Mohon tunggu...
EKASRIWIDIANI
EKASRIWIDIANI Mohon Tunggu... Arsitek - mahasiswa

bermain music

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nilai Tradisi Umat Hindu dalam Perayaan Nyepi di Bali

13 Maret 2024   16:06 Diperbarui: 23 Maret 2024   07:48 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

I. PENDAHULUAN

Pendidikan multikultural adalah aspek praksis yang menekankan pemahaman tentang heterogenitas kultural atau budaya dari suatu komunitas sosial ataupun dalam lingkup suatu negara. Keberagaman latar belakang sosial ataupun kultural yang dimiliki oleh setiap individu tumbuh dan hidup dalam ruang sosial, dimana setiap individu memberikan apresiasiterhadap perbedaan, mengusung pemikiran yang memandang serta memprioritaskan ekuivalensi, serta mengidentifikasikan dirinya satu sama lain. Perbedaan dalam aspek suku, agama, ras ataupun antar golongan terjewantahkan secara horizontal, yang menandakan bahwa dalam sistem sosial yang berbhineka, ada skala prioritas untuk mengutamakan kesetaraan dalam lingkup keberagaman. Prinsip hidup semacam ini adalah aspek hidup yang mengutamakan moralitas sosial, dalam interaksi antar individunya. Pola kehidupan sosial yang dilingkupi oleh keberagaman adalah suatu bentuk untuk menghilangkan stereotif ataupun stigma pada mereka yang dianggap berbeda. Kehidupan multikultur juga mengajarkan suatu refleksi tindakan dalam merancang proses belajar untuk menerima perbedaan. Pengetahuan budaya juga membantu kehidupan sosial didalam merancang pola hidup harmonis saat ini dan juga dimasa yang akan datang. Karena prinsip kehidupan yang multikultur adalah mengajarkan setiap individu untuk "melihat realitas moralitas zaman dulu, tetapi diaplikasikan sebagai sebuah tindakan dimasa yang akan datang". Narasi metaforis ini menjadi titik awal, bahwa keberagaman bukan menjadi sebuah ancaman ataupun sesuatu yang harus ditakuti, akan tetapi keberagaman mengajarkan tentang pola untuk merancang keadilan sosial tanpa melihat latar belakang seseorang (Braden, 2020; H. Chang, 2018; Reynolds, 2018; Stanton et al., 2020; Zinn, 2021). Pendidikan multikultur juga memiliki kebermanfaatan berupa proses konstruksi nuansa sosial yang inklusif dan upaya untuk menciptakan kesetaraan antar individu ataupun antar kelompok. Pendidikan multikultur yang mengajarkan tentang ajaran moral akan membangun perspektif serta bagaimana seorang individu menempatkan dirinya dalam arena sosial yang majemuk. Karena, jika aspek teoretis serta praksis dari pendidikan multikultur tidak ditanamkan sejak dini, maka potensi terjadinya konflik akan sangat besar. Secara teoretis, semakin majemuk suatu masyarakat, maka potensi terjadinya gesekan sosial ataupun konflik sosial akan semakin tinggi. Dilain sisi, pendidikan multikultur menunjukkan kebijaksanaan lokal masyarakat indiginus, khususnya bagaimana cara menghadapi serta menghargai perbedaan. Orientasi hidup ini akan membawa setiap individu untuk melakukan introspeksi diri sebagai bentuk tindakan hidup (Brocic & Miles, 2021; Cherner & Fegely, 2018; Renganathan & Kral, 2018; Tang, 2021; Zhang, 2021). Jadi, pendidikan multikultur memegang peranan yang esensial didalam membangun aspek kontemplatif manusia untuk melihat moralitas zaman dulu, serta diaplikasikan dengan realitas sosial hari ini.

Pendidikan multikultur secara ideal diajarkan serta diimplementasikan dalam realitas sosial majemuk. Karena, kemajemukan suatu entitas geografis dan sosial sangat potensial menghasilkan konflik. Maka, dibutuhkan suatu "kanopi" untuk menjadi "payung" mengenai bagaimana suatu komunitas berpikir sekaligus bertindak, sebagai bentuk penerimaan sosial pada "mereka yang berbeda". Konstruksi pemikiran ini akan melahirkan konsep "penciptaan komitmen komunitas", yakni ruang untuk memberikan edukasi, menciptakan lingkungan dimana setiap individunya saling terintegrasi, serta memperkaya khazanah pengetahuan mengenai proses menerima "yang lain". Tindakan konsisten dalam ruang keberagaman akan menciptakan matriks sosial berupa resiliensi setiap individu didalam menghadapi tantangan kemajemukan dimasa yang akan datang. Pendekatan-pendekatan sosial tentang "ada yang berbeda" juga bermanfaat didalam menciptakan konsep kehati-hatian dalam menerima isu yang dapat merusak tatanan keberagaman. Ruang semacam ini akan membentuk aspek kebermanfaatan untuk mengembangkan konsep demokratisasi, dimana setiap orang mendapatkan penghargaan, tanpa memandang dari budaya mana ia berasal. Hal ini akan membantu setiap individu untuk berpartisipasi menciptakan konformitas sosial (Bettez, 2020; Gildersleeve, 2019a; Jackson, 2021; Wright et al., 2019; Zhou & Li, 2021). Rasionalisasi didalam menerima perbedaan adalah bentuk rekonstruksi untuk mempererat "simpul sosial" dalam era kontemporer. Hal ini mengandung arti bahwa pengembangan pendidikan multikultural adalah upaya untuk mengembangkan konsepsi belajar dan tindakan mengenai kehidupan sosial. Determinisme pluralitas harus menjadi prioritas pada era distruptif ini. Idealisme yang diusung oleh pendidikan multikultur membawa kita pada dimensi untuk menciptakan diskursus cross-cultural, sebagai upaya untuk mengevaluasi sub sistem yang dianggap berpotensi meresistensi tatanan kemajemukan yang sudah ada (C.-F. Chang & Hall, 2022; Delanty & Harris, 2021; Horn & Veermans, 2019; Misco, 2018; Yosso, 2020). Dengan kata lain, pendidikan multikultur secara ideal berusaha menyajikan konsepsi berpikir, elemen sosial dibangun oleh individu yang berbeda, akan tetapi perbedaan tersebut dijadikan sebagai suatu fondasi membangun tatanan sosial yang lebih baik, karena setiap individu dalam kehidupan sosialnya tidak bisa menghindari perbedaan, perbedaan menjadi sebuah keniscayaan.

Pentingnya penanaman ide-ide keberagaman kepada setiap individu ataupun kepada setiap pembelajar, maka perlu rekognisi kultural yang dimiliki oleh suatu komunitas sosial ataupun masyarakat tertentu, dimana budaya yang dimiliki sebagai aset immaterial mampu menghadirkan nilai-nilai keberagaman. Salah satu budaya yang erat kaitannya dengan aspek multikultrualisme adalah budaya Nyepi yang dimiliki oleh masyarakat Bali. Pokok bahasan tentang Nyepi tidak hanya merujuk pada teks-teks agama yang berasal dari suatu aliran, tetapi juga dari berbagai pengarang, zaman, dan pemikiran. Paradigma pemahaman agama yang inklusif dan moderat, serta mampu berkontribusi dalam mengajarkan dan mengimplementasikan nilai-nilai kebhinekaan yang diusung kepada siswa di sekolah. Sekolah harus berperan dalam membangun lingkungan pendidikan yang pluralis dan toleran. Keberadaan konsepsi multikultur pada perayaan hari raya Nyepi menstimulus sebuah riset mengenai kebudayaan dan nilai-nilai moral yang ada didalamnya, yang bisa diaplikasikan sebagai bentuk etika sosial, cara berpikir mendalam dan teraplikasikan dalam bentuk tindakan. Terlebih, di era globalisasi ada potensi yang meningkatkan peluang untuk menghilangkan jejak kultural suatu masyarakat. Hal ini perlu diantisipasi, karena kebudayaan suatu masyarakat (termasuk Nyepi) mengandung aspek penting dalam menyebarkan nilai-nilai etika ataupun moral, terkhusus dalam mengajarkan nilai-nilai hetergonetitas atau mengajarkan ilmu pengetahuan berdasarkan jejak etnografis. Eksistensi kebudayaan ini menjadi suatu formulasi didalam membangun paradigma yang "mencerahkan" serta membangun ide-ide deliberatif yang mengutamakan kesetaraan. Pendidikan multikultur menjadi aspek pendidikan yang kompleks dan penting karena adanya suatu upaya konsisten dalam perspektif konseptual didalam membentuk sistem tindakan kolektif, tanpa mempermasalahkan perbedaan social background (Head, 2020; Jacobson et al., 2019; Kahne & Bowyer, 2017; Kraus et al., 2021; Roopesh, 2021). Keberadaan lingkungan yang memegang teguh prinsip seperti ini akan berguna untuk membangun tindakan sosial berkelanjutan serta berkontribusi membangun nuansa sosial yang lebih hidup. Keberadaan aspek kebudayaan yang diterapkan dalam arena sosial bertujuan untuk memahami kompleksitas ruang sosial itu sendiri, sekaligus membangun struktur tindakan bermakna. Hal ini akan berimplikasi pada akuntabilitas tindakan setiap individu dalam ruang-ruang publik, sebagai ruang komunal. Nilai-nilai Nyepi selain disampaikan dalam bentuk tindakan, juga disampaikan lewat lisan. Penyampaian nilai secara lisan bertujuan untuk menyampaikan pengetahuan sekaligus "menyemaikan" konsep yang nantinya bisa terinternalisasi. Dan pada akhirnya, akan terbentuk pengetahuan yang berbasiskan pada etika dan moral (Fisher, 2021; Hudde, 2022; Peng et al., 2021; Tsang, 2020; Yin, 2022). Dengan kata lain, dapat dijelaskan bahwa keberadaan pendidikan multikultur memberikan aspek kognitif berupa konsepsi mengenai perbedaan atau keberagaman, dan disisi lain memberikan panduan bertindak dalam menghargai kebhinekaan itu sendiri.

Hari Raya Nyepi biasanya jatuh pada bulan Maret, Tanggal Apisan, Sasih Kedasa. Pelaksanaan Nyepi memiliki beberapa rangkaian upacara, mulai dari melasti, nyejer, ngerupuk, tawur, sipeng ,ngembak geni serta dharma santi. Popularitas Nyepi tidak hanya diketahui oleh masyarakat Bali tetapi juga mereka yang pernah berada di Bali, apalagi kebetulan di Bali bertepatan dengan perayaan Nyepi. Menjadi sangat istimewa pelaksanaan brata penyepian di Bali karena timbul kerjasama yang baik antara pemerintah Bali dan seluruh komponen masyarakat Bali untuk mendukung perayaan tersebut dengan menutup Bandara Ngurah Rai selama satu hari, larangan kegiatan apapun di jalanan, tidak menyalakan api dan diharapkan seluruh masyarakat Bali dapat berkontemplasi di rumah atau di tempat yang baik selama 24 jam. Dengan kata lain, pelaksanaan hari raya Nyepi mengajarkan nilainilai multikultural seperti toleransi, timbang rasa, kebersamaan, suka duka atau dalam idiomatik Bahasa Bali dikenal dengan istilah sagilik saguluk salunglung sabayantaka. Nilainilai yang terkandung didala perayaan Nyepi mengandung aspek ideological standpoint. Ideological standpoint adalah sudut pandang yang menunjukkan bukti bahwa suatu kultur tertentu tidak mengandung nilai eksklusivitas, akan tetapi mengandung nilai inklusivitas yang ditindaklanjuti dengan tindakan-tindakan terbaik. Nilai-nilai yang diajarkan oleh ideological standpoint mengajarkan tentang konsepsi beradaptasi sebagai bentuk penguatan modal budaya, membantu mengonstruksi nilai ekualitas yang determinan, serta konsepsi keadilan dalam ruang sosial (Benner, 2021; Ivemark & Ambrose, 2021; Knight & Crick, 2021). Dengan kata lain, keberadaan Nyepi tidak berhenti pada aspek seremonial, akan tetapi sebagai bentuk "teks sosial" yang membantu individu membangun jejaring sosial, melalui penguatan nilai-nilai keberagaman, dalam ruang pluralisme.

Aspek implementatif dari penghayatan hari raya Nyepi akan menjauhkan setiap individu dari upaya untuk memarginalisasi individu lainnya. Karena keputusan menerima perbedaan adalah suatu sikap yang senada dengan penerimaan mengenai ide-ide kemajemukan. Dalam era teknologi digital seperti saat ini, arus global memberikan pengaruh besar bagi semua individu ataupun institusi sosial diseluruh dunia. Maka, dibutuhkan komunitas multikultural untuk berkontribusi mengantisipasi "kehancuran" akibat maraknya diskriminasi (Chase & Morrison, 2018; Cheung & Xie, 2021; Fenwick & Edwards, 2016; Kalogeropoulos et al., 2021; Pithouse-Morgan et al., 2018). Nyepi juga menjadi aspek legitimasi simbolik dalam memahami nilai-nilai kemanusiaan, khususnya dalam menangkal agresivitas fitnah yang merusak tatanan sosial. Nyepi juga memberikan pengalaman sosio-kultural kepada setiap individu mengenai kekuatan "modal kebudayaan" dalam menciptakan habitus sosial

Hal ini akan berguna didalam mengembangkan kemampuan emosional serta interpersonal sebagai bentuk konstruktivisme sosial. Aspek kultural ini bisa menjadi "social treatment" didalam membentuk rigoritas pengalaman sosial, khususnya tentang eksistensi perbedaan kultural. Ini menjadi indikasi, bahwa ada perhatian mendalam mengenai identitas multikultur yang selalu hidup dalam ranah sosial tiap individu (Dyson et al., 2021; Ivemark & Ambrose, 2021; Slavin et al., 2021; Smith-Warshaw et al., 2020; Valiverronen & Saikkonen, 2021). Dapat disimpulkan bahwa, pelaksanaan Nyepi dan nilai-nilai yang ada didalamnya menunjukkan adanya afirmasi sosial dari masyarakat majemukm dan implementasi dari tindakan multikultur sebagai tindakan universal serta inklusif. Nyepi dan nilai-nilai multikultur yang ada didalamnya membantu memberikan perspektif personal maupun komunal dalam membangun "pengalaman hidup", life trajectories, dan refleksi sosial, membantu tiap individu untuk menempatkan diri dan hidup dalam realitas heterogen dalam upaya untuk menciptakan wahana praksis social justice (Baker, 2018; Li & Hu, 2021; ReedDanahay, 2017). Dapat dijelaskan bahwa, Nyepi membantu tiap individu untuk melakukan redefinisi serta pemahaman ulang mengenai realitas yang dinamis, berbeda, serta membantu mereka untuk tidak menciptakan suatu perspektif yang monosentris dalam ruang-ruang sosial.

Bali memiliki tradisi yang dikenal dengan Nyepi. Nyepi sendiri memiliki arti kesunyian, dimana dalam satu hari semua aktivitas yang dilakukan oleh setiap individu dihentikan, karena berfokus pada totalitas keheningan. Aktivitas mengheningkan diri ini dilakukan selama 24 jam. Tradisi ini juga tertulis didalam teks-teks suci agama Hindu (Wijaya, 2021). Nyepi adalah upacara yang dilakukan untuk melakukan perenungan diri serta upaya untuk menghubungkan keberadaan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, leluhur dan menyatu dengan alam. Penyatuan unsur pikiran dengan entitas alam semesta bertujuan untuk mendapatkan kedamaian serta kesejahteraan. Nyepi dilaksanakan dengan berpedoman pada kitab suci Veda, konsepsi desa, kala, patra, serta desa mawacara (Arka, 2022). Ritual Nyepi yang ada di Bali erat kaitannya dengan pemaknaan simbol mengenai eksistensi ritual dengan makna ritual tersebut. Dua elemen ini memberikan nilai-nilai holsitik serta menghadirkan makna bagi krama Bali. ritual ini dijalankan sesuai dengan basis kerangka dasar agama Hindu yang terdiri dari tattwa, etika dan ritual, dengan tujuan untuk mencapai jagadhita (kesejahteraan hidup) dan juga moksartham (kebahagiaan setelah melewati kehidupan fana) (Suwena, 2017). Upacara melasti adalah salah satu rangkaian untuk menyambut hari raya Nyepi. Upacara untuk membersihkan semua peralatan ritual dan nunas atau memohon air suci di Desa Pancasari berbeda dengan desa di Bali pada umumnya. Di desa ini, pelaksanaan melasti dilakukan di dua tempat, yakni di danau yang dilakukan setiap satu tahun sekali dan di laut setiap lima tahun sekali. Esensi dari pelaksanaan upacara ini di dua tempat yang berbeda memiliki esensi yang sama, yakni memohon air suci sebagai lambang narmada (sumber mata air) yang memberikan kehidupan pada semua makhluk (Dauh & Dharma, 2020). Pelaksanaan hari raya Nyepi adalah momentum untuk melakukan upaya ngeret indriya atau suatu usaha untuk mengendalikan hawa nafsu, kemarahan, kegelisahan, serta perilaku yang merepresentasikan sifat-sifat adharma. Momen ini adalah waktu yang dinilai sangat tepat untuk melakukan kontemplasi diri, dalam upaya menjadikan diri lebih baik, dari waktu ke waktu (Gateri, 2021).

Tujuan dari riset ini adalah berfokus pada kajian agama Hindu, khususnya perayaan Nyepi dalam perspektif multikultural. Dalam kehidupan masyarakat Bali, sudah lama dikenal perayaan hari raya Nyepi yang datang setahun sekali. Riset ini berupaya untuk melakukan analisis bahwa pelaksanaan hari raya Nyepi yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali dalam kalender umat Hindu Bali juga memiliki nilia-nilai inklusif, berupa nilai-nilai pendidikan multikultural serta sosial didalam membangun realitas sosial yang ekuivalen, dimana setiap insan yang melakukan interaksi sosial tidak lagi melihat latar belakang sosial ataupun agama dari individu lain. Aspek lain yang lebih penting dari riset mengenai aspek kultural ini adalah bagaimana perayaan hari raya Nyepi mampu memberikan nuansa social equilibrium yang mengedepankan nilai-nilai pluralitas di tengah realitas masyarakat yang beragam.

2. METODE

Penelitian ini mempergunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah rancangan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis data, sekaligus bertujuan untuk pembentukan horizon baru mengenai objek penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk meninjau keberadaan upacara Nyepi yang memiliki hubungan dengan pendidikan multikultural, dengan menggunakan langkah-langkah metodis, seperti penentuan subjek penelitian, menentukan metode pengumpulan data dan analisis data. Langkah ini ditempuh dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang komprehensif. Proses etik dan bentuk tindakan etik memiliki tujuan untuk melakukan peninjauan terhadap tahapan dalam pembentukan ilmu pengetahuan, kepakaran, termasuk dalam ranah pendidikan.

Untuk mendapatkan data yang spesifik, maka tahapan dalam penelitian ini dimulai dari penentuan subjek. Subjek dalam penelitian ini adalah akademisi yang mengetahui secara teoretis tentang upacara Nyepi serta keterkaitan antara Nyepi dengan pendidikan multikultur. Teknik pengumpulan data diperoleh dengan melakukan observasi, wawacara, dan studi dokumen. Observasi bertujuan untuk melakukan pengamatan mengenai prosesi sebelum pelaksanaan Nyepi dan sesudah pelaksanaan Nyepi, ada aspek apresiasi sosial yang ditunjukkan oleh setiap individu dalam ruang sosial yang majemuk. Wawancara bertujuan untuk mengumpulkan data berkaitan dengan keberadaan upacara Nyepi yang bertujuan untuk membentuk sikap menghargai ataupun toleransi sebagai bentuk praksis pendidikan multikultural. Dan studi dokumen bertujuan untuk menganalisis sumber yang dipergunakan untuk menafsirkan aspek pelaksanaan Nyepi dalam proses internalisasi pendidikan multikultur. Metode analisis data terdiri dari beberapa tahap. Pertama, pengumpulan data, pada tahapan ini peneliti melakukan proses observasi, wawancara dan studi dokumen yang relevan untuk melihat eksistensi pelaksanaan Nyepi dan aspek pendidikan multikultur yang terkandung didalamnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menemukan data-data yang diperlukan dalam riset mengenai Nyepi dan keterkaitannya dengan aspek penanaman nilainilai multikultur. Proses observasi dan wawancara dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Maret 2022 (sebelum pelaksanaan Nyepi), data yang dikumpulkan berkaitan dengan pelaksanaan Nyepi dan implikasinya bagi penanaman nilai-nilai keberagaman. Kedua, reduksi data, pada tahapan ini peneliti melakukan proses seleksi, melakukan pemfokusan serta penyederhanaan data yang didapatkan di lapangan. Data yang didapatkan disesuaikan dengan tema riset Nyepi dan aspek pendidikan multikultur. Data yang direduksi adalah datadata yang berhubungan dengan interpretasi pelaksanaan Nyepi serta nilai-nilai yang ada didalamnya yang berkaitan erat dengan nilai-nilai multikultur sebagai upaya untuk membangun nilai-nilai kolektivitas. Ketiga, penarikan kesimpulan, pada tahapan ini peneliti menarik pernyataan untuk menjawab pertanyaan "what" dan "how" terkait pelaksanaan Nyepi dan implikasinya pada pendidikan multikultur.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 HASIL

Orang Bali sangat akrab merayakan Nyepi sebagai Malam Tahun Baru Saka. Begitu juga orang luar yang datang ke Bali bertepatan dengan perayaan Nyepi. Tidak ada yang istimewa dari pelaksanaan tradisi Nyepi di Bali, antara lain, Pemerintah Provinsi Bali bekerjasama dengan seluruh komponen masyarakat Bali mendukung dan menutup bandara internasional Ngurah Rai, larangan berkeliaran di jalanan, menyalakan api dan cahaya, seluruh masyarakat Bali diharuskan beristirahat di rumah atau tempat yang baik selama 24 jam. Kalaupun semua orang telah menjalankan amati gni, amati lelungan, amati karya dan amati lelanguan, apakah masyarakat sudah mengetahui bahwa merayakan Nyepi tidak sebatas itu?. Nyepi memiliki sirkuit dan mengandung makna yang dalam, seperti wahana untuk menjaga kesucian diri dan alam semesta. Nyepi bukannya tanpa makna, Perayaan akan lebih bermakna jika dapat diselenggarakan untuk menyederhanakan kehidupan sehari-hari melalui peningkatan kedamaian hati, bumi, dan seluruh elemen dan lapisan alam semesta. Rangkaian Nyepi sebagai berikut; melasti, nyejer, tawur, sipeng, ggembak geni dan dharma santi. Pertama, melasti atau melis. Dua atau tiga hari sebelum Tilem Kesanga disebut setengah gelap tiga belas (kekuatan Trayodasi Krsna) saatnya untuk mengadakan upacara Melasti dengan cara membawa Arca atau Pratima Sang Hyang Tri Wisesa (Arca Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem) dibawa ke pantai dan membawa persembahan kepada dewa Varuna. Maksud dan makna upacara Melasti adalah membasuh dan mencairkan segala penderitaan yang menimpa Masyarakat (Anganyutaken laraning Jagat, papa klesa letuhing Bhuwana) dan mengambil saripati dari air suci kehidupan atau Tirtha Empat Musim (Amretha sarining amet Empat Musim) untuk keselamatan dan kesejahteraan Umat Manusia.

 1. Upacara Melasti

Dalam Lontar Widhisastra Bhatara Putranjaya, Sundarigama dan Aji Swamandala, Tilem diyakini sebagai waktu suci untuk masa transisi yaitu berakhirnya setengah gelap dan awal setengah terang. Pada saat tilem dipercaya dewa matahari (Vivasvan) melakukan yoga menemani Siwa (Siwa Purana). Di Sundarigama ketika Tilem adalah waktu untuk mengasimilasi segala bentuk noda, kotoran, kemiskinan, penderitaan dan bencana yang menimpa manusia (wenang mepuja lara Roga wigna ring sarira). Di antara tilem yang ada adalah Tilem Kesanga yang diyakini keramat. Kedua, nyejer. Nyejer dilakukan setelah semua Pretima datang dari laut. Semua Pretima sebagai simbol manifestasi Tuhan di tempatkan di aula besar di pura desa. Biasanya saat nyejer orang melakukan puja ketika nyejer dan meprani. Pada saat upacara dapat dijumpai masyarakat sedang makan bersama-sama berbagi prasadam/lungsuran antara satu dengan yang lain. Ketiga, Pada saat Tilem Kesanga masyarakat Bali diharapkan untuk membuat upacara Bhuta Yadnya yang terletak di perempatan desa, bahkan tidak hanya dilakukan oleh desa adat tetapi juga dilaksanakan oleh pemerintah mulai tingkat provinsi sampai di kabupaten, upacara tawur tersebut saat tilem Kesanga rangkaian Nyepi dimuat dalam berbagai sumber seperti kutipan di bawah ini.

Lontar Sundarigama menguraikan bahwa: Tawur yantan kalaksaita santangkana, bawur ikang Desa, ntwang kasurupan Kala Bhuta, katadah denira Sang Hyang Adi Kala, ameda-meda lakunya, polahnya, apan Sang Hyang Adi Kala wenang anadah ikang wwang tanpa kretigama, apan matangyan mangkana, apan ikang wwang tan linguri kalengganing dadi wwang. Agung dosa wwang mangkana, matangyan irtusak-asik wwang ntangkana, keweh Sang Pradhipati rusak keprabon Sri Aji, gering sasab merana ntagalak, Bhuta Kala mawengis, ingisep rahning jadma manusa kabeh, inantet Antretanya, de wadwanira Sang Hyang Adi Kala, sapanadi Adi Kala. Kalingganya Bhatara Wisnu mari marupa Dewa, sira matemahan Kala Bhuta, Bhatara Brahma rnaweh sarwa Bhucari, desti, teluh, teranjana, Bhatara Iswara asung gring sasab merana, ika pada wisesa mangrugaken Praja Mandala. Oleh karena itu, masyarakat Bali diharuskan membuat Upacara tawur untuk menetralisir kekuatan-kekuatan yang menyebabkan hal-hal aneh di alam semesta agar kembali normal, serta kehidupan manusia yang aman dan sempurna. Malih hayuning praja mandala sarat kabeh, mwang ring sarwa janma, wastu ya paripurna. Sehari setelah tilem Kesanga atau pada hari pertama terang setengah bulan kesepuluh (penanggal pisan sasih kadasa) disebut hari raya Nyepi. Tawur merupakan rangkaian upacara Nyepi yang dilakukan pada saat sasih tilem Kesanga. Tawur ini dimulai pada siang hari hingga sore hari. Pada malam hari masyarakat melakukan pengarakan ogoh-ogoh di sekitar kawasan desa.

 2. Upacara Tawur dan Pengarakan Ogoh-Ogoh

Ketiga, hari sipeng merupakan puncak dari pelaksanaan Nyepi jatuh pada sasih apisan kadasa. Hari itu seluruh masyarakat Bali diharuskan berada di dalam rumah dan tidak diperbolehkan menyalakan api, menyalakan lampu, tidak boleh bekerja, tidak boleh menghibur diri, tidak boleh keluar rumah. Masyarakat Bali saat itu sedang melaksanakan brata/pantang selama 24 jam mulai dari pukul 06.00 hingga pukul 06.00 keesokan paginya. Pulau Bali itu benar-benar sepi, tidak ada suara kendaraan, sepeda motor, dan suara lainnya, suasananya sunyi, gelap di malam hari karena tidak ada penerangan di jalan, area umum, rumah dan sebagainya. Keempat, Ngembak Geni adalah rangkaian Nyepi setelah masyarakat Bali melakukan Tapa Brata PeNyepian (sipeng). Ngembak Geni jatuh di ping kalih sasih kadasa. Pada saat Ngembak Geni, masyarakat melakukan aktivitas seperti biasa seperti halnya menjelang Nyepi. Ini berarti bahwa orang harus melakukan pekerjaan sehari-hari mereka, dapat menyalakan api, mungkin bepergian, dapat menghibur diri mereka sendiri. Mereka hidup dengan suasana baru dan menikmatinya dengan baik. Kelima, Dharma Santi. Pada saat Ngembak Gni ini juga ada orang Bali yang berkunjung ke rumah keluarganya, ada tirta yatra bahkan melakukan dharma santi sebagai rangkaian hari raya Nyepi untuk saling memaafkan. Dharma Santi diselenggarakan oleh masyarakat, acaranya dimulai dari tingkat desa hingga tingkat pusat.

Dalam tradisi Nyepi, terdapat nilai-nilai multikultural yang berpotensi diadopsi ke dalam Kurikulum Pendidikan seperti Tat Twam Asi, Tri Hita Karana, dan lain-lain. Bhagavad-gita (IX:29) menyebutkan kesetaraan semua makhluk Tuhan, termasuk manusia sebagai makhluk yang paling sempurna. "Aku adalah sama dalam semua makhluk, tidak ada yang paling dibenci dan paling dicintai untuk-Ku. Namun, mereka yang menyembah Aku dengan pengabdian, mereka ada dalam diriku dan aku dalam diri mereka". Dalam konsep ini, pola tindakan yang tersirat sesuai dengan prinsip multikulturalisme. Seseorang harus memiliki kesadaran untuk memandang dan memperlakukan orang lain seperti memperlakukan dirinya sendiri, dalam arti yang positif. Oleh karena itu, manusia harus menyembah-Nya dan saling menghormati. Manusia harus mengembangkan kebersamaan dan persatuan dalam keragaman. Di Bali ada konsep menyama braya yang dilakukan untuk forum multikultural.

Segala makna dan dampak Nyepi akan terlihat baik jika didukung oleh semua pihak, karena dampak dari pelaksanaan Nyepi, tidak hanya bagi umat Hindu saja, tetapi juga bagi umat lain dan seluruh alam semesta. Karena melalui Nyepi, manusia diajarkan untuk berdamai. Santa dyayuh santa Prithvi (semoga langit penuh damai). Santam idam urvantariksam, Santa santa udanvatir apah (semoga bumi bebas dari gangguan). Santa nah santu osadhih (semoga bumi memiliki suasana yang baik). Mewujudkan semua Brata PeNyepian dalam kehidupan sehari-hari memang tidak mudah, walaupun kita tidak mampu mewujudkan seluruh potensinya, namun tetap bisa dilakukan dengan saling menghargai satu sama lain, kebahagiaan rumah tangga akan terwujud dengan karakter suami yang puas akan istrinya, istri juga puas akan suaminya, orang tua serasi dengan anak mereka begitu juga dengan saudara mereka.

Perlu diketahui bahwa kebahagiaan keluarga adalah akar dari semua kebahagiaan di dunia. Kebahagiaan akan menular ke dunia luar, dan mau tidak mau akan dipenuhi dengan kebahagiaan pula. Untuk pemimpin dengan nafsu kebinatangan, suami, pria, wanita, yang suka menindas, otoriter, egois, kopulasi, suka bertengkar, egois telah disempurnakan oleh dirinya sendiri di dalam keluarga. Oleh karena itu pelaksanaan pertapaan peNyepian, amati gni, amati lelungan, amati lelanguan dan amati karya pada saat Nyepi menjadi penting untuk bergerak menuju alam semesta yang damai baik di sini maupun secara niskala. Dalam pelaksanaan agenda besar ini, umat Hindu harus bisa memilah dan memanfaatkan perayaan Nyepi yang memiliki nilai ajaran filosofis bahwa manusia mampu mengendalikan diri, mulat sarira, keselarasan dengan alam, manusia lain dan Tuhan sebagai landasan mencapai jagadhita (kebahagiaan). Jika dilihat secara mendalam, sebenarnya upacara Nyepi memiliki tujuan meningkatkan kesadaran kodrat manusia akan keharmonisan hidup yang membawa kedamaian bagi kehidupan manusia (langeng dirahning manah nira).

3.2 PEMBAHASAN

 

Terkait dengan pelaksanaan hari raya Nyepi yang merupakan salah satu hari raya umat Hindu, sebagai upacara "tahun baru", yang oleh umat Hindu di Bali diperingati secara khusus dengan melaksanakan Tapa-Brata-Yoga-Semadi, atau yang secara praktis dikenal sebagai Catur Brata Nyepi. Tidak menyalakan api (amati gni), tidak bekerja (amati karya), tidak bepergian kemana-mana (amati lelungaan), dan tidak menikmati kesenangan (amati lelanguan) adalah empat jenis disiplin spiritual yang dilakukan oleh umat Hindu dalam menghadapi tahun baru Caka. Dalam menghadapi pelaksanaan hari raya Nyepi yang jatuh setahun sekali di Bali, dimana masyarakat Bali tidak lagi homogen tetapi sudah heterogen. Jika diinterpretasikan, konsep Catur Brata Nyepi dalam aspek multikultur mengajarkan tentang konsep berpikir dan bertindak yang harus dimanajemen dengan baik, melakukan introspeksi diri, kontemplasi serta menunjukkan aspek praksis yang sesuai dengan konsensus sosial di tengah realitas majemuk. Karena, jika panduan berpikir dan bertindak sebagai aspek memanajemen tindakan yang sesuai konsensus sosial tidak dilakukan, maka akan mengganggu realitas harmonis dalam kehidupan sosial. Aspek ini mengajarkan tentang pola pendidikan kultural yang tidak lagi eksklusif, akan tetapi pola pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif mengajarkan tentang upaya membangun sistem tindakan kolektif, yakni adanya kompleksitas relasi sosial antar agen dengan latar belakang yang beragam, relasi sosial dalam kompleksitas ini akan melahirkan intimasi yang intensif, menciptakan investasi sosial yang lebih berkualitas, sekaligus membangun etika serta moralitas sosial antar individu dalam kehidupannya di ruang mejemuk (Jacobson et al., 2019; Peng et al., 2021; Tsang, 2020). Dapat dijelaskan bahwa, Nyepi menciptakan ruang diskursus untuk membangun pemahaman inklusif, mengenai penciptaan ruang interaksi yang bersifat "menyilang".

Pola pendidikan inklusif sangat penting diimplementasikan dalam realitas sosial, karena selain menciptakan harmoni sosial, juga mengusung misi harmoni yang lain. Pendidikan inklusif yang didapatkan dari "sari pati" serta nilai kebudayaan komunitas sosial memberikan pesan sentral tentang aspek kebermaknaan dalam menjunjung tinggi kesetaraan atau ekualitas. Bahwa sebuah kebudayaan tertentu yang dimiliki oleh suatu masyarakat tidak dipergunakan sebagai "senjata" bagi mereka yang "dominan", akan tetapi menggunakan aspek kebudayaan itu untuk mencari pola hidup yang mengutamakan kebersamaan. Ini menjadi sangat penting, karena menciptakan tindakan progresif, khususnya pada ranah pendidikan, didalam menanamkan ide kebudayaan sebagai upaya menghadapi dinamika sosial yang menjadi ancaman sebuah kerukunan. Justru dengan adanya sebuah kebudayaan menekankan tentang bagaimana setiap individu saling memberikan pengaruh positif. Keadaan ini adalah suatu kesempatan didalam meningkatkan kesadaran mengenai kapasitas kebudayaan yang mampu mengikat "mereka yang berbeda" dalam bingkai keharmonisan. Keharmonisan dalam kontek pemikiran multikultural adalah bentuk dari attention to cultural responsiveness, yakni menciptakan inherenitas, dialog yang egaliter dan substantif, serta upaya untuk memperkuat interaksi sosial dalam nuansa yang heterogen (Bettez, 2020; Misco, 2018). Kebudayaan dan konsepsi nilai-nilai multikultural yang terkandung didalamnya, menjadi aspek bermakna sekaligus menjadi prosedur ilmu pengetahuan untuk memahami suatu fenomena sosial, bagaimana merancang konsepsi kognitif dalam menciptakan komunikasi antar individu dalam ruang sosial dan ruang budaya (Beycioglu & Kondakci, 2021; Dover & Valls, 2018; J. Gao, 2020; Kessler et al., 2022; Knight & Crick, 2021). Jadi, perayaan hari raya Nyepi bukan hanya sebagai selebrasi kebudayaan, akan tetapi mengandung nilai untuk menciptakan tindakan konformitas pada fakta sosial sebagai suatu nilai yang menjadi prioritas dalam menjaga keberagaman.

Hari raya Nyepi juga bisa diaplikasikan sebagai public pedagogies, karena mampu membangun tindakan yang berkelanjutan mengenai internalisasi ide serta apresiasi heterogenitas, yang secara praksis diaplikasikan dalam ruang publik. Public pedagogies juga bisa menjadi suatu komitmen sosial didalam memformulasikan integrasi sosial serta afirmasi cross cultural. Kebudayaan Nyepi menjadi aspek kebudayaan leluhur yang membangun kesadaran bahwa sangat penting membangun keadilan serta "merangkul" mereka yang dianggap "Sang Asing" sebagai bagian dari entitas komunal, dan menjadikan hal tersebut sebagai prinsip hidup yang inhern. Apalagi saat ini masyarakat sudah memasuki era posttruth, dimana informasi yang tidak bisa divalidasi mampu menciptakan kecurigaan, sentimen, xenophobia, dan lain-lain. Disinilah pentingnya nilai keberagaman ditanamkan agar tercipta social trust antar satu individu dengan individu lainnya (Benner, 2021; Hansson & Ohman, 2021; Malcolm, 2021; Yan & Yang, 2021). Dengan kata lain, bahwa perayaan hari raya Nyepi memiliki esensialisme untuk menjaga harmonisasi dibalik keberagaman, sekaligus mempertahankan eksistensi "jaring sosial", dengan tujuan meminimalisir disintegrasi sosial.

Selain itu, Nyepi baik juga untuk membina kerukunan umat beragama secara eksternal karena keberadaan setiap kelompok agama saat ini sangat heterogen bukan homogen. Setiap agama dianut oleh banyak suku, karakter, dan kondisi sosial. Selanjutnya pengawasan akan memotivasi orang-orang yang ada di dalamnya, sehingga mereka dapat menunjukkan eksistensinya, menjalin hubungan kerjasama, dan mampu berperan serta secara aktif dalam proses pembangunan bangsa secara keseluruhan. Nyepi mengajarkan konsep menyama braya, sebagai nilai yang sudah ada dalam agama Hindu dan secara kolaboratif dapat digunakan di masyarakat untuk membangun kerukunan dan kedamaian umat beragama sepanjang waktu. Nyepi dapat dijadikan sebagai pedagogical tools dalam menciptakan wahana berpikir tentang nilai-nilai keberagaman. Dengan penciptaan ruang belajar dalam upaya memahami nilai-nilai keberagaman, Nyepi menjadi aspek penting untuk membangun pendayagunaan semua elemen sosial, untuk hidup dalam realitas majemuk (Gildersleeve, 2019b; Jackson, 2021). Dalam masyarakat multikultural, budaya menyama braya merupakan cerminan dialog sosial sebagai bentuk kerukunan dan toleransi internal antarumat. Ajaran menyama braya adalah realitas kebudayaan yang menjadi aspek pembelajaran sosiokultural didalam menciptkan "defisit rasisme". Artinya, upaya untuk membangkitkan kembali wacana untuk memarginalisasi "Sang Asing" atau mereka yang dianggap berbeda harus diminimalisir keberadaannya. Karena jika wacana rasisme yang merendahkan kedudukan orang lain atas dasar latar belakang sosial dan kultural yang berbeda sangat menyimpang dari visi sosial, khususnya pada masyarakat yang hidup dalam keberagaman. Menyama braya bisa menjadi sebuah "ide dasar sosial" ditengah masyarakat yang beragam. Karena, masyarakat yang hidup dalam nuansa keberagaman membutuhkan konsepsi atau ide sebagai "jaring ikat" yang bermakna sebagai tindakan yang berorientasi pada tujuan fungsional, yang bertujuan untuk menciptakan nuansa persahabatan dalam lingkup mikro, meso atau bahkan makro. Keberadaan suatu ide untuk mengikat individu adalah upaya konstruktif didalam menanamkan prinsip moralitas yang nantinya teraplikasikan lewat tindakan. Ide juga harus menjadi sebuah narasi kultural yang memanusiakan manusia itu sendiri. Konsepsi atau ide semacam ini menjadi semacam humanizing curriculum yang menanamkan nilai tentang diri, sosial dan pengetahuan kultural, yang terus diciptakan dan diimplementasikan secara konsisten. Selain itu, ide mengenai kebudayaan yang mengusung konsep persaudaraan, juga bertujuan untuk menghilangkan bias kebudayaan, upaya untuk menonjolkan sisi negatif individua tau kebudayaan lain, akan tetapi kehadiran ide itu justru memperlihatkan aspek konektivitas antar indvidu sebagai wujud terbentuknya kohesi sosial yang kuat (Berkovich & Hazan, 2022; E. Chang, 2020; Dobai, 2018; D. Gao & Wang, 2021; Wong & Mishra, 2021). Dapat dijelaskan bahwa, menyama braya sebagai ide multikultural dalam pelaksanaan Nyepi adalah bentuk untuk memperlihatkan konektivitas sub sistem dalam ruang sistem sosial yang lebih besar.

Rumusan dialog di atas menjadi bukti bahwa nilai kearifan lokal Bali, menyama braya mulai muncul ke permukaan, yang sebelumnya sempat terpinggirkan. Kearifan lokal yang tidak ada persamaannya dengan nilai ajaran agama dan dapat diterapkan untuk kepentingan hidup bersama yang harus diangkat ke permukaan guna mempererat keharmonisan hidup bersama. Nilai kearifan lokal menyama braya di Bali merupakan konsep kearifan lokal yang memiliki nilai setara dengan nilai dalam ajaran agama dan dapat diterapkan untuk kemaslahatan hidup bersama yang harus diangkat ke permukaan guna memperkuat jalinan kehidupan bersama dalam kehidupan sehari-hari. Aspek ini juga berkaitan dengan upaya memikirkan bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat untuk menciptakan tatanan hidup yang lebih stabil dan dapat mengurangi konflik dalam kehidupan bersama. Nilai kearifan lokal yang mengandung aspek kolektivitas adalah bentuk pengejewantahan dari proses mempelajari lingkungan sosial, upaya menerima perbedaan, serta menciptakan kemungkinan dalam melakukan kolaborasi dalam konteks silang budaya. Kolaborasi dan interaksi "menyilang" yang ditawarkan melalui konsep menyama braya adalah upaya untuk menciptakan konformitas antar subjek sosial, mencegah adanya determinisme individual dan memperkecil risiko keretakan sistem sosial yang ajeg (Holmes et al., 2021; Williamson et al., 2021). Hal ini adalah bentuk tendensi sekaligus definisi, bahwa "pengalaman subjek" yang secara autentik hidup dalam kemajemukan, berusaha untuk membentuk sekaligus menuju orientasi konvergen atau proses menuju satu titik penyatuan. Nilai kearifan lokal sebagai aspek immaterial menciptakan ruang "hibrid", dimana semua perbedaan bertemu dan mengalami fusi, fusi yang lahir memberikan implikasi sosial bagi realitas interaksi dan kehidupan sosial itu sendiri -- ini menjadi suatu atribut didalam mengorganisasikan pemahaman, komunikasi interaksif dan deliberatif dalam membentuk tindakan-tindakan kemanusiaan. Dalam ruang kemajemukan dan ide yang menyertainya, juga teraplikasi intersubjektivitas, yakni tumbuhnya kesadaran dan pembentukan sistem resiprokal, yaitu menciptakan pola individu yang saling terkait dalam relasi sosialnya (Donoso et al., 2020; Dunlop et al., 2021; Laaser & Karlsson, 2021; Tian & Virtanen, 2021). Dapat dijelaskan bahwa, konsepsi menyama braya adalah proses pembentukan "ruang hibrid" yang melibatkan aspek intersubjektivitas diantara individu, menciptakan relasi interdependen dalam ruang sosial yang majemuk.

Segala makna dan dampak Nyepi akan terlihat baik jika didukung oleh semua pihak, karena dampak dari pelaksanaan Nyepi, tidak hanya bagi umat Hindu saja, tetapi juga bagi umat lain dan seluruh alam semesta. Karena melalui Nyepi, manusia diajarkan untuk berdamai. Santa dyayuh santa Prithvi (semoga langit penuh damai), Santam idam urvantariksam, Santa santa udanvatir apah (semoga bumi bebas dari gangguan). Santa nah santu osadhih (semoga bumi memiliki suasana yang baik). Mewujudkan semua Brata Penyepian dalam kehidupan sehari-hari memang tidak mudah, walaupun kita tidak mampu mewujudkan seluruh potensinya, namun tetap bisa dilakukan dengan saling menghargai satu sama lain, kebahagiaan rumah tangga akan terwujud dengan karakter suami yang puas akan istrinya, istri juga puas akan suaminya, orang tua serasi dengan anak mereka begitu juga dengan saudara mereka. Catur Brata Penyepian yang dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan keharmonisan dan menghargai keberadaan individu lain, termasuk individu yang berbeda adalah wujud dari welas asih. Welas asih adalah bentuk aplikatif dari tindakan mendegradasi kekuatan demonik dalam diri manusia. dengan menguasai diri, maka manusia memiliki kehendak positif atas dirinya. Hal ini akan terimplementasikan lewat tindakantindakan humanis. Kehendak dan kendali penuh atas diri dan pikiran adalah upaya untuk mensinkronisasikan aspek kognitif, emosional, tindakan yang bermanfaat pada pengendalian pikiran, yang berfungsi untuk mendukung penciptaan meta-analisis dalam diri manusia. Meta-analisis ini dapat dipergunakan sebagai wahana kontemplasi, bahwa tidak ada sesuatu yang seragam, semua aspek yang tercipta adalah entitas yang beragam. Maka, keberagaman bukan menjadi sesuatu yang harus dihindari atau dihilangkan, akan tetapi keberagaman menjadi realitas niscaya serta subtil yang harus diterima eksistensinya. Hal ini hanya bisa dicapai dengan memahami realitas Nyepi dan Catur Brata Penyepian sebagai bentuk indigenous knowledge. Indigenous knowledge mengajarkan tentang aspek tindakan bertanggung jawab dalam relasi silang dengan komunitas lain yang berbeda (Chambers, 2021; Jacob et al., 2018; Razza et al., 2021). Dengan kata lain, dapat dijelaskan bahwa esensialisme pada perayaan hari raya Nyepi adalah momentum untuk mengaplikasikan aspek kognitif, afektif, emosi dan praksis dalam memahami, menginternalisasi serta menindaklanjuti nilai indigenous knowledge dalam memaknai kehadiran entitas lain dalam ruang sosial yang heterogen.

