Mohon tunggu...
Tatang Tarmedi
Tatang Tarmedi Mohon Tunggu... Jurnalis - Untuk share info mengenai politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Hidup akan jauh lebih bernilai, jika kau punya sebuah tujuan penting.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tahun 1986 Badai di SMA

1 Oktober 2023   04:07 Diperbarui: 1 Oktober 2023   07:10 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku Badai, siswa kelas 2 SMA Antah Berantah Tahun Ajaran 1986. Aku distempel siswa urakan, kurang disiplin, mudah marah dan  suka melawan guru.  Stempel-stempel itu diidentikan dengan kepribadianku. Aku  menjadi senang dipandang sebagai siswa nakal.

Aku suka berpakaian seragam tidak rapi tiap harinya. Baju seragamku, hanya itu-itu saja, tidak pernah diganti, kusut pastinya,  karena tidak pernah distrika.  Hari pelajaran praktik, seharusnya memakai baju praktik, aku tidak peduli dengan aturan itu, tetap saja  Si kumal putih abu-abu yang kupakai.

Satu buku untuk semua mata pelajaran. Mata pelajaran apa saja, semuanya ada di buku itu. Aku sering  minta lembaran tengahnya buku kepada teman-teman. Seluruh teman sekelas pada kebagian secara bergiliran. Tidak pernah ada yang tidak memberi.

Aku suka melambatkan diri masuk kelas. Ketika guru mau mulai mengajar, baru aku datang. Itu pun dengan tampilan yang sembrawut. Satu buku tipis tanpa pulpen ada dalam kopor gusur. Masuk kelas dengan menggusur kopor. Layaknya peserta Indonesian Idol yang tereleminasi.

Saat mau menulis, aku suka celingukan tak bawa pulpen. Untung saja, Ketua Murid kelasku suka jadi donatur tetap. Setiap aku kebingungan tak bawa pulpen, ia selalu saja memberiku pinjaman pulpen. Tapi, akhirnya, pulpen itu tisak pernah kembali.

Semua siswa di sekolahku, hampir tidak ada yang mendekatiku. Mungkin mereka pada takut. Kecuali Mia, satu teman wanitaku. Dia selalu hadir, disaat aku terkucil. Dia mengaku senang kepadaku, karena aku jagoan menulis puisi. Sedangkan, Mia, dikenal jagoan deklamasi.

Di mata Mia, aku tidak layak disebut siswa nakal. Malah, ia lebih setuju bila aku dijuluki seniman kecil. Mia selalu pinjamkan buku-buku puisi dari perpustakaan. Terutama buku-buku kumpulan puisi WS. Rendra.

Pernah, Mia tampil di Aula sekolah, dalam satu acara. Dia membacakan puisi Lagu Senja karya Penyair Sapardi Joko Damono. Sebelum berdeklamasi, ia peruntukan puisi itu untuk namaku. Semua hadir gemuruh mendengarkan Mia berdeklamasi.

Akupun membalasnya pada satu momen. Aku bikin puisi panjang berjudul Panggilan Desa. Puisi itu diperuntukan buat Mia. Dimuat di satu majalah. Ketika ada event dengan melibatkan siswa-siswa SMA se kabupaten. Siswa-siswa perwakilan dari sekolah lain, banyak ingin bertemuku, sang penulis puisi itu.

Aku mudah tersinggung. Seorang kakak kelas, ahli beladiri. dia dianggap 'macannya' kelas itu. Pada suatu hari bermasalah denganku. Aku dan dia  diarak siswa-siswa sekolahku   menuju satu lapang sepakbola.  Seolah untuk ajang penentuan siapa yang layak disebut macan sekolah.

Di lapangan itu, aku dan dia berduel. Namun, hasilnya draw. Keburu datang Pak Umar, guru matematika . Tampaknya, ada siswa memberitahukan  ada perkelahian di lapangan sepak bola.

" Kamu ini keterlaluan, Badai. Mau jadi apa kamu itu, " kata Pak Umar, Guru Matematika, pada suatu hari. Ia dikenal sebagai guru galak. Badannya tinggi besar, kulitnya hitam pekat. Siswa-siswa pada takut. Bahkan, ada beberapa siswa, memilih untuk tidak sekolah, bila ada pelajaran matematika.

 " Apa perlunya bapak ngomong begitu. Itu urusan aku pak, " kataku. Sama sekali aku tidak takut dengan nama besar Pak Umar selaku guru galak.  Bola mata Pak Umar seperti mau keluar. Ia menjambak kerah bajuku.

, " Oh, begitu ya, bisa-bisanya kamu melawan guru. Begini saja, nasib kamu akan aku tuntaskan hari ini, " katanya. Lantas ia menanyai satu-satu siswa-siswa di kelasku. Dari mulai barisan depan hingga belakang menyatakan setuju atau tidak  aku dikeluarkan dari sekolah.

Pada awalnya, teman-temanku menyatakan tidak setuju aku dikeluarkan dari sekolah
" Aku heran, kenapa kalian masih mempertahankan siswa seperti ini. Apa untungnya di sekolah kita ada siswa seperti dia. Aku akan ulang kembali, " katanya. Lalu ia memvoting kembali dari  mulai barisan depan hingga belakang. Hasilnya semua setuju, kecuali Mia.

Mia menangis di bangkunya. Dengan terisak, ia memohon agar aku tidak dikeluarkan dari sekolah. Sikap Mia itu membuat  Pak Umar seperti penasaran, " Kenapa kamu menangis ? Dia pacarmu ?" tanyanya.  Mia menggelengkan kepala, " Dia temanku, Pak, " jawab Mia.      

                           
Beberapa hari kemudian, aku mendapatkan surat panggilan orang tua. Ada niat untuk disobek dan dibuang saja. Tapi, bukan solusi. Bisa saja mereka akan datang ke rumahku, bila orang tua tidak hadir tepat pada waktunya.

Sesampainya di rumah, bapakku tampak terbaring di bale-bale reyot. Cukup lama ia menderita asam urat kronis. Selama bertahun-tahun ia tidak bisa menapkahi keluarga. Selama itu, ibulah banting-tulang jualan makanan gorengan untuk makan keluarga.

" Ada apa Nak, seperti ada kebingungan di wajahmu, "  tanya bapakku sembari berupaya untuk duduk. Aku bantu bapak untuk bisa duduk. Dia tampak sangat kesakitan.

" Ada surat dari sekolah, pak " kataku sambil memberikan surat itu. Bapak membuka surat itu. Setelah membaca isinya, wajahnya tampak marah.

" Jadi selama ini kamu suka berbuat nakal di sekolah. Keterlaluan kamu. Memalukan orang tua, " katanya.

" Maapkan aku Pak. Semua itu aku lakukan demi keluarga, " kataku lagi.

" Apa ? Demi keluarga ? Kamu itu seperti anak tak normal, ya. Jadi kamu sengaja untuk mencoreng keluarga, " Bapakku lebih marah lagi. Aku seperti kebingungan mau ngomong apa. Disaat itu pula, Ibu datang  pulang dagang gorengan.

" Ada apa ini, ribut-ribut begini, " tanya ibu.

" Lihat ini Bu, kita diundang ke sekolah. Tampaknya, Si Badai ini, sering berbuat nakal di sekolah, " kata Bapak.

Ibu mendekatiku. Ia membelai rambutku. Dari mulutnya mengalir kata-kata sejuk, " Nak, kenapa kamu itu berbuat nakal. Sekolah bukan tempat untuk nakal-nakal, tapi tempat untuk belajar, " kata Ibu lirih.

Aku menangis sambil memeluk Ibu, " Ibu, maapkan aku. Memang, Ibu dan Bapak dulu tidak sanggup menyekolahkanku ke SMA. Hanya aku memaksa ingin sekolah. Ibu dan Bapak tidak sanggup karena faktor biaya. " tuturku berkali-kali menyeka air mata.

" Apa hubungannya nak dengan kenakalanmu di sekolah ? Memang, Bapak dan Ibu dulu tidak mengijinkan kamu melanjutkan sekolah. Bapakmu sakit-sakitan, takut tidak terbayarkan biaya sekolahnya, " kata Ibu.

" Atas dasar itu Bu, aku kasihan kepada Ibu dan Bapak. Jangankan untuk membiayai sekolah, sehari-hari pun kita sering tidak makan. Padahal, selama ini,  banyak hal yang harus dipenuhi orang tua, untuk kelancaran sekolah, " tuturku. Bapak dan Ibu serius mendengarkan penuturanku itu.

Contohnya saja, kataku, teman-teman pakaian seragam itu ada pengganrinya. Sedangkan aku, hanya itu-itu saja, hingga kumal dan kusut tanpa disetrika. Ketika waktu hari praktik; semua pakai baju bebas, hanya aku yang pakai baju seragam putih abu-abu. Aku ingin seperti mereka, tapi untuk meminta kepada Bapak dan Ibu, aku kasihan.

Lalu, banyak iuran sekolah, yang tidak bisa kupenuhi. Termasuk SPP bulanan. Petugas Tata Usaha berkali-kali nagih depan kelas. Aku malu. Tapi, aku kasihan untuk meminta kepada Bapak dan Ibu, " Tapi, aku tidak ingin, mereka tahu bahwa aku ini miskin. Makanya, aku berupaya untuk  berbuat nakal. Agar mereka bisa memandang aku sebagai siswa nakal. Bukan siswa miskin.

" Padahal, berbuat nakal di sekolah itu,  bukan jiwaku sebenarnya. Tapi, karena aku tidak ingin diremehkan karena kemuskinan, aku berusaha untuk berbuat nakal. Karena dengan nakal, teman-teman akan takut kepadaku, " tuturku lagi. Bapak dan Ibu terlihat menunduk. Di pipi Ibu mengalir air mata.

Aku memeluk tubuh Bapak dan Ibu, " Sekali lagi, maapkan aku Pak Bu. Aku telah berbuat nakal di sekolah, " kataku. Bapak mengelus rambutku, " Bapak maapkan, Nak. Biar Ibu nanti akan hadir ke sekolah. Ibu akan ungkapkan duduk perkaranya kenapa kamu berbuat nakal. Mudah-mudahan, di kemudian hari, tidak muncul lagi Badai-Badai lagi di sekolah. Karena sekolah bisa lebih dini menyelami kondisi anak didiknya, " ungkap Bapak.

TAMAT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun