Mohon tunggu...
Tatang Tarmedi
Tatang Tarmedi Mohon Tunggu... Jurnalis - Untuk share info mengenai politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Hidup akan jauh lebih bernilai, jika kau punya sebuah tujuan penting.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tahun 1986 Badai di SMA

1 Oktober 2023   04:07 Diperbarui: 1 Oktober 2023   07:10 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

" Maapkan aku Pak. Semua itu aku lakukan demi keluarga, " kataku lagi.

" Apa ? Demi keluarga ? Kamu itu seperti anak tak normal, ya. Jadi kamu sengaja untuk mencoreng keluarga, " Bapakku lebih marah lagi. Aku seperti kebingungan mau ngomong apa. Disaat itu pula, Ibu datang  pulang dagang gorengan.

" Ada apa ini, ribut-ribut begini, " tanya ibu.

" Lihat ini Bu, kita diundang ke sekolah. Tampaknya, Si Badai ini, sering berbuat nakal di sekolah, " kata Bapak.

Ibu mendekatiku. Ia membelai rambutku. Dari mulutnya mengalir kata-kata sejuk, " Nak, kenapa kamu itu berbuat nakal. Sekolah bukan tempat untuk nakal-nakal, tapi tempat untuk belajar, " kata Ibu lirih.

Aku menangis sambil memeluk Ibu, " Ibu, maapkan aku. Memang, Ibu dan Bapak dulu tidak sanggup menyekolahkanku ke SMA. Hanya aku memaksa ingin sekolah. Ibu dan Bapak tidak sanggup karena faktor biaya. " tuturku berkali-kali menyeka air mata.

" Apa hubungannya nak dengan kenakalanmu di sekolah ? Memang, Bapak dan Ibu dulu tidak mengijinkan kamu melanjutkan sekolah. Bapakmu sakit-sakitan, takut tidak terbayarkan biaya sekolahnya, " kata Ibu.

" Atas dasar itu Bu, aku kasihan kepada Ibu dan Bapak. Jangankan untuk membiayai sekolah, sehari-hari pun kita sering tidak makan. Padahal, selama ini,  banyak hal yang harus dipenuhi orang tua, untuk kelancaran sekolah, " tuturku. Bapak dan Ibu serius mendengarkan penuturanku itu.

Contohnya saja, kataku, teman-teman pakaian seragam itu ada pengganrinya. Sedangkan aku, hanya itu-itu saja, hingga kumal dan kusut tanpa disetrika. Ketika waktu hari praktik; semua pakai baju bebas, hanya aku yang pakai baju seragam putih abu-abu. Aku ingin seperti mereka, tapi untuk meminta kepada Bapak dan Ibu, aku kasihan.

Lalu, banyak iuran sekolah, yang tidak bisa kupenuhi. Termasuk SPP bulanan. Petugas Tata Usaha berkali-kali nagih depan kelas. Aku malu. Tapi, aku kasihan untuk meminta kepada Bapak dan Ibu, " Tapi, aku tidak ingin, mereka tahu bahwa aku ini miskin. Makanya, aku berupaya untuk  berbuat nakal. Agar mereka bisa memandang aku sebagai siswa nakal. Bukan siswa miskin.

" Padahal, berbuat nakal di sekolah itu,  bukan jiwaku sebenarnya. Tapi, karena aku tidak ingin diremehkan karena kemuskinan, aku berusaha untuk berbuat nakal. Karena dengan nakal, teman-teman akan takut kepadaku, " tuturku lagi. Bapak dan Ibu terlihat menunduk. Di pipi Ibu mengalir air mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun