Mohon tunggu...
Nenk Mawar
Nenk Mawar Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Saya hanyalah penulis receh yang tengah berperang dengan pena dan menggoreskan kata-kata

Hidup hanya sekali, buatlah hidupmu berwarna. Jangan engkau menyia-nyiakannya tetap semangat apapun keadaannya keep fighthing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Darah Perawan

7 Mei 2022   09:49 Diperbarui: 7 Mei 2022   09:56 858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh: Rosidah binti Musa


"Aku akan pergi dari tempat ini ...."

"Itu tidak mungkin, Nisa," Aisyah mencoba untuk menghentikanku. "Kau tahu, kita baru saja menempati tempat ini dan kita tidak bisa pergi gitu saja. Aku harap kau paham ...."

Perasaanku gamang, sungguh aku tidak cocok di tempat ini. Sudah dua kali aku mimpi buruk, dan itu seperti pertanda yang tak mengenakan. Memang benar, kami bertiga belum lama pindah kontrakan dan tempat ini sangat dekat dengan tempat kerja kami.

"Aku paham ... tapi please kita tinggal beberapa bulan lagi ya? Jika memang keadaannya semakin buruk. Aku dan Aisyah setuju dengan usulmu, untuk pindah."

Kuletakan kebali tas ranselku, aku tak bisa egois begitu saja. Hanya karena mimpi burukku, semua harus terbebani dengan pindahan. Wajah ke dua sahabatku begitu lega ketika kuletakan kembali ransel hitamku, mereka adalah sahabat kecil yang selalu bersama. Aku tidak bisa jika memutuskan keluar dari tempat ini sendiri, toh benar kata mereka. Kami bertiga baru saja pindah, takan mau pindah lagi.

"Thank you, Nis ...."

Mereka berdua memelukku erat, terlihat senyum bahagia diraut wajahnya. "I'm so sorry ...."

"No. Is ok, kita paham kok. Kita pun janji jika keadaannya semakin buruk, kita bertiga pindah. Kan Aisyah?"

"Benar, don't be sorry, Nis ...."

Aku berharap itu hanyalah bunga mimpi saja, lagipula cuma diriku yang merasakan bukan mereka. Jadi bukan masalah rumah kontrakan ini, mungkin aku saja berpikir buruk.

Selang beberapa minggu, ternyata benar kontrakan ini tidak seperti yang aku pikirkan. Aku sangat bersyukur karena beberapa minggu ini, tak merasakan mimpi buruk seperti sebelumnya.

"Bagaimana sekarang?" tanya Aisyah yang tengah memberesi pakaiannya.

"Alhamdulillah. Kalian benar, mungkin itu cuma perasaanku saja ...."

"Alhamdulillah," Aisyah pun bangkit, "oya, besok adikku datang ke sini ambil baju-baju ini. Besok kalian nggak ada di rumah kan?"

Aku pun ngiyakan jika besok tak ada siapa pun di kontrakan, karena Susan dan diriku kerja begitu dengan Aisyah. Mungkin dia hanya menyelipkan kunci di atas jendela kaca.

Ahhhhhhh!!!!

Teriakan histeris dari kontrakan sebelah membuat aku dan ke dua temanku bangkit dari duduknya, mereka masih menggunakan mukena begitupun denganku.

Kulihat semua orang mengerumuni, aku tak bisa melihat ada apa di dalam. Namun di sebelahku seorang wanita berkata, ada orang meninggal di kamar mandi dengan kepala pecah. Aku terperanjat bukan main, kudengar suara ambulan dan segerombolan polisi menghampiri.

Aku penasaran dengan mayat wanita tadi, karena begitu banyak orang. Aku berlari menuju gerbang rumah kontrakan Almarhum Ibu Siti, meski masih menggunakan mukena aku tak peduli. Tanganku bergetar ketika melihat mayat itu diangkat oleh petugas, Aisyah dan Susan memanggilku. Tapi aku tak peduli, semua orang pun beringsut ke dinding memberi jalan mayat gadis itu.

Gigiku bergemeletak, ketika melihat tangan mayat itu. Di sana ada tanda, iya. Aku pernah melihat tanda itu, tapi aku lupa di mana. Kakiku dengan cepat menaiki tangga. Semua tubuhku bergetar, aku ingat siapa dia.

"Iya. Aku ingat siapa dia!" seruhku membuat ke dua sahabatku terkejut.

"Maksud kamu, Nis?" Mereka serentak bertanya, merasa aneh dengan tingkah lakuku.

"Maksudku, mayat wanita itu. Aku pernah melihat dia dimimpiku ...."

"Kamu jangan ngaco deh, Nis. Mungkin kamu bertemu di jalan ya?"

"Nggak San, aku berbicara serius. Aku ingat dia menarik kakiku ...."

Bulukudukku meremang, Susan dan Aisyah tak menghiraukan diriku. Mereka berlalu, dan fokus pada ponselnya masing-masing. Tak ada yang percaya dengan ucapanku, aku melepas mukena lalu keluar.

Suasana begitu sepi, garis polisi terpasang agar tak ada yang masuk ke area ke jadian. Mataku menatap tajam ke arah dalam, aku merasa ada seseorang berjalan menghampiriku. Kupejamkan mata, dan tak bergerak dari tempatku berdiri.

"Ngapain di sini?" sapa Lisa, aku menghela napas lega. Ternyata Lisa, sungguh pikiranku selalu ingin tahu. Sebenarnya apa yang terjadi, mengapa wanita itu meninggal begitu saja di dalam kamar mandi.

"Apa sudah tahu apa penyebab wanita itu meninggal, Lis?"

"Untuk sekarang polisi mengklaim, kematian Rini karena kecelakan di kamar mandi."

"Bagaimana bisa begitu? Bukankah katamu kepalanya pecah?"

Entah bagaimana, aku tidak bisa menahan emosi. Lisa di depanku ketakutan dan meninggalkan diriku sendiri.

"Astaghfirullahaladzim ...."

Semalaman aku tak bisa tidur pulas, memikirakan wanita itu. Wajahnya masih terngiang dalam benakku, kulihat ke dua temanku tengah menyipkan diri. Pikiranku susah untuk fokus pada sepotong roti yang ada di tanganku.

"Pagi-pagi anak perawan dilarang melamun," sindir Aisyah yang tengah memakai sepatu.

"Please cepat dikit, Nisa ...."

Aku pun segera bangkit, mereka berdua menungguku ditangga. Namun, kakiku terhenti seperti melihat seseorang di dalam kontrakan sebelah. Siapa yang menerobos masuk pembatas dari polisi, seorang wanita tengah duduk memeluk kedua kakinya dan menenggelamkan wajahnya. Ketika kakiku ingin beranjat untuk melihat, Susan memanggilku dan kuurungkan langkahku untuk mendekati wanita itu. Tapi aku mencoba menoleh kebelakang dan wanita itu tidak ada. Aku pun segera mempercepat langkahku.

"Lama banget, ngapain tadi?" tanya Aisyah mencubit lembut lenganku.

"Tali sepatuku terbuka," kilahku.

Di jalan kita bertemu Ahmad, seperti yang dikatakan oleh Aisyah bahwa adiknya akan datang mengambil pakaiannya di kontrakan. Dia tersenyum ramah, dan dia berjalan menuju kontrakan tempat kita bertiga tinggal. Mataku mengikuti langkah lelaki muda itu, dan dia hilang masuk dalam gang menuju tempat kita.

"Serius amat ngeliatin Ahmad sampai langkah terakhir," goda Susan.

"Ngaco kamu, San ...."

Mereka berdua tertawa geli, dan mengambil kartu nama masing-masing. Sedangkan aku kebingungan mencari kartu nama, dan ternyata aku lupa mengambilnya di atas meja.

"Aku balik ke kontrak dulu ...."

"Kenapa?" sahut Susan.

"Kartu namaku ketinggalan!" teriakku berlari kecil.

Sebenarnya baru masuk pintu gerbang saja aku merasakan aura yang sangat panas, tapi aku tidak bisa berkata apa pun. Karena dua sahabatku begitu menyukai tempat ini.

Kulihat pintu tempatku terbuka, aku tak melihat Ahmad. Aku pun menaiki tangga dan memanggil namanya, terkejut bukan main. Aku melihat kepala anak muda itu terikat dengan membawa kartu namaku di tangan, tubuhku gemetar. Aku mencari ponsel, dengan gugup menekan tombol untuk menelepon Aisyah.

"Sya--h ... Syah ...."

"Halo, Nis. Nisa, ada apa Nis ...."

"Cepat kembali, cepat pulang ...."

"Iya ada apa?"

"Cepat pulang!" bentakku terduduk lemas menatap wajah pucat Ahmad.

Aku menangis sejadi-jadinya, sebab diriku merasa sangat bersalah dan sebenarnya aku merasakan apa yang akan terjadi. Tapi kebodohanku adalah tak menghentikannya, Aisyah dan Susan pun datang mereka langsung merengkuh Ahmad yang terbujur kaku.

"Ahmad!!!" teriak Aisyah.

Susan pun segera menelepon polisi, kutenggelamkan wajahku pada kedua kaki yang kurengkuh. Beberapa jam kemudian, terdengan pekikan seorang wanita. Aku dan Susan pun segera bangkit dan menuju kontrakan sebelah, kudengar suara itu dari dalam kamar Lisa.

"Buka pintunya Lisa!" teriak Susan. Karena tak membuka pintu, akhir Susan dan aku mendobrak pintu Lisa.

Terlihat Lisa terlilit kain dilehernya, ia menarik dengan kencang. Aku berteriak untuk melapaskan ikatan dileher Lisa, dan seketika wanita di depanku itu terdiam. Aku dan Susan mencoba mendekat, dengan cepat ia mencengkeram leher kita berdua.

"Kamu siapa?" tanyaku.

"Pergi kalian dari tempat ini, siapa pun yang berani masuki kawasan ini akan mati!" bentaknya sambil menggeram.

Susan pun mencoba untuk memberitahunya, bahwa kita semua akan pergi meninggalkan tempat ini. Namun aku mengelak dan terus bertanya mengapa dia berbuat sepeti itu, pasti ada sebabnya. Dia membunuh manusia.

Aku dan Susan dileparkan ke dinding, dan dia mulai meronta menangis. Bahwa mahluk itu dendam pada seorang lelaki yang telah membunuh wanita-wanita lalu dikuburkan di bawah bangunan ini, tapi bagaimana dengan mimpiku yang melihat gadis yang kemarin sore meninggal? Dan ternyata Rini adalah saudara kembar wanita yang merasuki Lisa, iaitu Rina.

*****

Setahun kemudian, rumah kontrakanku yang dulu ini jadi tanah pemakaman. Aku teringat Ahmad adik Aisyah, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya. Aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun