Mohon tunggu...
EKASRIWIDIANI
EKASRIWIDIANI Mohon Tunggu... Arsitek - mahasiswa

bermain music

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nilai Tradisi Umat Hindu dalam Perayaan Nyepi di Bali

13 Maret 2024   16:06 Diperbarui: 23 Maret 2024   07:48 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Segala makna dan dampak Nyepi akan terlihat baik jika didukung oleh semua pihak, karena dampak dari pelaksanaan Nyepi, tidak hanya bagi umat Hindu saja, tetapi juga bagi umat lain dan seluruh alam semesta. Karena melalui Nyepi, manusia diajarkan untuk berdamai. Santa dyayuh santa Prithvi (semoga langit penuh damai). Santam idam urvantariksam, Santa santa udanvatir apah (semoga bumi bebas dari gangguan). Santa nah santu osadhih (semoga bumi memiliki suasana yang baik). Mewujudkan semua Brata PeNyepian dalam kehidupan sehari-hari memang tidak mudah, walaupun kita tidak mampu mewujudkan seluruh potensinya, namun tetap bisa dilakukan dengan saling menghargai satu sama lain, kebahagiaan rumah tangga akan terwujud dengan karakter suami yang puas akan istrinya, istri juga puas akan suaminya, orang tua serasi dengan anak mereka begitu juga dengan saudara mereka.

Perlu diketahui bahwa kebahagiaan keluarga adalah akar dari semua kebahagiaan di dunia. Kebahagiaan akan menular ke dunia luar, dan mau tidak mau akan dipenuhi dengan kebahagiaan pula. Untuk pemimpin dengan nafsu kebinatangan, suami, pria, wanita, yang suka menindas, otoriter, egois, kopulasi, suka bertengkar, egois telah disempurnakan oleh dirinya sendiri di dalam keluarga. Oleh karena itu pelaksanaan pertapaan peNyepian, amati gni, amati lelungan, amati lelanguan dan amati karya pada saat Nyepi menjadi penting untuk bergerak menuju alam semesta yang damai baik di sini maupun secara niskala. Dalam pelaksanaan agenda besar ini, umat Hindu harus bisa memilah dan memanfaatkan perayaan Nyepi yang memiliki nilai ajaran filosofis bahwa manusia mampu mengendalikan diri, mulat sarira, keselarasan dengan alam, manusia lain dan Tuhan sebagai landasan mencapai jagadhita (kebahagiaan). Jika dilihat secara mendalam, sebenarnya upacara Nyepi memiliki tujuan meningkatkan kesadaran kodrat manusia akan keharmonisan hidup yang membawa kedamaian bagi kehidupan manusia (langeng dirahning manah nira).

3.2 PEMBAHASAN

 

Terkait dengan pelaksanaan hari raya Nyepi yang merupakan salah satu hari raya umat Hindu, sebagai upacara "tahun baru", yang oleh umat Hindu di Bali diperingati secara khusus dengan melaksanakan Tapa-Brata-Yoga-Semadi, atau yang secara praktis dikenal sebagai Catur Brata Nyepi. Tidak menyalakan api (amati gni), tidak bekerja (amati karya), tidak bepergian kemana-mana (amati lelungaan), dan tidak menikmati kesenangan (amati lelanguan) adalah empat jenis disiplin spiritual yang dilakukan oleh umat Hindu dalam menghadapi tahun baru Caka. Dalam menghadapi pelaksanaan hari raya Nyepi yang jatuh setahun sekali di Bali, dimana masyarakat Bali tidak lagi homogen tetapi sudah heterogen. Jika diinterpretasikan, konsep Catur Brata Nyepi dalam aspek multikultur mengajarkan tentang konsep berpikir dan bertindak yang harus dimanajemen dengan baik, melakukan introspeksi diri, kontemplasi serta menunjukkan aspek praksis yang sesuai dengan konsensus sosial di tengah realitas majemuk. Karena, jika panduan berpikir dan bertindak sebagai aspek memanajemen tindakan yang sesuai konsensus sosial tidak dilakukan, maka akan mengganggu realitas harmonis dalam kehidupan sosial. Aspek ini mengajarkan tentang pola pendidikan kultural yang tidak lagi eksklusif, akan tetapi pola pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif mengajarkan tentang upaya membangun sistem tindakan kolektif, yakni adanya kompleksitas relasi sosial antar agen dengan latar belakang yang beragam, relasi sosial dalam kompleksitas ini akan melahirkan intimasi yang intensif, menciptakan investasi sosial yang lebih berkualitas, sekaligus membangun etika serta moralitas sosial antar individu dalam kehidupannya di ruang mejemuk (Jacobson et al., 2019; Peng et al., 2021; Tsang, 2020). Dapat dijelaskan bahwa, Nyepi menciptakan ruang diskursus untuk membangun pemahaman inklusif, mengenai penciptaan ruang interaksi yang bersifat "menyilang".

Pola pendidikan inklusif sangat penting diimplementasikan dalam realitas sosial, karena selain menciptakan harmoni sosial, juga mengusung misi harmoni yang lain. Pendidikan inklusif yang didapatkan dari "sari pati" serta nilai kebudayaan komunitas sosial memberikan pesan sentral tentang aspek kebermaknaan dalam menjunjung tinggi kesetaraan atau ekualitas. Bahwa sebuah kebudayaan tertentu yang dimiliki oleh suatu masyarakat tidak dipergunakan sebagai "senjata" bagi mereka yang "dominan", akan tetapi menggunakan aspek kebudayaan itu untuk mencari pola hidup yang mengutamakan kebersamaan. Ini menjadi sangat penting, karena menciptakan tindakan progresif, khususnya pada ranah pendidikan, didalam menanamkan ide kebudayaan sebagai upaya menghadapi dinamika sosial yang menjadi ancaman sebuah kerukunan. Justru dengan adanya sebuah kebudayaan menekankan tentang bagaimana setiap individu saling memberikan pengaruh positif. Keadaan ini adalah suatu kesempatan didalam meningkatkan kesadaran mengenai kapasitas kebudayaan yang mampu mengikat "mereka yang berbeda" dalam bingkai keharmonisan. Keharmonisan dalam kontek pemikiran multikultural adalah bentuk dari attention to cultural responsiveness, yakni menciptakan inherenitas, dialog yang egaliter dan substantif, serta upaya untuk memperkuat interaksi sosial dalam nuansa yang heterogen (Bettez, 2020; Misco, 2018). Kebudayaan dan konsepsi nilai-nilai multikultural yang terkandung didalamnya, menjadi aspek bermakna sekaligus menjadi prosedur ilmu pengetahuan untuk memahami suatu fenomena sosial, bagaimana merancang konsepsi kognitif dalam menciptakan komunikasi antar individu dalam ruang sosial dan ruang budaya (Beycioglu & Kondakci, 2021; Dover & Valls, 2018; J. Gao, 2020; Kessler et al., 2022; Knight & Crick, 2021). Jadi, perayaan hari raya Nyepi bukan hanya sebagai selebrasi kebudayaan, akan tetapi mengandung nilai untuk menciptakan tindakan konformitas pada fakta sosial sebagai suatu nilai yang menjadi prioritas dalam menjaga keberagaman.

Hari raya Nyepi juga bisa diaplikasikan sebagai public pedagogies, karena mampu membangun tindakan yang berkelanjutan mengenai internalisasi ide serta apresiasi heterogenitas, yang secara praksis diaplikasikan dalam ruang publik. Public pedagogies juga bisa menjadi suatu komitmen sosial didalam memformulasikan integrasi sosial serta afirmasi cross cultural. Kebudayaan Nyepi menjadi aspek kebudayaan leluhur yang membangun kesadaran bahwa sangat penting membangun keadilan serta "merangkul" mereka yang dianggap "Sang Asing" sebagai bagian dari entitas komunal, dan menjadikan hal tersebut sebagai prinsip hidup yang inhern. Apalagi saat ini masyarakat sudah memasuki era posttruth, dimana informasi yang tidak bisa divalidasi mampu menciptakan kecurigaan, sentimen, xenophobia, dan lain-lain. Disinilah pentingnya nilai keberagaman ditanamkan agar tercipta social trust antar satu individu dengan individu lainnya (Benner, 2021; Hansson & Ohman, 2021; Malcolm, 2021; Yan & Yang, 2021). Dengan kata lain, bahwa perayaan hari raya Nyepi memiliki esensialisme untuk menjaga harmonisasi dibalik keberagaman, sekaligus mempertahankan eksistensi "jaring sosial", dengan tujuan meminimalisir disintegrasi sosial.

Selain itu, Nyepi baik juga untuk membina kerukunan umat beragama secara eksternal karena keberadaan setiap kelompok agama saat ini sangat heterogen bukan homogen. Setiap agama dianut oleh banyak suku, karakter, dan kondisi sosial. Selanjutnya pengawasan akan memotivasi orang-orang yang ada di dalamnya, sehingga mereka dapat menunjukkan eksistensinya, menjalin hubungan kerjasama, dan mampu berperan serta secara aktif dalam proses pembangunan bangsa secara keseluruhan. Nyepi mengajarkan konsep menyama braya, sebagai nilai yang sudah ada dalam agama Hindu dan secara kolaboratif dapat digunakan di masyarakat untuk membangun kerukunan dan kedamaian umat beragama sepanjang waktu. Nyepi dapat dijadikan sebagai pedagogical tools dalam menciptakan wahana berpikir tentang nilai-nilai keberagaman. Dengan penciptaan ruang belajar dalam upaya memahami nilai-nilai keberagaman, Nyepi menjadi aspek penting untuk membangun pendayagunaan semua elemen sosial, untuk hidup dalam realitas majemuk (Gildersleeve, 2019b; Jackson, 2021). Dalam masyarakat multikultural, budaya menyama braya merupakan cerminan dialog sosial sebagai bentuk kerukunan dan toleransi internal antarumat. Ajaran menyama braya adalah realitas kebudayaan yang menjadi aspek pembelajaran sosiokultural didalam menciptkan "defisit rasisme". Artinya, upaya untuk membangkitkan kembali wacana untuk memarginalisasi "Sang Asing" atau mereka yang dianggap berbeda harus diminimalisir keberadaannya. Karena jika wacana rasisme yang merendahkan kedudukan orang lain atas dasar latar belakang sosial dan kultural yang berbeda sangat menyimpang dari visi sosial, khususnya pada masyarakat yang hidup dalam keberagaman. Menyama braya bisa menjadi sebuah "ide dasar sosial" ditengah masyarakat yang beragam. Karena, masyarakat yang hidup dalam nuansa keberagaman membutuhkan konsepsi atau ide sebagai "jaring ikat" yang bermakna sebagai tindakan yang berorientasi pada tujuan fungsional, yang bertujuan untuk menciptakan nuansa persahabatan dalam lingkup mikro, meso atau bahkan makro. Keberadaan suatu ide untuk mengikat individu adalah upaya konstruktif didalam menanamkan prinsip moralitas yang nantinya teraplikasikan lewat tindakan. Ide juga harus menjadi sebuah narasi kultural yang memanusiakan manusia itu sendiri. Konsepsi atau ide semacam ini menjadi semacam humanizing curriculum yang menanamkan nilai tentang diri, sosial dan pengetahuan kultural, yang terus diciptakan dan diimplementasikan secara konsisten. Selain itu, ide mengenai kebudayaan yang mengusung konsep persaudaraan, juga bertujuan untuk menghilangkan bias kebudayaan, upaya untuk menonjolkan sisi negatif individua tau kebudayaan lain, akan tetapi kehadiran ide itu justru memperlihatkan aspek konektivitas antar indvidu sebagai wujud terbentuknya kohesi sosial yang kuat (Berkovich & Hazan, 2022; E. Chang, 2020; Dobai, 2018; D. Gao & Wang, 2021; Wong & Mishra, 2021). Dapat dijelaskan bahwa, menyama braya sebagai ide multikultural dalam pelaksanaan Nyepi adalah bentuk untuk memperlihatkan konektivitas sub sistem dalam ruang sistem sosial yang lebih besar.

Rumusan dialog di atas menjadi bukti bahwa nilai kearifan lokal Bali, menyama braya mulai muncul ke permukaan, yang sebelumnya sempat terpinggirkan. Kearifan lokal yang tidak ada persamaannya dengan nilai ajaran agama dan dapat diterapkan untuk kepentingan hidup bersama yang harus diangkat ke permukaan guna mempererat keharmonisan hidup bersama. Nilai kearifan lokal menyama braya di Bali merupakan konsep kearifan lokal yang memiliki nilai setara dengan nilai dalam ajaran agama dan dapat diterapkan untuk kemaslahatan hidup bersama yang harus diangkat ke permukaan guna memperkuat jalinan kehidupan bersama dalam kehidupan sehari-hari. Aspek ini juga berkaitan dengan upaya memikirkan bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat untuk menciptakan tatanan hidup yang lebih stabil dan dapat mengurangi konflik dalam kehidupan bersama. Nilai kearifan lokal yang mengandung aspek kolektivitas adalah bentuk pengejewantahan dari proses mempelajari lingkungan sosial, upaya menerima perbedaan, serta menciptakan kemungkinan dalam melakukan kolaborasi dalam konteks silang budaya. Kolaborasi dan interaksi "menyilang" yang ditawarkan melalui konsep menyama braya adalah upaya untuk menciptakan konformitas antar subjek sosial, mencegah adanya determinisme individual dan memperkecil risiko keretakan sistem sosial yang ajeg (Holmes et al., 2021; Williamson et al., 2021). Hal ini adalah bentuk tendensi sekaligus definisi, bahwa "pengalaman subjek" yang secara autentik hidup dalam kemajemukan, berusaha untuk membentuk sekaligus menuju orientasi konvergen atau proses menuju satu titik penyatuan. Nilai kearifan lokal sebagai aspek immaterial menciptakan ruang "hibrid", dimana semua perbedaan bertemu dan mengalami fusi, fusi yang lahir memberikan implikasi sosial bagi realitas interaksi dan kehidupan sosial itu sendiri -- ini menjadi suatu atribut didalam mengorganisasikan pemahaman, komunikasi interaksif dan deliberatif dalam membentuk tindakan-tindakan kemanusiaan. Dalam ruang kemajemukan dan ide yang menyertainya, juga teraplikasi intersubjektivitas, yakni tumbuhnya kesadaran dan pembentukan sistem resiprokal, yaitu menciptakan pola individu yang saling terkait dalam relasi sosialnya (Donoso et al., 2020; Dunlop et al., 2021; Laaser & Karlsson, 2021; Tian & Virtanen, 2021). Dapat dijelaskan bahwa, konsepsi menyama braya adalah proses pembentukan "ruang hibrid" yang melibatkan aspek intersubjektivitas diantara individu, menciptakan relasi interdependen dalam ruang sosial yang majemuk.

Segala makna dan dampak Nyepi akan terlihat baik jika didukung oleh semua pihak, karena dampak dari pelaksanaan Nyepi, tidak hanya bagi umat Hindu saja, tetapi juga bagi umat lain dan seluruh alam semesta. Karena melalui Nyepi, manusia diajarkan untuk berdamai. Santa dyayuh santa Prithvi (semoga langit penuh damai), Santam idam urvantariksam, Santa santa udanvatir apah (semoga bumi bebas dari gangguan). Santa nah santu osadhih (semoga bumi memiliki suasana yang baik). Mewujudkan semua Brata Penyepian dalam kehidupan sehari-hari memang tidak mudah, walaupun kita tidak mampu mewujudkan seluruh potensinya, namun tetap bisa dilakukan dengan saling menghargai satu sama lain, kebahagiaan rumah tangga akan terwujud dengan karakter suami yang puas akan istrinya, istri juga puas akan suaminya, orang tua serasi dengan anak mereka begitu juga dengan saudara mereka. Catur Brata Penyepian yang dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan keharmonisan dan menghargai keberadaan individu lain, termasuk individu yang berbeda adalah wujud dari welas asih. Welas asih adalah bentuk aplikatif dari tindakan mendegradasi kekuatan demonik dalam diri manusia. dengan menguasai diri, maka manusia memiliki kehendak positif atas dirinya. Hal ini akan terimplementasikan lewat tindakantindakan humanis. Kehendak dan kendali penuh atas diri dan pikiran adalah upaya untuk mensinkronisasikan aspek kognitif, emosional, tindakan yang bermanfaat pada pengendalian pikiran, yang berfungsi untuk mendukung penciptaan meta-analisis dalam diri manusia. Meta-analisis ini dapat dipergunakan sebagai wahana kontemplasi, bahwa tidak ada sesuatu yang seragam, semua aspek yang tercipta adalah entitas yang beragam. Maka, keberagaman bukan menjadi sesuatu yang harus dihindari atau dihilangkan, akan tetapi keberagaman menjadi realitas niscaya serta subtil yang harus diterima eksistensinya. Hal ini hanya bisa dicapai dengan memahami realitas Nyepi dan Catur Brata Penyepian sebagai bentuk indigenous knowledge. Indigenous knowledge mengajarkan tentang aspek tindakan bertanggung jawab dalam relasi silang dengan komunitas lain yang berbeda (Chambers, 2021; Jacob et al., 2018; Razza et al., 2021). Dengan kata lain, dapat dijelaskan bahwa esensialisme pada perayaan hari raya Nyepi adalah momentum untuk mengaplikasikan aspek kognitif, afektif, emosi dan praksis dalam memahami, menginternalisasi serta menindaklanjuti nilai indigenous knowledge dalam memaknai kehadiran entitas lain dalam ruang sosial yang heterogen.

4. SIMPULAN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun