Gagasan Dadang keluar seperti butiran-butiran air berguguran dari lubang-lubang shower yang kemudian memancar. Ide-idenya meskipun tak terlalu berenergi, tetapi segar menyirami sekujur tubuh diskusi tersebut. “Saat ini rasanya Kontrak Karya Freeport itu perlu dinegosiasi ulang, kawan. Kontrak Karya 20 tahun yang berakhir tahun 1997 itu ironisnya diperpanjang begitu saja tanpa tambahan bargaining power pemerintah kita. Kalau kerjasama itu sangat merugikan, itu namanya riba, kawan. Menetapkan royalty hanya 1% untuk emas, 1,25% untuk perak dan 1,5%-3,5% untuk tembaga yang dikeruk adalah riba, karena sangat tidak adil. Riba itu sangat dilarang agama, kawan. Bahkan kalau dinaikkan royalty emas jadi 3,75%, tembaga 4% dan perak 3,25% itu masih mirip penerimaan zakat bagi seorang dhuafa, daripada pemilik kedaulatan yang sah seperti diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Padahal zakat untuk janis usaha tambang saja menurut agama adalah 20% dengan analogi rikaz, zakat barang temuan.”, jawab Dadang Suhendar dari Bapennas.
“Secara rata-rata Kontrak Karya Freeport itu hanya memberikan pendapatan kepada negara sebesar 20,35%, sementara yang 79,68% dikantongi oleh kontraktor asing. Angkanya diperoleh dari pendapatan royalty emas sebesar 1%, ditambah pajak badan sebesar 28% dan biaya operasi produksi sebesar 30% dari pendapatan kotor. Seandainya pemerintah hasil pemilu nanti cukup memiliki keberanian sehingga mampu menaikkan besaran royalty melalui renegosiasi kontrak 2%, 3,75% sampai 5%, negara hanya akan mendapatkan penghasilan antara 21,04%, 22,3% sampai 23,2%, masih jauh dari ideal. Jadi perlu perubahan dari rezim tax and royalty kepada rezim bagi hasil (PSC) seperti berlaku di industri minyak dan gas bumi”, tambah Dadang bersemangat.
“Kerjasama yang saling menguntungkan yang dianjurkan agama. Bagi hasil seharusnya 50:50 antara pemilik kekayaan dan investor. Pembagian fifty-fifty keuntungan setelah dikeluarkan biaya produksi dan pajak-pajak yang tercermin pula dalam porsi kepemilikan saham kurasa hal yang sangat wajar. Kemudian bahan-bahan tambang itu harus diolah di negeri kita, agar berapa kandungan logamnya; tembaga, perak, emas, uraniumnya bisa diketahui dengan pasti agar transparan berapa nilai uangnya jika dijual di pasar internasional. Itupun harus disertai transfer teknologi, sehingga setelah sekian puluh tahun, pemilik bisa melakukan pengolahan sendiri. Bisakah BPK melakukan audit Kontrak Karya pertambangan semacam ini, Shinta”, tanya Lawe dengan melirik teman wanita di sebelahnya.
“Sangat bisa, Boss. Secara konstitusional kita berhak, kecuali pemimpin kita takut dengan kekuatan Superpower yang bisa menggunakan cara-cara kasar. Paling tidak kami bisa memanfaatkan peta geospasial dalam sebuah audit lingkungan untuk menentukan batas-batas konsesi pertambangan, sekaligus menetapkan kewajiban-kewajiban seperti reklamasi yang sering diabaikan kontraktor Kontrak Karya. Kami bisa menghitung, berapa sebenarnya kewajiban yang harus dibayarkan oleh kontraktor itu, terkait bahan apa saja dan berapa kandungannya yang diambil serta berapa nilai royalty yang harus dibayarkan kepada negara kita. Sebagai info saja, kami sudah pernah memeriksa cost recovery perusahaan-perusahaan minyak asing yang menghasilkan temuan kerugian negara ratusan trilyun rupiah.”, jawab Shinta penuh keyakinan.
