Aku Badai, siswa kelas 2 SMA Antah Berantah Tahun Ajaran 1986. Aku distempel siswa urakan, kurang disiplin, mudah marah dan  suka melawan guru.  Stempel-stempel itu diidentikan dengan kepribadianku. Aku  menjadi senang dipandang sebagai siswa nakal.
Aku suka berpakaian seragam tidak rapi tiap harinya. Baju seragamku, hanya itu-itu saja, tidak pernah diganti, kusut pastinya,  karena tidak pernah distrika.  Hari pelajaran praktik, seharusnya memakai baju praktik, aku tidak peduli dengan aturan itu, tetap saja  Si kumal putih abu-abu yang kupakai.
Satu buku untuk semua mata pelajaran. Mata pelajaran apa saja, semuanya ada di buku itu. Aku sering  minta lembaran tengahnya buku kepada teman-teman. Seluruh teman sekelas pada kebagian secara bergiliran. Tidak pernah ada yang tidak memberi.
Aku suka melambatkan diri masuk kelas. Ketika guru mau mulai mengajar, baru aku datang. Itu pun dengan tampilan yang sembrawut. Satu buku tipis tanpa pulpen ada dalam kopor gusur. Masuk kelas dengan menggusur kopor. Layaknya peserta Indonesian Idol yang tereleminasi.
Saat mau menulis, aku suka celingukan tak bawa pulpen. Untung saja, Ketua Murid kelasku suka jadi donatur tetap. Setiap aku kebingungan tak bawa pulpen, ia selalu saja memberiku pinjaman pulpen. Tapi, akhirnya, pulpen itu tisak pernah kembali.
Semua siswa di sekolahku, hampir tidak ada yang mendekatiku. Mungkin mereka pada takut. Kecuali Mia, satu teman wanitaku. Dia selalu hadir, disaat aku terkucil. Dia mengaku senang kepadaku, karena aku jagoan menulis puisi. Sedangkan, Mia, dikenal jagoan deklamasi.
Di mata Mia, aku tidak layak disebut siswa nakal. Malah, ia lebih setuju bila aku dijuluki seniman kecil. Mia selalu pinjamkan buku-buku puisi dari perpustakaan. Terutama buku-buku kumpulan puisi WS. Rendra.
Pernah, Mia tampil di Aula sekolah, dalam satu acara. Dia membacakan puisi Lagu Senja karya Penyair Sapardi Joko Damono. Sebelum berdeklamasi, ia peruntukan puisi itu untuk namaku. Semua hadir gemuruh mendengarkan Mia berdeklamasi.
Akupun membalasnya pada satu momen. Aku bikin puisi panjang berjudul Panggilan Desa. Puisi itu diperuntukan buat Mia. Dimuat di satu majalah. Ketika ada event dengan melibatkan siswa-siswa SMA se kabupaten. Siswa-siswa perwakilan dari sekolah lain, banyak ingin bertemuku, sang penulis puisi itu.
Aku mudah tersinggung. Seorang kakak kelas, ahli beladiri. dia dianggap 'macannya' kelas itu. Pada suatu hari bermasalah denganku. Aku dan dia  diarak siswa-siswa sekolahku  menuju satu lapang sepakbola.  Seolah untuk ajang penentuan siapa yang layak disebut macan sekolah.