"Apakah kau akan datang?"
Belum saja kujawab, Tina buru-buru menyela, "Dia tidak akan datang, toh bukan
acara penting?"
Dia menatapku sambil mengipasi dirinya dengan kertas undangan itu, dari jauh
kulihat Rangga yang berjalan mendekati kami. Aku sudah bersiap untuk pergi, bukan
karena aku benci. Cuma tidak begitu suka dengan caranya seperti itu, padahal orang
tuanya sangatlah berharap agar dia bisa menjadi orang yang sukses dan tidak ikut
dengan teman-temannya sekarang.
Langkahku tertahan, Tina memegangi lenganku. Memintaku untuk berbicara
padanya, tapi apa gunanya juga. Toh, kemarin sudah pernah kubilang padanya. Namun
dia tak pernah nengendahkan perkataanku, dan menganggapnya seperti angin lalu.
Aku menghindarinya, agar ketika ditanya orang tuanya, aku hanya menjawab. Aku
tida tahu atau aku tak pernah bertemu dengannya. Tapi alasan itu sangat mustahil dan
tak mungkin memuaskan orang yang bertanya. Aku masih bergelut dengan perasaan,
semaki ia mendekat semakin kacau pula pikiranku.
"Bisakah aku berbicara sebentar denganmu?"
Aku terperjan dengan permintaannya, mataku memandang semua orang yang ada
dihadapanku. Terutama dengan Tina yang hanya menatap heran, Rangga menggandeng
tanganku. Kulihat wanita yang berada disebalah Rangga menatapku sedikit sinis,
padahal diriku sedikupun tak ada rasa.
"Kuharap kau tak memberi tahu orangtuaku ...."
"Maksudmu?"
"Iya, dengan rencana pernikahanku. Jika mereka tanya tentangku bilang saja aku
baik-baik ...."
Entah apa yang ada dipikirannya, memangnya semuda itu dan aku tak menanggu
doosa atas kebohonganku yang tak waras ini. Dia bernar-benar lupa dengan apa yang
diniatkan dahulu, sungguh. Aku sangat membencinya jika memang begitu caranya, dia
memintaku untuk berbohong tentang keburukannya. Itu sangat keterlaluan.