“Bicara masalah pertambangan, datanya adalah 70-80% sumber minyak dan gas bumi Nusantara dikuasai oleh perusahaan asing. Penguasa minyak mentah Indonesia beberapa tahun lalu adalah Cevron (41%), Total E&P Indonesia (10%), CNOOC (4,6%), Conoco Philips (3,6). Dari 225 blok migas yang ada di Indonesia 120 dikuasai asing. Operator migas asing menguasai 75% potensi pertambangan, dan 25% sisanya oleh perusahaan nasional kita. Dari Sabang sampai Merauke, Kepulauan Nusantara ditancapi pipa-pipa pengeboran berdasarkan perjanjian Kontrak Karya dan PKP2B yang timpang. Dalam sebuah kasus ekstrim, lapangan gas Tangguh dikunci dalam perjanjian harga 3,35 dolar per mmbtu. Sebagai pembanding, lapangan gas Bontang yang dikelola Pertamina menjual gas alam cair ke Jepang dengan harga 20 dolar per mmbtu. Bukankah itu sebentuk penjajahan, sobat. Ngerinya lagi, saat ini industri hilir minyak-pun sudah mulai mereka masuki.”, tambah Dadang Suhendar bersemangat.
“Bukankah kompetisi terbuka akan memberikan harga dan pelayanan yang optimum. Seperti pasar terbuka operator telekomunikasi seluler kita yang telah menurunkan biaya percakapan dan memberikan layanan terbaik. Lagian, bukankah model KPS itu baik, karena pembagiannya 60:40”, jawab Sadrach mencoba bertahan.
“Hitungan KPS yang seolah-olah menguntungkan negara kita dengan pembagian 60:40 memang seolah-olah bagus. Namun menjadi bermasalah saat semua biaya cost recovery pemerintah kita yang harus menggantinya. Bahkan biaya minum wine dan golf seorang eksekutif perusahaan minyak asing atau untuk loby-loby, pemerintah kita yang harus bayar. Perusahaan-perusahaan kapitalis asing itu tentu tak mau hanya membagikan deviden kepada pemegang sahamnya sedikit saja, sehingga akan melakukan apa saja karena celah aturan kita, kawan.”, jawab Shinta dari BPK.
“Sebentar dulu, kawan. Bagi perusahaan multinasional resiko investasi itu sangatlah tinggi. Coba bayangkan jika terjadi perubahan rezim yang tidak bersahabat terhadap mereka, misalnya pemerintahan sosialis model Chaves, islamis model Taliban atau nasionalis model Soekarno. Mereka bisa rugi besar, lho. Dalam sistem politik demokrasi liberal minus ideologi seperti sekarang ini mereka aman. Makanya mereka mempekerjakan kami-kami ini”, tambah Sadrach sambil terkekeh tanpa beban.
“Kata-katamu itu seperti mantra yang berusaha menyihir. Jadi intinya bagaimana negara kita menjalankan strategi atas penetapan kontrak-kontrak eksploitasi sumberdaya alam kita. Kepercayaan diri sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat kata kuncinya. Negara-negara besar itu tentu akan berupaya sekuat tenaga mempengaruhi secara politis untuk mempertahankan dominasi kontrak-kontrak karya yang lama. Sudah tepat Mahkamah Konstitusi membubarkan BP Migas yang sering menjadi kepanjangan tangan kepentingan asing”, tambah Sulaeman Pattipi .
“Yang menjadi inti argumen MK adalah peran BP Migas itu kan mewakili negara berhadapan dengan korporasi multinasional, jadi G to B gitu. Memang di meja-meja perundingan WTO-pun kedudukan MNC ini sederajat dengan sebuah negara. Jadi pada saat tertentu posisi negara bisa kalah melawan multinasional company. Kalau sudah begini, maka penjajahan model VOC benar-benar terjadi lagi, bukankah VOC itu perikatan perusahaan-perusahaan dagang Belanda”, tambah Ahmad Gassing.
“Jadi jalan ceritanya begini, kawan-kawan. Rumus lama modus korupsi mengatakan pengusaha mendekati penguasa, memberikan bantuan dana politik demi perlindungan dan proteksi kebijakan. Akibatnya, DPR bisa menetapkan UU yang pro-asing di bidang pertambangan mineral dan migas. Karena tak mau kuenya berkurang, perusahaan multinasional bisa melakukan transfer pricing, mengemplang pajak atau membuat laporan akuntansi ganda. Jadi bisa jadi pajak dan royalti yang seharusnya mereka bayarkan itu jauh lebih besar. Makanya BPK harus mengambil inisiatif, mengaudit pelaksanaan konsesi-konsesi pertambangan“, kalimat Lawe seperti getaran gelombang microwave, bahkan mangkok tempat makanan pun tetap dingin sementara daging di dalamnya mendidih.