“Sudahlah, kita ikuti saja hukum rimba ini. Aku sudah nyerah dengan idealisme. Sudah aku kubur kata itu dari kamus hidupku, saudara”, Sadrach mulai bosan dengan pendirian Lawe.
“Jumlah kami ini sedikit, maka inilah bentuk perlawanan kami. Beberapa anak pandai toh ikut dalam perahu ini. Bukankah kami-kami juga perlu makan, dan tuan-tuan kami menyediakan makanan yang melimpah. Klop pula dengan pemikiran kami yang agak nyeleneh”, tambahnya.
Dalam hatinya, Sadrach kadang merasa menyesal menjual idealismenya. Saat kuliah dulu ia merasa seorang yang sangat nasionalis, namun sekarang ia malah menjual negaranya pada kepentingan asing. Kadang ia merasa seperti hewan yang tidak akan menggigit tangan-tangan yang telah memberinya makanan.
Dengan menggunakan hegemoni ilmu pengetahuan, modal, media, teknologi, militer, negara-negara kuat mencoba menguasai bangsa lain, merebut minyak dan bahan tambang lainnya. Imperalisme sedang berjalan dengan mantra baru pengganti kolonialisme, yaitu Multi National Corporation. Melalui pintu liberalisasi ekonomi dan swastanisasi yang overdosis kekuatan modal itu masuk dengan derasnya, melemahkan peran negara serta pilar-pilar sosial budaya. Ironisnya, upaya jahat itu dibantu oleh orang-orang pribumi kolaborator. Mereka dibenci saudaranya karena gaya hidup dan pemikiran kebarat-baratan yang hanya dijadikan instrumen asing. Peran yang dimainkan Sadrach itu seperti istilah nyinyir; “Nuswantara wurung, Amerika durung (29)”.
Catatan Kaki:
29 Istilah itu berarti: menjadi orang Nusantara batal, sementara menjadi Amerika juga belum (setengah-setengah).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H