakan militer resmi milik negara beresiko secara politik dengan jatuhnya korban, para industrialis kapitalis itu bisa menggunakan kontraktor militer swasta semacam Black Water atau Xe Corporation yang lebih aman secara politik. Memang sekarang ini era swasta, tidak jauh-jauh, di sini saja urusan penjagaan penjara telah disubkontrakkan kepada perusahaan swasta”.

Kan saat itu negara kita sedang tak punya SDM yang cukup, Bro n Sist. Kalau Bung Karno mati-matian menjaga SDA kita sampai SDM bangsa kita mampu melakukan eksplorasi dan eksploitasi sendiri, kebijakan Pak Harto justeru bertolakbelakang yaitu ramah terhadap investor asing. Jangan lupa saat itu kita negeri miskin. Jadi, apakah kawan-kawan sekalian akan membasmi perusahaan Freeport dari tanah Papua?”, kalimat terakhir retoris Sadrach menggertak lawan diskusinya khas kaum liberal.

Gagasan Dadang keluar seperti butiran-butiran air berguguran dari lubang-lubang shower yang kemudian memancar. Ide-idenya meskipun tak terlalu berenergi, tetapi segar menyirami sekujur tubuh diskusi tersebut. “Saat ini rasanya Kontrak Karya Freeport itu perlu dinegosiasi ulang, kawan. Kontrak Karya 20 tahun yang berakhir tahun 1997 itu ironisnya diperpanjang begitu saja tanpa tambahan bargaining power pemerintah kita. Kalau kerjasama itu sangat merugikan, itu namanya riba, kawan. Menetapkan royalty hanya 1% untuk emas, 1,25% untuk perak dan 1,5%-3,5% untuk tembaga yang dikeruk adalah riba, karena sangat tidak adil. Riba itu sangat dilarang agama, kawan. Bahkan kalau dinaikkan royalty emas jadi 3,75%, tembaga 4% dan perak 3,25% itu masih mirip penerimaan zakat bagi seorang dhuafa, daripada pemilik kedaulatan yang sah seperti diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Padahal zakat untuk janis usaha tambang saja menurut agama adalah 20% dengan analogi rikaz, zakat barang temuan.”, jawab Dadang Suhendar dari Bapennas.

Secara rata-rata Kontrak Karya Freeport itu hanya memberikan pendapatan kepada negara sebesar 20,35%, sementara yang 79,68% dikantongi oleh kontraktor asing. Angkanya diperoleh dari pendapatan royalty emas sebesar 1%, ditambah pajak badan sebesar 28% dan biaya operasi produksi sebesar 30% dari pendapatan kotor. Seandainya pemerintah hasil pemilu nanti cukup memiliki keberanian sehingga mampu menaikkan besaran royalty melalui renegosiasi kontrak 2%, 3,75% sampai 5%, negara hanya akan mendapatkan penghasilan antara 21,04%, 22,3% sampai 23,2%, masih jauh dari ideal. Jadi perlu perubahan dari rezim tax and royalty kepada rezim bagi hasil (PSC) seperti berlaku di industri minyak dan gas bumi”, tambah Dadang bersemangat.

Kerjasama yang saling menguntungkan yang dianjurkan agama. Bagi hasil seharusnya 50:50 antara pemilik kekayaan dan investor. Pembagian fifty-fifty keuntungan setelah dikeluarkan biaya produksi dan pajak-pajak yang tercermin pula dalam porsi kepemilikan saham kurasa hal yang sangat wajar. Kemudian bahan-bahan tambang itu harus diolah di negeri kita, agar berapa kandungan logamnya; tembaga, perak, emas, uraniumnya bisa diketahui dengan pasti agar transparan berapa nilai uangnya jika dijual di pasar internasional. Itupun harus disertai transfer teknologi, sehingga setelah sekian puluh tahun, pemilik bisa melakukan pengolahan sendiri. Bisakah BPK melakukan audit Kontrak Karya pertambangan semacam ini, Shinta”, tanya Lawe dengan melirik teman wanita di sebelahnya.

Sangat bisa, Boss. Secara konstitusional kita berhak, kecuali pemimpin kita takut dengan kekuatan Superpower yang bisa menggunakan cara-cara kasar. Paling tidak kami bisa memanfaatkan peta geospasial dalam sebuah audit lingkungan untuk menentukan batas-batas konsesi pertambangan, sekaligus menetapkan kewajiban-kewajiban seperti reklamasi yang sering diabaikan kontraktor Kontrak Karya. Kami bisa menghitung, berapa sebenarnya kewajiban yang harus dibayarkan oleh kontraktor itu, terkait bahan apa saja dan berapa kandungannya yang diambil serta berapa nilai royalty yang harus dibayarkan kepada negara kita. Sebagai info saja, kami sudah pernah memeriksa cost recovery perusahaan-perusahaan minyak asing yang menghasilkan temuan kerugian negara ratusan trilyun rupiah.”, jawab Shinta penuh keyakinan.

Bicara masalah pertambangan, datanya adalah 70-80% sumber minyak dan gas bumi Nusantara dikuasai oleh perusahaan asing. Penguasa minyak mentah Indonesia beberapa tahun lalu adalah Cevron (41%), Total E&P Indonesia (10%), CNOOC (4,6%), Conoco Philips (3,6). Dari 225 blok migas yang ada di Indonesia 120 dikuasai asing. Operator migas asing menguasai 75% potensi pertambangan, dan 25% sisanya oleh perusahaan nasional kita. Dari Sabang sampai Merauke, Kepulauan Nusantara ditancapi pipa-pipa pengeboran berdasarkan perjanjian Kontrak Karya dan PKP2B yang timpang. Dalam sebuah kasus ekstrim, lapangan gas Tangguh dikunci dalam perjanjian harga 3,35 dolar per mmbtu. Sebagai pembanding, lapangan gas Bontang yang dikelola Pertamina menjual gas alam cair ke Jepang dengan harga 20 dolar per mmbtu. Bukankah itu sebentuk penjajahan, sobat. Ngerinya lagi, saat ini industri hilir minyak-pun sudah mulai mereka masuki.”, tambah Dadang Suhendar bersemangat.

Bukankah kompetisi terbuka akan memberikan harga dan pelayanan yang optimum. Seperti pasar terbuka operator telekomunikasi seluler kita yang telah menurunkan biaya percakapan dan memberikan layanan terbaik. Lagian, bukankah model KPS itu baik, karena pembagiannya 60:40”, jawab Sadrach mencoba bertahan.

Hitungan KPS yang seolah-olah menguntungkan negara kita dengan pembagian 60:40 memang seolah-olah bagus. Namun menjadi bermasalah saat semua biaya cost recovery pemerintah kita yang harus menggantinya. Bahkan biaya minum wine dan golf seorang eksekutif perusahaan minyak asing atau untuk loby-loby, pemerintah kita yang harus bayar. Perusahaan-perusahaan kapitalis asing itu tentu tak mau hanya membagikan deviden kepada pemegang sahamnya sedikit saja, sehingga akan melakukan apa saja karena celah aturan kita, kawan.”, jawab Shinta dari BPK.

Sebentar dulu, kawan. Bagi perusahaan multinasional resiko investasi itu sangatlah tinggi. Coba bayangkan jika terjadi perubahan rezim yang tidak bersahabat terhadap mereka, misalnya pemerintahan sosialis model Chaves, islamis model Taliban atau nasionalis model Soekarno. Mereka bisa rugi besar, lho. Dalam sistem politik demokrasi liberal minus ideologi seperti sekarang ini mereka aman. Makanya mereka mempekerjakan kami-kami ini”, tambah Sadrach sambil terkekeh tanpa beban.

Kata-katamu itu seperti mantra yang berusaha menyihir. Jadi intinya bagaimana negara kita menjalankan strategi atas penetapan kontrak-kontrak eksploitasi sumberdaya alam kita. Kepercayaan diri sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat kata kuncinya. Negara-negara besar itu tentu akan berupaya sekuat tenaga mempengaruhi secara politis untuk mempertahankan dominasi kontrak-kontrak karya yang lama. Sudah tepat Mahkamah Konstitusi membubarkan BP Migas yang sering menjadi kepanjangan tangan kepentingan asing”, tambah Sulaeman Pattipi .

Yang menjadi inti argumen MK adalah peran BP Migas itu kan mewakili negara berhadapan dengan korporasi multinasional, jadi G to B gitu. Memang di meja-meja perundingan WTO-pun kedudukan MNC ini sederajat dengan sebuah negara. Jadi pada saat tertentu posisi negara bisa kalah melawan multinasional company. Kalau sudah begini, maka penjajahan model VOC benar-benar terjadi lagi, bukankah VOC itu perikatan perusahaan-perusahaan dagang Belanda”, tambah Ahmad Gassing.

Jadi jalan ceritanya begini, kawan-kawan. Rumus lama modus korupsi mengatakan pengusaha mendekati penguasa, memberikan bantuan dana politik demi perlindungan dan proteksi kebijakan. Akibatnya, DPR bisa menetapkan UU yang pro-asing di bidang pertambangan mineral dan migas. Karena tak mau kuenya berkurang, perusahaan multinasional bisa melakukan transfer pricing, mengemplang pajak atau membuat laporan akuntansi ganda. Jadi bisa jadi pajak dan royalti yang seharusnya mereka bayarkan itu jauh lebih besar. Makanya BPK harus mengambil inisiatif, mengaudit pelaksanaan konsesi-konsesi pertambangan“, kalimat Lawe seperti getaran gelombang microwave, bahkan mangkok tempat makanan pun tetap dingin sementara daging di dalamnya mendidih.

Gaji para pegawai di perusahaan minyak asing kita lebih rendah dari para expatriat, padahal beban kerja dan tanggung jawabnya sama. Jika bicara nasionalisme ekonomi, maka keadilan bagi para pekerja kita di perusahaan milik asing juga harus disuarakan”, tambah Lawe.

Jangan picik begitu, kawan. Kita kan hidup di jaman globalisasi. Saat ini semua saling terhubung. Maka kerjasama dalam bisnis itu penting. Tidak ada negara yang bisa mandiri dengan membatasi kerjasama dengan negara lain, kecuali tak akan maju seperti Korea Utara. Bukankah justeru negara seperti Amerika Serikat menerapkan larangan perusahaan-perusahaannya melakukan penyuapan di negara lain?” sergah Sadrach seperti mendidih darahnya.

Juga kalian harus paham, swastanisasi dan liberalisasi ekonomi itu akan menciptakan efisiensi yang akan memberikan pelayanan terbaik untuk konsumen. Jadi kita tidak harus membatasi investasi asing ke negara kita. Kenapa BUMN dan BUMD kita banyak yang merugi. 75% PDAM merugi. Berapa jumlah BUMN kita yang untung? Orang-orang politik di Senayan, tak terlalu tahu masalah efisiensi dan inovasi dan hanya menganggap BUMN sapi perahan belaka. Kalau perusahaan negara kita belum mampu, dan masih banyak terjadi kebocoran karena korupsi, maka why not perusahaan asing yang mengelola”, statement Sadrach seperti gelombang besar yang mengombang-ambingkan percakapan itu.

Bukankah setiap ada tuntutan terkait Freeport, selalu diikuti dengan gejolak politik dan keamanan di Papua. Gejolak di Papua akan selalu menjadi kartu yang dimainkan untuk menjaga berlangsungnya penghisapan kekayaan alam kita, persis cerita film Avatar. Itu hanya analisisku yang orang asli Papua, lho”, jawab Sulaeman Pattipi .

Janganlah forum ini berubah menjadi percakapan warung kopi. Itu hanyalah teori konspirasi, kawan. Kita ini civitas academica, kawan. Jangan sampai pembicaraan kita merembet pada teori yang tak ilmiah. Aku sebenarnya setuju jika konsesi Freeport direnegosiasi ulang. Tapi aku nggak bisa bantu, kawan. Tahu sendirilah, dana-dana lembaga kami dari negara sana.”, kata Sadrach mencoba bertahan.

(Lawe teringat kata-kata Joe Octovitz suatu waktu, “kalau negara ingin menaklukkan negara lain, maka ciptakan kekacauan dahulu, maka akan mudah menaklukkannya kemudian. Hal ini telah terjadi di Eropa Timur dimana dulu dibuai mimpi liberalisme ekonomi, namun hasilnya sekarang perusahaan-perusahaan negara dimiliki oleh asing”).

Jika kekayaan sumberdaya alam Nusantara tidak dihisap oleh bangsa lain, maka rakyat Nusantara itu kaya. Bahkan negeri kita akan bisa memberikan beasiswa kepada para mahasiswa dari negeri lain untuk menarik simpati mereka seperti dilakukan negara-negara besar semacam China, Amerika, Eropa dan Jepang. Yang akan terjadi adalah occidentalisme; sumbangan kepada negeri-negeri Barat berupa nilai-nilai kebaikan Asia seperti nilai-nilai keluarga dan religi. Tidak akan terjadi lagi para pemuda-pemudi berbakat kita mengemis proposal kegiatan ke negara lain dengan menjual bangsanya sendiri”, seru Lawe mantap.

Kalian harus ingat, kawan. Toh negara-negara Besar yang kalian kritik itu telah menolong kita, misalnya saat bencana Tzunami melanda. Ingatkah kawan-kawan Kapal USS Abraham Lincoln digunakan untuk membantu korban Tsunami Aceh, bersama USS Essex, USNS Mercy, 6 Hercules C-130’s, 12 Helicopter, obat-obatan, air minum, bantuan kemanusiaan, generator dan alat kesehatan darurat. Jangan lupa, negeri Adidaya itu juga membantu pembangunan jalan Banda Aceh – Calang untuk memenuhi komitmen internasional. Jika memang obat, kalian harus mengambilnya dari musuh. Tetapi jika itu racun, anda harus menolaknya meski datang dari seorang teman”, Sadrach mencoba menetralisir suasana.

Posisi Sadrach seperti daging sapi di dalam burger, terjepit antara kepentingan funding asing dan bangsanya sendiri. Jarang sekali LSM liberal yang bisa menyatukan idealismenya dengan keinginan lembaga pemberi donor. Lebih jarang lagi yang bisa mandiri secara pendanaan, sehingga mampu independen untuk memperjuangkan idealismenya. Makanya hampir tidak ada LSM yang kritis terhadap negara penyokong dana mereka. Ketika pembantaian terjadi di negara-negara lain, para pegiat HAM pesanan itu akan diam seribu bahasa karena menganggap tidak strategis dan tidak akan mendatangkan aliran dollar ke kantong mereka. Makanya sudah selayaknya NGO terutama yang dibiayai asing diaudit sumber pembiayaannya.

Memang tidak semua NGO yang dibiayai asing bertabrakan dengan kepentingan bangsa, tapi agenda mereka adalah kepentingan asing, dengan menggunakan isu-isu tertentu sebagai alat penekan. Sejak lama misi orientalisme ingin melemahkan bangsa Nusantara dengan membuat perpecahan-perpecahan agar anak-anak bangsa melupakan penjajahan terhadap kekayaan alam mereka.

Lawe mengritik Sadrach dalam sebuah diskusi mingguan, “Bagaimana kau menjelaskan email-emailmu di milis yang mendukung sparatisme, Drach?.Jangan jual negaramu sendiri kepada pihak asing, kawan”, untuk meminta pertanggungjawaban tulisan Sadrach dalam sebuah milis, “Kalau memang beberapa daerah mau memisahkan diri biarlah mereka memilih masa depannya sendiri. Toh Nusantara masih memiliki wilayah yang lain. Ibarat orang mau cerai, kenapa mesti dihalang-halangi“.

Bukankah korupsi itu lebih jahat, bung. Menghisap bangsa sendiri. Setidaknya aku tidak menghisap darah bangsa sendiri seperti para koruptor itu. Biarlah jika uang haram ini dari aktivitas multinasional company atau hasil spekulasi forex oleh para drakula keuangan internasional, aku nggak ngurus”, tambah Sadrach sambil mengusung sinisme akut kaum liberalis.

Bagiku rangkaian kata-katamu jauh lebih panjang dari maknanya, kawan. Kamu mengalihkan pembicaraan. Korupsi itu jahat siapapun setuju. Kalau masalah korupsi kita bisa sinergi kawan, aku kerja di KPK. Tapi kita sedang membicarakan nasionalisme ekonomi, kawan. Dalam banyak diskusi kau menolak ideologi transnasional sambil menancapkan ideologi transnasional yang lain. Kau bermain politik, kawan”, Jawab Lawe.

Bukankah di dalam hidup itu semuanya bermain politik. Dari hal terkecil, menyuruh anak dengan halus. Bisakah kau membelikan sesuatu nanti diberi uang untuk jajan, misalnya?”, tanya Sadrach. “Ini bisnis besar, kawan”, tambah Sadrach singkat.

Kau seperti anak burung Cuckoo yang menetas dan tumbuh besar di sarang burung lain. Sponsormu sengaja meletakkan telur pemikirannya melaluimu di kepulauan Nusantara. Dan pada saatnya kau akan menjadi penjaga yang setia bagi tuanmu itu. Perilakumu ini seperti Bajaj, badannya seperti mobil tapi jiwanya adalah sepeda motor”, kata Lawe.

(“Kamu hanyalah sekumpulan tulang yang dibungkus daging, berbentuk manusia. Kepalamu adalah sebuah tengkorak dan terdapat sekeping kecil otak di dalamnya yang dibungkus daging. Kamu hanya berlindung dibalik kekuasaan negara sponsormu”, batin Lawe).

Hellooo….., apakah kamu nggak paham, saat ekonomi kita kolaps dulu, apakah itu suatu kejadian ekonomi murni? Privatisasi BUMN kita, liberalisasi pasar kita, liberalisasi politk dan sosial. Tidak kawan, itu hasil sebuah rencana besar yang dirancang dengan sangat rapi. Pertajam instingsmu dengan membaca buku semacam Economic Hit Man - John Perkins, Bro. Saat kurs mata uang melonjak fluktuatif, bank-bank nasional berguguran, itu terjadi karena serangan ekonomi oleh para kapitalis dunia untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dan mendorong pergantian rezim yang mulai sulit dikendalikan saat itu. Jaringan kekuatan itu begitu masif, kawan. Tidakkah kau ingin ikut bergabung denganku di gerbong itu”, tanpa takut Sadrach berkicau.

"When you're dealing with the press, you're playing with a loaded gun, dan media ada disisi kami, saat ini era media, kawanku”, tambah Sadrach.

Kau tolak dan kau akui teori konspirasi dalam beberapa kali diskusi. Kau konsisten untuk tak konsisten, kawan. Tahukah, negerimu lebih banyak kaurugikan daripada kau untungkan. Apa kau tak punya rasa kebangsaan saat melakukan semuanya”, Lawe mencoba bertanya.

Apa itu konsep negara bangsa, sekarang ini yang penting kita bisa makan, kaya, terkenal, syukur-syukur bisa jadi tokoh besar, kawan”, Sadrach memotong ketus.

Jangankan urusan manusia, Kata-kata Tuhan pun akan kami belokkan demi kepentingan para sponsor kami, kapitalis internasional. Liberalisasi yang sangat deras di negara kita itu proyek besar, Saudara. Duit gede. Jualan isu itu akan membuat dolar mengalir ke kantong kita dan kawan-kawan kita. Bukankah permasalahan-permasalahan yang bisa dijual itu memang nyata”, tebas Sadrach.

Tapi itu menggadaikan kedaulatan bangsa, whose agenda is becoming your agenda?” Lawe tak mau kalah sambil memandangi Sadrach layaknya seorang pengkhianat.

Sudahlah, kita ikuti saja hukum rimba ini. Aku sudah nyerah dengan idealisme. Sudah aku kubur kata itu dari kamus hidupku, saudara”, Sadrach mulai bosan dengan pendirian Lawe.

Jumlah kami ini sedikit, maka inilah bentuk perlawanan kami. Beberapa anak pandai toh ikut dalam perahu ini. Bukankah kami-kami juga perlu makan, dan tuan-tuan kami menyediakan makanan yang melimpah. Klop pula dengan pemikiran kami yang agak nyeleneh”, tambahnya.

Dalam hatinya, Sadrach kadang merasa menyesal menjual idealismenya. Saat kuliah dulu ia merasa seorang yang sangat nasionalis, namun sekarang ia malah menjual negaranya pada kepentingan asing. Kadang ia merasa seperti hewan yang tidak akan menggigit tangan-tangan yang telah memberinya makanan.

Dengan menggunakan hegemoni ilmu pengetahuan, modal, media, teknologi, militer, negara-negara kuat mencoba menguasai bangsa lain, merebut minyak dan bahan tambang lainnya. Imperalisme sedang berjalan dengan mantra baru pengganti kolonialisme, yaitu Multi National Corporation. Melalui pintu liberalisasi ekonomi dan swastanisasi yang overdosis kekuatan modal itu masuk dengan derasnya, melemahkan peran negara serta pilar-pilar sosial budaya. Ironisnya, upaya jahat itu dibantu oleh orang-orang pribumi kolaborator. Mereka dibenci saudaranya karena gaya hidup dan pemikiran kebarat-baratan yang hanya dijadikan instrumen asing. Peran yang dimainkan Sadrach itu seperti istilah nyinyir; “Nuswantara wurung, Amerika durung (29)”.

 

Catatan Kaki:

 

29 Istilah itu berarti: menjadi orang Nusantara batal, sementara menjadi Amerika juga belum (setengah-setengah).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun