Oleh karena itu, menurut pemerintah, tujuan diambilnya kebijakan new normal adalah untuk memperbaiki sekaligus mengantisipasi kemungkinan rontoknya ekonomi nasional yang berdampak pada keterpurukan kehidupan rakyat. Namun, benarkah kebijakan new normal adalah satu-satunya cara untuk memperbaiki ekonomi nasional?
Jika kebijakan ini diterapkan tanpa memperhatikan faktor pendukungnya secara komprehensif, lalu kasus Covid-19 melonjak lagi--bahkan berkembang menjadi gelombang kedua--maka bukankah upaya penyelamatan ekonomi menjadi pepesan kosong?
Alih-alih memperbaiki ekonomi, malah kerja penanganan yang dilakukan sebelumnya menjadi sia-sia. Pemerintah dan masyarakat harus kerja dua kali.
Sebab, ketika akar permasalahannya yaitu masalah kesehatan gagal diselesaikan, maka timbullah komplikasi yang berujung pada multi krisis: krisis ekonomi, krisis sosial dan krisis budaya. Bahkan bisa juga berujung pada krisis politik seperti yang terjadi di Brazil.
Lalu, buat apa kita melakukan penyelamatan ekonomi yang berakhir pada keterpurukan ekonomi, sosial, budaya bahkan politik?
Indikator New Normal
Sebelum mengembangkan wacana kenormalan baru, pemerintah seharusnya melakukan evaluasi menyeluruh terhadap semua langkah penanganan pandemi dan hasilnya dari Gugus Tugas dan semua stakeholder terkait. Hasil evaluasi inilah yang menjadi titik awal untuk menyiapkan langkah new normal.
Pemerintah perlu mempertimbangkan pendapat WHO bahwa negara yang hendak melakukan transisi, pelonggaran pembatasan, dan skenario new normal harus memperhatikan hal-hal berikut ini:
- Bukti yang menunjukkan bahwa transmisi COVID-19 dapat dikendalikan.
- Kapasitas sistem kesehatan termasuk rumah sakit tersedia untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak, dan mengkarantina.
- Risiko virus corona diminimalkan dalam pengaturan kerentanan tinggi, terutama di panti jompo, fasilitas kesehatan mental, dan orang-orang yang tinggal di tempat-tempat ramai.
- Langkah-langkah pencegahan di tempat kerja ditetapkan dengan jarak fisik, fasilitas mencuci tangan, dan kebersihan pernapasan.
- Risiko kasus impor dapat dikelola.
- Masyarakat dilibatkan dalam kehidupan new normal.
Apakah indikator-indikator tersebut sudah dipenuhi Indonesia? Beberapa fakta di bawah ini menunjukkan bahwa Indonesia belum siap memasuki fase kenormalan baru.
Pertama, Curva Covid-19 masih meningkat. Pemerintah menyampaikan bahwa kebijakan kenormalan baru bisa diterapkan karena adanya penurunan kasus. Untuk wilayah DKI Jakarta, pernyataan tersebut benar karena  tren penularan kasus sudah berada di bawah 1 yakni 0,9.
Namun curva kasus Covid-19 secara akumulatif nasional masih meningkat, bahkan kasus baru mencapai titik tertinggi pada 21 Mei 2020. Data per Kamis (04 Juni 2020) saja tercatat sebanyak 585 pasien baru yang tersebar di seluruh Indonesia.