" Maapkan aku Pak. Semua itu aku lakukan demi keluarga, " kataku lagi.
" Apa ? Demi keluarga ? Kamu itu seperti anak tak normal, ya. Jadi kamu sengaja untuk mencoreng keluarga, " Bapakku lebih marah lagi. Aku seperti kebingungan mau ngomong apa. Disaat itu pula, Ibu datang  pulang dagang gorengan.
" Ada apa ini, ribut-ribut begini, " tanya ibu.
" Lihat ini Bu, kita diundang ke sekolah. Tampaknya, Si Badai ini, sering berbuat nakal di sekolah, " kata Bapak.
Ibu mendekatiku. Ia membelai rambutku. Dari mulutnya mengalir kata-kata sejuk, " Nak, kenapa kamu itu berbuat nakal. Sekolah bukan tempat untuk nakal-nakal, tapi tempat untuk belajar, " kata Ibu lirih.
Aku menangis sambil memeluk Ibu, " Ibu, maapkan aku. Memang, Ibu dan Bapak dulu tidak sanggup menyekolahkanku ke SMA. Hanya aku memaksa ingin sekolah. Ibu dan Bapak tidak sanggup karena faktor biaya. " tuturku berkali-kali menyeka air mata.
" Apa hubungannya nak dengan kenakalanmu di sekolah ? Memang, Bapak dan Ibu dulu tidak mengijinkan kamu melanjutkan sekolah. Bapakmu sakit-sakitan, takut tidak terbayarkan biaya sekolahnya, " kata Ibu.
" Atas dasar itu Bu, aku kasihan kepada Ibu dan Bapak. Jangankan untuk membiayai sekolah, sehari-hari pun kita sering tidak makan. Padahal, selama ini, Â banyak hal yang harus dipenuhi orang tua, untuk kelancaran sekolah, " tuturku. Bapak dan Ibu serius mendengarkan penuturanku itu.
Contohnya saja, kataku, teman-teman pakaian seragam itu ada pengganrinya. Sedangkan aku, hanya itu-itu saja, hingga kumal dan kusut tanpa disetrika. Ketika waktu hari praktik; semua pakai baju bebas, hanya aku yang pakai baju seragam putih abu-abu. Aku ingin seperti mereka, tapi untuk meminta kepada Bapak dan Ibu, aku kasihan.
Lalu, banyak iuran sekolah, yang tidak bisa kupenuhi. Termasuk SPP bulanan. Petugas Tata Usaha berkali-kali nagih depan kelas. Aku malu. Tapi, aku kasihan untuk meminta kepada Bapak dan Ibu, " Tapi, aku tidak ingin, mereka tahu bahwa aku ini miskin. Makanya, aku berupaya untuk  berbuat nakal. Agar mereka bisa memandang aku sebagai siswa nakal. Bukan siswa miskin.
" Padahal, berbuat nakal di sekolah itu, Â bukan jiwaku sebenarnya. Tapi, karena aku tidak ingin diremehkan karena kemuskinan, aku berusaha untuk berbuat nakal. Karena dengan nakal, teman-teman akan takut kepadaku, " tuturku lagi. Bapak dan Ibu terlihat menunduk. Di pipi Ibu mengalir air mata.