4. SIMPULAN

Pendidikan multikultural dalam agama Hindu dapat diintegrasikan ke dalam beberapa konsep nilai. Nilai-nilai seperti pentingnya kebersamaan, saling menghormati, dan saling membantu menjadi kunci bagaimana pendidikan multikultural dapat didemonstrasikan/diimplementasikan. Seperti yang mengandung nilai-nilai universal adalah konsep tat tvam asi, tri kaya parisudha, Tri Hita Karana dan lain-lain. Nilai-nilai tersebut tidak hanya bagi mereka yang beragama Hindu, tetapi juga ditujukan kepada seluruh umat manusia pada umumnya. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa agama Hindu memiliki konsep yang kaya yang dapat diadopsi sebagai bagian integral dari pendidikan multikultural, terutama di wilayah Indonesia yang majemuk. Nilai-nilai universal itu bisa saja muncul dari agama Hindu, namun kandungan pentingnya hidup bersama adalah milik seluruh umat manusia. Jadi, harapan umat Hindu juga merupakan harapan bagi seluruh umat manusia. Intisari dari kearifan lokal Nyepi adalah kearifan lokal ini mengandung idiom sagilik saguluk salunglung sabayantaka paras-paras sarpanaya (kebulatan tekad dan saling melengkapi dalam menghadapi persoalan hidup).

5. DAFTAR PUSTAKA

 

Akkerman, S. F., Bakker, A., & Penuel, W. R. (2021). Relevance of Educational Research: An Ontological Conceptualization. Educational Researcher, 50(6), 416--424. https://doi.org/10.3102/0013189X211028239.

Arka, I. M. (2022). Pengaruh Globalisasi Pelaksanaan Hari Raya Nyepi dalam Bali Kekinian. Cakrawati,

Jurnal Adat dan Budaya Vol. 3, No. 2, Tahun 2021, pp. 67-82

4(2), 9--20. https://doi.org/https://doi.org/10.47532/jic.v4i2.300.

Baker, P. S. (2018). A Multicultural Education Praxis: Integrating Past and Present, Living Theories and Practice. International Journal of Multicultural Education, 20(1), 48--66. https://doi.org/10.18251/ijme.v20i1.1518.

Benner, D. (2021). On Justice in Pedagogical Contexts. ECNU Review of Education, 4(4), 669--685. https://doi.org/10.1177/2096531120933278.

Berkovich, I., & Hazan, L. P. (2022). Publicwashing in Education: Definition, Motives and Manifestations. Educational Researcher, 20(10), 1--8. https://doi.org/10.3102/0013189X211070810.

Bettez, S. C. (2020). Creating Community Commitments in the Higher Education Classroom. About Campus: Enriching the Student Learning Experience, 25(1), 14--18. https://doi.org/10.1177/1086482220906151.

Beycioglu, K., & Kondakci, Y. (2021). Organizational Change in Schools. ECNU Review of Education, 4(4), 788--807. https://doi.org/10.1177/2096531120932177.

Braden, S. K. (2020). Scientists Can't Really Talk to People: Unpacking Students Metacommentary on The Racialized and Gendered Science Nerd Trope. International Journal of Multicultural Education, 22(2), 87--108. https://doi.org/10.18251/ijme.v22i2.2439.

Brocic, M., & Miles, A. (2021). College and The "Culture War": Assessing Higher Education's Influence on Moral Attitudes. In American Sociological Review (Vol. 86, Issue 5). https://doi.org/10.1177/00031224211041094.

Chambers, A. C. (2021). 'Somewhere Between Science and Superstition': Religious Outrage, Horrific Science, and The Exorcist (1973). History of the Human Sciences, 34(5), 32--52. https://doi.org/10.1177/09526951211004465.

Chang, C.-F., & Hall, N. C. (2022). Differentiating Teachers Social Goals: Implications for Teacher-- Student Relationships and Perceived Classroom Engagement. AERA Open, 8(1), 1--16. https://doi.org/10.1177/23328584211064916.

Chang, E. (2020). Redacting "Stock Stories" of Education Inequities: Toward Legitimate Digital Participation. International Journal of Multicultural Education, 22(2), 163--181. https://doi.org/10.18251/ijme.v22i2.2409.

Chang, H. (2018). A Journal Editor's Identity Journey: An Autoethnography of Becoming, Being, and Beyond. International Journal of Multicultural Education, 20(3), 1--16. https://doi.org/10.18251/ijme.v20i3.1846.

Chase, S., & Morrison, K. (2018). Implementation of Multicultural Education in Unschooling and Its Potential. International Journal of Multicultural Education, 20(3), 39--58. https://doi.org/10.18251/ijme.v20i3.1632.

Cherner, T., & Fegely, A. (2018). Answering Damarin's Call: How iOS Apps Approach Diversity, Equity and Multiculturalism. International Journal of Multicultural Education, 20(1), 21--47. https://doi.org/10.18251/ijme.v20i1.1464.

Cheung, A. C. K., & Xie, C. (2021). Evidence-Based Reform in Education: Global Perspectives. ECNU Review of Education, 4(1), 3--6. https://doi.org/10.1177/2096531120984793.

Collins, C. S., & Stockton, C. M. (2018). The Central Role of Theory in Qualitative Research. International Journal of Qualitative Methods, 17(1), 1--10. https://doi.org/10.1177/1609406918797475.

Dauh, I. W., & Dharma, M. B. S. (2020). Tradisi Melasti dalam Rangkaian Hari Raya Nyepi di Desa Pancasari, Sukasada, Buleleng. Vidya Wertta, 4(1), 33--46. https://doi.org/https://doi.org/10.32795/vw.v4i1.1704.

Delanty, G., & Harris, N. (2021). Critical Theory and The Question of Technology: The Frankfurt School Revisited. Thesis Eleven, 166(1), 88--108. https://doi.org/10.1177/07255136211002055.

Denzin, N. K. (2020). Qualitative Inquiry in an International Space. International Review of Qualitative

Jurnal Adat dan Budaya Vol. 3, No. 2, Tahun 2021, pp. 67-82

87

Research, 13(1), 3--4. https://doi.org/10.1177/1940844720920075.

Dobai, K. V. (2018). Remixing Selfies: Arts-Based Explorations of Funds of Knowledge, MeaningMaking, and Intercultural Learning in Literacy. International Journal of Multicultural Education, 20(2), 117--132. https://doi.org/10.18251/ijme.v20i2.1572.

Donoso, A., Ortega, K., & Castillo, P. A. P. (2020). Understanding The Meaning of Multicultural Collaboration in a Public-School EFL Class. International Journal of Multicultural Education, 22(1), 1-- 15. https://doi.org/10.18251/ijme.v22i1.1929.

Dorans, E. R., Murray, F., Andrade, M. de, Wyatt, J., & Stenhouse, R. (2021). Qualitative Inquiry, Activism, the Academy, and the Infinite Game: An Introduction to the Special Issue. International Review of Qualitative Research, 14(1), 3--16. https://doi.org/10.1177/1940844721991079.

Dover, A. G., & Valls, F. R. (2018). Learning to "Brave Up": Collaboration, Agency, and Authority in Multicultural, Multilingual, and Radically Inclusive Classrooms. International Journal of Multicultural Education, 20(3), 59--79. https://doi.org/10.18251/ijme.v20i3.1670.

Dunlop, M., Negro, G. Del, Munck, K. De, Gale, K., Mackay, S. M., Price, M., Sakellariadis, A., Soler, G., Speedy, J., & Hove, G. Van. (2021). Something Happened in the Room: Conceptualizing Intersubjectivation. International Review of Qualitative Research, 14(1), 67--86. https://doi.org/10.1177/1940844720968214.

Dyson, B., Shen, Y., Xiong, W., & Dang, L. (2021). How Cooperative Learning Is Conceptualized and Implemented in Chinese Physical Education: A Systematic Review of Literature. ECNU Review of Education, 1--22. https://doi.org/10.1177/20965311211006721.

Fenwick, T., & Edwards, R. (2016). Exploring The Impact of Digital Technologies on Professional Responsibilities and Education. European Educational Research Journal, 15(1), 117--131. https://doi.org/10.1177/1474904115608387.

Fisher, D. (2021). Educational Leadership and the Impact of Societal Culture on Effective Practices. Journal of Research in International Education, 20(2), 134--153. https://doi.org/10.1177/14752409211032531.

Gao, D., & Wang, D. (2021). Rethinking "Basic Issues" in Moral Education. ECNU Review of Education, 4(4), 707--726. https://doi.org/10.1177/2096531120950322.

Gao, J. (2020). Learning from Asian American High School Students Voices. International Journal of Multicultural Education, 22(3), 76--95.

Gateri, N. W. (2021). Makna Hari Raya Nyepi Sebagai Peningkatan Spiritual. Tampung Penyang: Jurnal Ilmu Agama Dan Budaya Hindu, 19(2), 150--162. https://doi.org/https://doi.org/10.33363/tampungpenyang.v19i2.756.

Gildersleeve, R. E. (2019a). Creating Learning Environments for All. About Campus: Enriching the Student Learning Experience, 24(1), 3--3. https://doi.org/10.1177/1086482219862507.

Gildersleeve, R. E. (2019b). Creating Learning Environments for All. About Campus: Enriching the Student Learning Experience, 24(1), 3--3. https://doi.org/10.1177/1086482219862507.

Hansson, P., & Ohman, J. (2021). Museum Education and Sustainable Development: A Public Pedagogy. European Educational Research Journal, 1--15. https://doi.org/10.1177/14749041211056443.

Head, G. (2020). Ethics in Educational Research: Review Boards, Ethical Issues and Researcher Development. European Educational Research Journal, 19(1), 72--83. https://doi.org/10.1177/1474904118796315.

Holmes, M., Jamieson, L., & Natalier, K. (2021). Future Building and Emotional Reflexivity: Gendered or Queered Navigations of Agency in Non-Normative Relationships? Sociology, 55(4), 734--750. https://doi.org/10.1177/0038038520981841.

Horn, S., & Veermans, K. (2019). Critical Thinking Efficacy and Transfer Skills Defend Against 'Fake News' at an International School in Finland. Journal of Research in International Education, 18(1), 23-- 41. https://doi.org/10.1177/1475240919830003.

Jurnal Adat dan Budaya Vol. 3, No. 2, Tahun 2021, pp. 67-82

Hudde, A. (2022). Educational Differences in Cycling: Evidence from German Cities. Sociology, 1--21. https://doi.org/10.1177/00380385211063366.

Ivemark, B., & Ambrose, A. (2021). Habitus Adaptation and First-Generation University Students Adjustment to Higher Education: A Life Course Perspective. Sociology of Education, 94(3), 191--207. https://doi.org/10.1177/00380407211017060.

Jackson, C. (2021). Democratizing the Development of Evidence. Educational Researcher, 10(10), 1--7. https://doi.org/10.3102/0013189X211060357.

Jacob, M. M., Sabzalian, L., Jansen, J., Tobin, T. J., Vincent, C. G., & LaChance, K. M. (2018). The Gift of Education: How Indigenous Knowledges Can Transform The Future of Public Education. International Journal of Multicultural Education, 20(1), 157--185. https://doi.org/10.18251/ijme.v20i1.1534.

Jacobson, M. J., Levin, J. A., & Kapur, M. (2019). Education as a Complex System: Conceptual and Methodological Implications. Educational Researcher, 48(2), 112--119. https://doi.org/10.3102/0013189X19826958.

Joyce, K. E., & Cartwright, N. (2020). Bridging the Gap Between Research and Practice: Predicting What Will Work Locally. American Educational Research Journal, 57(3), 1045--1082. https://doi.org/10.3102/0002831219866687.

Kahne, J., & Bowyer, B. (2017). Educating for Democracy in a Partisan Age: Confronting the Challenges of Motivated Reasoning and Misinformation. American Educational Research Journal, 54(1), 3--34. https://doi.org/10.3102/0002831216679817.

Kalogeropoulos, P., Russo, J. A., & Clarkson, P. (2021). Exploring Educator Values Alignment Strategies in an Intervention Context: The Emergence of the Beacon Strategy. ECNU Review of Education, 4(2), 327--348. https://doi.org/10.1177/2096531120923127.

Kessler, S. H., Schafer, M. S., Johann, D., & Rauhut, H. (2022). Mapping Mental Models of Science Communication: How Academics in Germany, Austria and Switzerland Understand and Practice Science Communication. Public Understanding of Science, 1--21. https://doi.org/10.1177/09636625211065743.

Knight, C., & Crick, T. (2021). Inclusive Education in Wales: Interpreting Discourses of Values and Practice Using Critical Policy Analysis. ECNU Review of Education, 1--26. https://doi.org/10.1177/20965311211039858.

Kraus, S., Jones, P., Kailer, N., Weinmann, A., Chaparro-Banegas, N., & Roig-Tierno, N. (2021). Digital Transformation: An Overview of The Current State of The Art of Research. SAGE Open, 11(3), 1--15. https://doi.org/10.1177/21582440211047576.

Laaser, K., & Karlsson, J. (2021). Towards a Sociology of Meaningful Work. Work, Employment and Society, 1--18. https://doi.org/10.1177/09500170211055998.

Li, A., & Hu, A. (2021). Community Contexts, Socioeconomic Status, and Meritocratic Beliefs and Perceptions in China. Chinese Journal of Sociology, 7(3), 470--493. https://doi.org/10.1177/2057150X211023235.

Malcolm, D. (2021). Post-Truth Society? An Eliasian Sociological Analysis of Knowledge in The 21st Century. Sociology, 55(6), 1063--1079. https://doi.org/10.1177/0038038521994039.

Mannheimer, S., Pienta, A., Kirilova, D., Elman, C., & Wutich, A. (2019). Qualitative Data Sharing: Data Repositories and Academic Libraries as Key Partners in Addressing Challenges. American Behavioral Scientist, 63(5), 643--664. https://doi.org/10.1177/0002764218784991.

Miller, M. B., Kral, M., & Aragon, A. O. (2020). Participatory Action Research: International Perspectives and Practices. International Review of Qualitative Research, 13(2), 103--111. https://doi.org/10.1177/1940844720933225.

Misco, T. (2018). Culturally Responsive Curriculum and Pedagogy in The Commonwealth of The Northern Mariana Islands. International Journal of Multicultural Education, 20(2), 81--100. https://doi.org/10.18251/ijme.v20i2.1575.

Jurnal Adat dan Budaya Vol. 3, No. 2, Tahun 2021, pp. 67-82

89

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun