Dengan sedikit ragu, saya sentuh tangannya, terasa sangat dingin, lalu saya dekatkan wajah saya, berusaha untuk melakukan kontak mata.Â
Saya lega, karena dia merespon dengan memberikan senyumnya. Kemudian saya berusaha membangun komunikasi dengan bercerita tentang hal-hal yang menyenangkan.
Tangannya tetap saya genggam, sesekali saya belai dengan lembut. Tangannya yang semula sangat dingin perlahan mulai terasa hangat. Â
Jujur saja, saya merasa trenyuh melihat kondisinya. Lemah dan kesepian, suatu perpaduan yang sempurna untuk membuat seseorang menuju pada kondisi depresi. Saya jadi ingat Ibu saya yang saat itu tinggal jauh dari saya.
Setelah kurang lebih lima belas menit saya berusaha membangun komunikasi. Di luar ekspetasi, tiba-tiba Oma Jo minta dibantu untuk bangun lalu mengajak saya untuk duduk di sofa di ruangan tengah.
Perawat yang mendampingi saya, terkejut dan takjub. Setengah tak percaya, perawat itu membantu Oma Jo untuk duduk di sofa.Â
Kemudian kami duduk dengan posisi yang berdekatan, saya berusaha untuk membicarakan hal-hal yang menyenangkan saja, kadang saya selipkan cerita-cerita lucu.Â
Perlahan, Oma Jo mulai membuka diri, mulai bercerita tentang masa mudanya, masa jayanya, juga tidak ketinggalan kisah cintanya.
Sorot matanya mulai bercahaya, seperti ada kehidupan baru. Kami seperti sahabat lama yang baru bertemu kembali. Begitu akrab, tertawa bersama, bercerita segala rupa, mengalir begitu saja.Â
Sepanjang percakapan saya banyak memeluk dan mengelusnya. Sungguh, saya tulus melakukannya.
Sayang sekali, kami dipisahkan oleh waktu. Setelah hampir satu jam berjumpa, akhirnya saya harus berpamitan. Berat rasanya meninggalkan beliau.Â