I. PENDAHULUAN
Pendidikan multikultural adalah aspek praksis yang menekankan pemahaman tentang heterogenitas kultural atau budaya dari suatu komunitas sosial ataupun dalam lingkup suatu negara. Keberagaman latar belakang sosial ataupun kultural yang dimiliki oleh setiap individu tumbuh dan hidup dalam ruang sosial, dimana setiap individu memberikan apresiasiterhadap perbedaan, mengusung pemikiran yang memandang serta memprioritaskan ekuivalensi, serta mengidentifikasikan dirinya satu sama lain. Perbedaan dalam aspek suku, agama, ras ataupun antar golongan terjewantahkan secara horizontal, yang menandakan bahwa dalam sistem sosial yang berbhineka, ada skala prioritas untuk mengutamakan kesetaraan dalam lingkup keberagaman. Prinsip hidup semacam ini adalah aspek hidup yang mengutamakan moralitas sosial, dalam interaksi antar individunya. Pola kehidupan sosial yang dilingkupi oleh keberagaman adalah suatu bentuk untuk menghilangkan stereotif ataupun stigma pada mereka yang dianggap berbeda. Kehidupan multikultur juga mengajarkan suatu refleksi tindakan dalam merancang proses belajar untuk menerima perbedaan. Pengetahuan budaya juga membantu kehidupan sosial didalam merancang pola hidup harmonis saat ini dan juga dimasa yang akan datang. Karena prinsip kehidupan yang multikultur adalah mengajarkan setiap individu untuk "melihat realitas moralitas zaman dulu, tetapi diaplikasikan sebagai sebuah tindakan dimasa yang akan datang". Narasi metaforis ini menjadi titik awal, bahwa keberagaman bukan menjadi sebuah ancaman ataupun sesuatu yang harus ditakuti, akan tetapi keberagaman mengajarkan tentang pola untuk merancang keadilan sosial tanpa melihat latar belakang seseorang (Braden, 2020; H. Chang, 2018; Reynolds, 2018; Stanton et al., 2020; Zinn, 2021). Pendidikan multikultur juga memiliki kebermanfaatan berupa proses konstruksi nuansa sosial yang inklusif dan upaya untuk menciptakan kesetaraan antar individu ataupun antar kelompok. Pendidikan multikultur yang mengajarkan tentang ajaran moral akan membangun perspektif serta bagaimana seorang individu menempatkan dirinya dalam arena sosial yang majemuk. Karena, jika aspek teoretis serta praksis dari pendidikan multikultur tidak ditanamkan sejak dini, maka potensi terjadinya konflik akan sangat besar. Secara teoretis, semakin majemuk suatu masyarakat, maka potensi terjadinya gesekan sosial ataupun konflik sosial akan semakin tinggi. Dilain sisi, pendidikan multikultur menunjukkan kebijaksanaan lokal masyarakat indiginus, khususnya bagaimana cara menghadapi serta menghargai perbedaan. Orientasi hidup ini akan membawa setiap individu untuk melakukan introspeksi diri sebagai bentuk tindakan hidup (Brocic & Miles, 2021; Cherner & Fegely, 2018; Renganathan & Kral, 2018; Tang, 2021; Zhang, 2021). Jadi, pendidikan multikultur memegang peranan yang esensial didalam membangun aspek kontemplatif manusia untuk melihat moralitas zaman dulu, serta diaplikasikan dengan realitas sosial hari ini.
Pendidikan multikultur secara ideal diajarkan serta diimplementasikan dalam realitas sosial majemuk. Karena, kemajemukan suatu entitas geografis dan sosial sangat potensial menghasilkan konflik. Maka, dibutuhkan suatu "kanopi" untuk menjadi "payung" mengenai bagaimana suatu komunitas berpikir sekaligus bertindak, sebagai bentuk penerimaan sosial pada "mereka yang berbeda". Konstruksi pemikiran ini akan melahirkan konsep "penciptaan komitmen komunitas", yakni ruang untuk memberikan edukasi, menciptakan lingkungan dimana setiap individunya saling terintegrasi, serta memperkaya khazanah pengetahuan mengenai proses menerima "yang lain". Tindakan konsisten dalam ruang keberagaman akan menciptakan matriks sosial berupa resiliensi setiap individu didalam menghadapi tantangan kemajemukan dimasa yang akan datang. Pendekatan-pendekatan sosial tentang "ada yang berbeda" juga bermanfaat didalam menciptakan konsep kehati-hatian dalam menerima isu yang dapat merusak tatanan keberagaman. Ruang semacam ini akan membentuk aspek kebermanfaatan untuk mengembangkan konsep demokratisasi, dimana setiap orang mendapatkan penghargaan, tanpa memandang dari budaya mana ia berasal. Hal ini akan membantu setiap individu untuk berpartisipasi menciptakan konformitas sosial (Bettez, 2020; Gildersleeve, 2019a; Jackson, 2021; Wright et al., 2019; Zhou & Li, 2021). Rasionalisasi didalam menerima perbedaan adalah bentuk rekonstruksi untuk mempererat "simpul sosial" dalam era kontemporer. Hal ini mengandung arti bahwa pengembangan pendidikan multikultural adalah upaya untuk mengembangkan konsepsi belajar dan tindakan mengenai kehidupan sosial. Determinisme pluralitas harus menjadi prioritas pada era distruptif ini. Idealisme yang diusung oleh pendidikan multikultur membawa kita pada dimensi untuk menciptakan diskursus cross-cultural, sebagai upaya untuk mengevaluasi sub sistem yang dianggap berpotensi meresistensi tatanan kemajemukan yang sudah ada (C.-F. Chang & Hall, 2022; Delanty & Harris, 2021; Horn & Veermans, 2019; Misco, 2018; Yosso, 2020). Dengan kata lain, pendidikan multikultur secara ideal berusaha menyajikan konsepsi berpikir, elemen sosial dibangun oleh individu yang berbeda, akan tetapi perbedaan tersebut dijadikan sebagai suatu fondasi membangun tatanan sosial yang lebih baik, karena setiap individu dalam kehidupan sosialnya tidak bisa menghindari perbedaan, perbedaan menjadi sebuah keniscayaan.
Pentingnya penanaman ide-ide keberagaman kepada setiap individu ataupun kepada setiap pembelajar, maka perlu rekognisi kultural yang dimiliki oleh suatu komunitas sosial ataupun masyarakat tertentu, dimana budaya yang dimiliki sebagai aset immaterial mampu menghadirkan nilai-nilai keberagaman. Salah satu budaya yang erat kaitannya dengan aspek multikultrualisme adalah budaya Nyepi yang dimiliki oleh masyarakat Bali. Pokok bahasan tentang Nyepi tidak hanya merujuk pada teks-teks agama yang berasal dari suatu aliran, tetapi juga dari berbagai pengarang, zaman, dan pemikiran. Paradigma pemahaman agama yang inklusif dan moderat, serta mampu berkontribusi dalam mengajarkan dan mengimplementasikan nilai-nilai kebhinekaan yang diusung kepada siswa di sekolah. Sekolah harus berperan dalam membangun lingkungan pendidikan yang pluralis dan toleran. Keberadaan konsepsi multikultur pada perayaan hari raya Nyepi menstimulus sebuah riset mengenai kebudayaan dan nilai-nilai moral yang ada didalamnya, yang bisa diaplikasikan sebagai bentuk etika sosial, cara berpikir mendalam dan teraplikasikan dalam bentuk tindakan. Terlebih, di era globalisasi ada potensi yang meningkatkan peluang untuk menghilangkan jejak kultural suatu masyarakat. Hal ini perlu diantisipasi, karena kebudayaan suatu masyarakat (termasuk Nyepi) mengandung aspek penting dalam menyebarkan nilai-nilai etika ataupun moral, terkhusus dalam mengajarkan nilai-nilai hetergonetitas atau mengajarkan ilmu pengetahuan berdasarkan jejak etnografis. Eksistensi kebudayaan ini menjadi suatu formulasi didalam membangun paradigma yang "mencerahkan" serta membangun ide-ide deliberatif yang mengutamakan kesetaraan. Pendidikan multikultur menjadi aspek pendidikan yang kompleks dan penting karena adanya suatu upaya konsisten dalam perspektif konseptual didalam membentuk sistem tindakan kolektif, tanpa mempermasalahkan perbedaan social background (Head, 2020; Jacobson et al., 2019; Kahne & Bowyer, 2017; Kraus et al., 2021; Roopesh, 2021). Keberadaan lingkungan yang memegang teguh prinsip seperti ini akan berguna untuk membangun tindakan sosial berkelanjutan serta berkontribusi membangun nuansa sosial yang lebih hidup. Keberadaan aspek kebudayaan yang diterapkan dalam arena sosial bertujuan untuk memahami kompleksitas ruang sosial itu sendiri, sekaligus membangun struktur tindakan bermakna. Hal ini akan berimplikasi pada akuntabilitas tindakan setiap individu dalam ruang-ruang publik, sebagai ruang komunal. Nilai-nilai Nyepi selain disampaikan dalam bentuk tindakan, juga disampaikan lewat lisan. Penyampaian nilai secara lisan bertujuan untuk menyampaikan pengetahuan sekaligus "menyemaikan" konsep yang nantinya bisa terinternalisasi. Dan pada akhirnya, akan terbentuk pengetahuan yang berbasiskan pada etika dan moral (Fisher, 2021; Hudde, 2022; Peng et al., 2021; Tsang, 2020; Yin, 2022). Dengan kata lain, dapat dijelaskan bahwa keberadaan pendidikan multikultur memberikan aspek kognitif berupa konsepsi mengenai perbedaan atau keberagaman, dan disisi lain memberikan panduan bertindak dalam menghargai kebhinekaan itu sendiri.
Hari Raya Nyepi biasanya jatuh pada bulan Maret, Tanggal Apisan, Sasih Kedasa. Pelaksanaan Nyepi memiliki beberapa rangkaian upacara, mulai dari melasti, nyejer, ngerupuk, tawur, sipeng ,ngembak geni serta dharma santi. Popularitas Nyepi tidak hanya diketahui oleh masyarakat Bali tetapi juga mereka yang pernah berada di Bali, apalagi kebetulan di Bali bertepatan dengan perayaan Nyepi. Menjadi sangat istimewa pelaksanaan brata penyepian di Bali karena timbul kerjasama yang baik antara pemerintah Bali dan seluruh komponen masyarakat Bali untuk mendukung perayaan tersebut dengan menutup Bandara Ngurah Rai selama satu hari, larangan kegiatan apapun di jalanan, tidak menyalakan api dan diharapkan seluruh masyarakat Bali dapat berkontemplasi di rumah atau di tempat yang baik selama 24 jam. Dengan kata lain, pelaksanaan hari raya Nyepi mengajarkan nilainilai multikultural seperti toleransi, timbang rasa, kebersamaan, suka duka atau dalam idiomatik Bahasa Bali dikenal dengan istilah sagilik saguluk salunglung sabayantaka. Nilainilai yang terkandung didala perayaan Nyepi mengandung aspek ideological standpoint. Ideological standpoint adalah sudut pandang yang menunjukkan bukti bahwa suatu kultur tertentu tidak mengandung nilai eksklusivitas, akan tetapi mengandung nilai inklusivitas yang ditindaklanjuti dengan tindakan-tindakan terbaik. Nilai-nilai yang diajarkan oleh ideological standpoint mengajarkan tentang konsepsi beradaptasi sebagai bentuk penguatan modal budaya, membantu mengonstruksi nilai ekualitas yang determinan, serta konsepsi keadilan dalam ruang sosial (Benner, 2021; Ivemark & Ambrose, 2021; Knight & Crick, 2021). Dengan kata lain, keberadaan Nyepi tidak berhenti pada aspek seremonial, akan tetapi sebagai bentuk "teks sosial" yang membantu individu membangun jejaring sosial, melalui penguatan nilai-nilai keberagaman, dalam ruang pluralisme.
Aspek implementatif dari penghayatan hari raya Nyepi akan menjauhkan setiap individu dari upaya untuk memarginalisasi individu lainnya. Karena keputusan menerima perbedaan adalah suatu sikap yang senada dengan penerimaan mengenai ide-ide kemajemukan. Dalam era teknologi digital seperti saat ini, arus global memberikan pengaruh besar bagi semua individu ataupun institusi sosial diseluruh dunia. Maka, dibutuhkan komunitas multikultural untuk berkontribusi mengantisipasi "kehancuran" akibat maraknya diskriminasi (Chase & Morrison, 2018; Cheung & Xie, 2021; Fenwick & Edwards, 2016; Kalogeropoulos et al., 2021; Pithouse-Morgan et al., 2018). Nyepi juga menjadi aspek legitimasi simbolik dalam memahami nilai-nilai kemanusiaan, khususnya dalam menangkal agresivitas fitnah yang merusak tatanan sosial. Nyepi juga memberikan pengalaman sosio-kultural kepada setiap individu mengenai kekuatan "modal kebudayaan" dalam menciptakan habitus sosial
Hal ini akan berguna didalam mengembangkan kemampuan emosional serta interpersonal sebagai bentuk konstruktivisme sosial. Aspek kultural ini bisa menjadi "social treatment" didalam membentuk rigoritas pengalaman sosial, khususnya tentang eksistensi perbedaan kultural. Ini menjadi indikasi, bahwa ada perhatian mendalam mengenai identitas multikultur yang selalu hidup dalam ranah sosial tiap individu (Dyson et al., 2021; Ivemark & Ambrose, 2021; Slavin et al., 2021; Smith-Warshaw et al., 2020; Valiverronen & Saikkonen, 2021). Dapat disimpulkan bahwa, pelaksanaan Nyepi dan nilai-nilai yang ada didalamnya menunjukkan adanya afirmasi sosial dari masyarakat majemukm dan implementasi dari tindakan multikultur sebagai tindakan universal serta inklusif. Nyepi dan nilai-nilai multikultur yang ada didalamnya membantu memberikan perspektif personal maupun komunal dalam membangun "pengalaman hidup", life trajectories, dan refleksi sosial, membantu tiap individu untuk menempatkan diri dan hidup dalam realitas heterogen dalam upaya untuk menciptakan wahana praksis social justice (Baker, 2018; Li & Hu, 2021; ReedDanahay, 2017). Dapat dijelaskan bahwa, Nyepi membantu tiap individu untuk melakukan redefinisi serta pemahaman ulang mengenai realitas yang dinamis, berbeda, serta membantu mereka untuk tidak menciptakan suatu perspektif yang monosentris dalam ruang-ruang sosial.
Bali memiliki tradisi yang dikenal dengan Nyepi. Nyepi sendiri memiliki arti kesunyian, dimana dalam satu hari semua aktivitas yang dilakukan oleh setiap individu dihentikan, karena berfokus pada totalitas keheningan. Aktivitas mengheningkan diri ini dilakukan selama 24 jam. Tradisi ini juga tertulis didalam teks-teks suci agama Hindu (Wijaya, 2021). Nyepi adalah upacara yang dilakukan untuk melakukan perenungan diri serta upaya untuk menghubungkan keberadaan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, leluhur dan menyatu dengan alam. Penyatuan unsur pikiran dengan entitas alam semesta bertujuan untuk mendapatkan kedamaian serta kesejahteraan. Nyepi dilaksanakan dengan berpedoman pada kitab suci Veda, konsepsi desa, kala, patra, serta desa mawacara (Arka, 2022). Ritual Nyepi yang ada di Bali erat kaitannya dengan pemaknaan simbol mengenai eksistensi ritual dengan makna ritual tersebut. Dua elemen ini memberikan nilai-nilai holsitik serta menghadirkan makna bagi krama Bali. ritual ini dijalankan sesuai dengan basis kerangka dasar agama Hindu yang terdiri dari tattwa, etika dan ritual, dengan tujuan untuk mencapai jagadhita (kesejahteraan hidup) dan juga moksartham (kebahagiaan setelah melewati kehidupan fana) (Suwena, 2017). Upacara melasti adalah salah satu rangkaian untuk menyambut hari raya Nyepi. Upacara untuk membersihkan semua peralatan ritual dan nunas atau memohon air suci di Desa Pancasari berbeda dengan desa di Bali pada umumnya. Di desa ini, pelaksanaan melasti dilakukan di dua tempat, yakni di danau yang dilakukan setiap satu tahun sekali dan di laut setiap lima tahun sekali. Esensi dari pelaksanaan upacara ini di dua tempat yang berbeda memiliki esensi yang sama, yakni memohon air suci sebagai lambang narmada (sumber mata air) yang memberikan kehidupan pada semua makhluk (Dauh & Dharma, 2020). Pelaksanaan hari raya Nyepi adalah momentum untuk melakukan upaya ngeret indriya atau suatu usaha untuk mengendalikan hawa nafsu, kemarahan, kegelisahan, serta perilaku yang merepresentasikan sifat-sifat adharma. Momen ini adalah waktu yang dinilai sangat tepat untuk melakukan kontemplasi diri, dalam upaya menjadikan diri lebih baik, dari waktu ke waktu (Gateri, 2021).
Tujuan dari riset ini adalah berfokus pada kajian agama Hindu, khususnya perayaan Nyepi dalam perspektif multikultural. Dalam kehidupan masyarakat Bali, sudah lama dikenal perayaan hari raya Nyepi yang datang setahun sekali. Riset ini berupaya untuk melakukan analisis bahwa pelaksanaan hari raya Nyepi yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali dalam kalender umat Hindu Bali juga memiliki nilia-nilai inklusif, berupa nilai-nilai pendidikan multikultural serta sosial didalam membangun realitas sosial yang ekuivalen, dimana setiap insan yang melakukan interaksi sosial tidak lagi melihat latar belakang sosial ataupun agama dari individu lain. Aspek lain yang lebih penting dari riset mengenai aspek kultural ini adalah bagaimana perayaan hari raya Nyepi mampu memberikan nuansa social equilibrium yang mengedepankan nilai-nilai pluralitas di tengah realitas masyarakat yang beragam.
2. METODE
Penelitian ini mempergunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah rancangan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis data, sekaligus bertujuan untuk pembentukan horizon baru mengenai objek penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk meninjau keberadaan upacara Nyepi yang memiliki hubungan dengan pendidikan multikultural, dengan menggunakan langkah-langkah metodis, seperti penentuan subjek penelitian, menentukan metode pengumpulan data dan analisis data. Langkah ini ditempuh dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang komprehensif. Proses etik dan bentuk tindakan etik memiliki tujuan untuk melakukan peninjauan terhadap tahapan dalam pembentukan ilmu pengetahuan, kepakaran, termasuk dalam ranah pendidikan.