Mohon tunggu...
Nico Andrianto
Nico Andrianto Mohon Tunggu... -

Bersyukur dalam kejayaan, bersabar dalam cobaan......

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

#Puzzle 8: Dust Buster Story

29 Desember 2015   16:18 Diperbarui: 29 Desember 2015   16:30 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Joe menyebut orang-orang kaya tak mau menginjak tanah dan harus selalu diatas karpet merah bahkan sejak dari bandara. “Dulu pada saat revolusi industry dimulai dan banyak orang-orang kaya baru, para kapitalis berlaku sok kaya. Jangan heran, pada saat itu mereka ingin diperlakukan bak seorang raja. Ayahku pernah bilang, jika seorang kaya jaman dulu misalnya menginjak kabel gulungan vakum cleaner seperti yang kau bawa ini Lawe, maka para pekerja akan menggunting kabel itu demi tidak mengganggu kenyamanan berdiri si orang kaya itu”, Joe bersemangat memberi contoh yang disambut kernyit di dahi Lawe.

Joe Octovits sangat mencintai negerinya dan berjanji akan pulang saat masa “pension” nanti dan berkumpul dengan keluarganya. Perceraiannya dengan istrinya yang orang Australia asli telah memukul hidupnya. “Sejak bercerai dengan istriku dan hidup sendiri, aku memikirkan untuk suatu waktu kembali kenegaraku. Kurasakan, meski telah puluhan tahun tinggal permanen di Australia, aku belum bisa merasa sepenuhnya menjadi warga Australia. Nggak tahu kenapa, tinggal disini bisa hidup dengan cukup, tetapi semua seakan hanya kerja dan kerja. Hidupku seperti budak modern yang kerja demi membayar tagihan-tagihan dan membeli ini-itu”, kata Joe di sela-sela istirahat.

Anak-anaknya yang tumbuh dewasa dalam kultur Australia, hanya akan datang ke rumahnya saat mereka membutuhkan uang saja. Akhirnya Joe menyalurkan perasaannya itu dengan menggoreskan cat akrilik di kanvas. Joe berangsur menjadi seorang pelukis surealis, melukis wajah-wajah sedih wanita Barat. Satu lukisan yang ia pasang di dinding ruang tamu rumahnya adalah lukisan berukuran satu meter kali 80 sentimeter tentang seorang wanita tengah menyangga kepalanya dengan kedua tangannya dengan tatapan mata kosong menghiba. Beberapa lukisan lainnya dengan tema serupa ia pasang di dinding-dinding kamar tidurnya. Dimata Joe terdapat kekosongan jiwa wanita Barat muncul justeru saat kebebasan dalam dunia kapitalis yang egois telah mereka raih. Di negerinya, Hungaria, kondisi masyarakatnya masih seperti di Asia, penuh rasa kekeluargaan dan penghargaan kepada yang lebih tua dan juga kepada wanita.

Joe hijrah ke Australia pada tahun 1980-an saat berumur 23 tahun. Sebagai seorang yang berasal dari Eropa Timur, ia tak kesulitan memasuki pasar kerja sebagai cleaner yang memang banyak “dikuasai” orang dari Eropa Timur. Sambil mengunyah sereal gandum yang dicampur dengan susu panas kesukaannya, ia memulai pembicaraannya dengan Lawe, “Aku dulu sebagai anak muda ingin mencoba hal baru dengan pergi ke Australia. Dulu ada beberapa ratus orang dari negaraku bersamaku berimigrasi ke Australia. Ada yang tetap tinggal disini seperti aku, beberapa lainnya balik kenegaraku lagi. Sejak datang ke Canberra, aku kerja tak jauh-jauh dari urusan pembersihan alias cleaner. Karena punya anak dan istri, akupun tak pernah meninggalkan kota ini”.

Joe bersemangat saat menceritakan tentang Canberra, “Dulu Canberra kebanyakan berupa padang rumput, dan daerah Manuka ini adalah pusat kotanya. Saat aku datang, kota ini dulu masih sangat sepi. Hanya ada orang-orang keturunan Inggris yang tinggal yang kebanyakan dingin dan cuek. Lama-lama banyak pendatang dari Eropa Timur, Italia, Yunani, Yugoslavia, dan Asia”.

Joe sangat bersemangat saat menceritakan negerinya, beberapa diantaranya terkait teori konspirasi. Beberapa cerita dirasakan Lawe masuk akal, beberapa lainnya masih samar atau bahkan aneh. Lawe hanya mendengarkan penjelasan yang jauh dari pengetahuannya tersebut.

Lihat itu negara-negara Barat selalu berupaya menghisap negara-negara kaya sumber daya alam seperti negerimu. Mereka masuk dengan dalih apapun untuk mendapatkan bahan-bahan tambang. Hal itu tidak bisa mereka lakukan di negara sosialis pada waktu lalu. Kemudian mereka melakukan makar dengan membuat rezim-rezim boneka dan mengorbitkan tokoh-tokoh gadungan dengan kekuatan pencitraan serta dukungan media massa yang kuat. Dan hal tersebut akan ketahuan sepuluh atau dua puluh tahun kemudian seperti bisa kita lihat dalam program-program dokumenter di SBS”.

Hampir tidak mungkin saat ini negeri-negeri Barat menguasai secara militer negara lain, bahkan untuk negara lemah semacam Afghanistan, meskipun sudah dikeroyok oleh puluhan negara. Penjajahan ekonomi dengan membeli para pemimpin negara berkembang itu seperti mengulangi penjajahan jaman dahulu”, kata Joe.

Orang kapitalis akan semena-mena tanpa adanya pengimbang dari gerakan kiri”, tambah Joe. “Ingat kata-kataku, Lawe. Kau adalah sedikit orang Nusantara yang berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi di Australia. Kau harus menjadi orang yang sadar akan permainan global para kapitalis itu. Jadilah seperti Soekarno yang berani menentang Kapitalisme Global. Jadilah Hugo Chaves yang berani menasionalisasi perusahaan asing demi kesejahteraan warga negaranya. Jadilah engkau pembersih bagi korupsi di negerimu, korupsi besar yang melibatkan penjualan aset-aset bangsamu oleh para pemimpinmu sendiri”, tambah Joe sambil menepuk-nepuk pundak Lawe yang disambut dengan senyum khas Asia-nya.

#

Meja kayu berkerangka besi bulat berukuran satu setengah kali tiga meter dengan dua buah kursi panjang itu tidaklah memiliki pembatas. Namun bahasa tubuh para mahasiswa yang sedang berdiskusi menciptakan garis pemisah yang nyata diantara mereka. Di bawah langit biru itu, Sadrach di pojok kursi sedang menikmati wine-nya, sedangkan lima mahasiswa berada pada sisi lainnya. Suasana musim dingin dan berada dalam yurisdiksi Australia yang melegalkan minuman beralkohol memungkinkan Sadrach yang muslim menenggak minuman keras itu terjadi. Sadrach Hadikuncoro, pemuda 36 tahun dengan senyum bayi yang mengecoh, meski perutnya yang membuncit tak bisa menutupi umurnya itu. Parfum macho berkelas Sadrach terasa ovensif siang itu. Yang jelas, pemikiran liberal garis keras Sadrach telah membedakannya dengan kelima mahasiswa lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun