Oleh: Rosidah binti Musa
Dari jauh Tina menghampiriku yang tengah makan bakso dibawa jembatan CSWBY,
napasnya tersengal-sengal. Sengaja aku tak menanyakan apa-apa, karena membiarkan
dia untuk bernapas sejenak.
Tangannya membawa kertas putih yang sepertinya sudah dibuka dari amplop, aku
hanya diam membiarkan dia berkarta dulu. Dia menggoyang-goyangkan kertas itu
dihadapanku.
"Ini, kamu tahu ini apa?"
"Memangnya apaan. Tin?"
Napasnya belum teratur, akhirnya dia menyerah dan duduk disampingku. Mbak
tukang bakso menawari, tangan Tina dadah-dadah. Yang mengisyaratkan bahwa ia tak
ingin memesan apa pun.
"Nggak Mbak, aku baru saja makan," ujarnya masih dengan napas yang belum teratur. Aku melihatnya hanya tersenyum dibarengi bersama tukang bakso ia pun
tersenyum.
"Kertas putih itu apaan toh? Dari tadi kamu goyang-goyangkan ...."
"Sebab inilah, membuatku berlari dari ujung ke sini. Cuma mau kasih tahu kamu,"
katanya menyodorkan kertas itu, "kamu baca sendiri, aku tidak akan membaca untukmu
...."
Perlahan tanganku meraih kertas yang berada di tangan Tina, perlahan pula aku
membukanya dan membaca isi dalam kertas itu. Mencoba untuk tenang membaca
setiap baitnya, aku tak bersuara meskipun membuatku terperanjat membaca isi dalam
surat itu.
"Astaghfirullah ...."
Tina mengambil balik surat itu, dan dia pun mengangkat semua bahunya. Dunia ini memang sudah gila atau memang manusianya yang gila, aku pun tak begitu paham dengan permainan ini. Begitu runyam, tapi aku tak punyal hak untuk menghentikannya. Bibirku hampir berbusa untuk menasehatinya, apalah daya. Mungkin hidayah belum sampai padanya, sekarang baru aku paham. Bahwa hidayah itu mahal harganya, ketika kita mencoba membantu meluruskan seseorang, namun jika Allah belum menghendaki maka tidak dapat kita ubah, selain orang itu sendiri mencari hidayah.Â
Tina mengajakku untuk kumpul bersama teman-teman di lapangan rumput, dalam perjalanan menuju tempat perkumpulan. Hatiku semakin tak keruan memikirkan isi dalam surat itu, hanya orang yang tidak waras melakukan hal seperti itu.
"Apakah kalian akan menghadirinya?
Setelah sampai di tempat teman-teman Tina, mereka saling menatap satu sama
lain. Ada dari salah satu mereka mengatakan tak akan hadir, menurutnya sama saja jika
kita hadir adalah mendukung cara dan tingkah lakunya.
"Tapi aku penasaran, bagaimana mereka melakukannya?"
"Yo mesti seperti kelayakannya toh ...."
Mereka saling bertanya dan menjawab, hanya kau terdiam menatap kertas putih
yang tak bersalah, bahkan tak tahu apa-apa tentang ini. Meskipun nanti di akhirat dia
akan dipertanyakan mengapa mau dicoret-coret, dia hanyalah sehelai kertas yang tak
mengerti apa-apa.
Yang aku takutkan, bagaimana jika sanak saudaranya bertanya padaku. Tentang
semua yang dilakukannya, terkadang di sini aku kebingungan untuk memahami arti
sebuah kebohongan untuk kebaikan atau jujur untuk keburukan. Entahlah, aku pun
sabar bagaimana mereka melaksanakan.
Hari ini sangat panas, dibawa pepohonan yang rindang di taman viktoria menjadi saksi. Beragam insan ada di tempat ini, jika mereka yang masih baru datang dari Indonesia, mungkin sedikit pening melihat suasana yang sangat sesak, dan akan terperanjat ketika melihatseorang wanita menggandeng seorang wanita pula.Â
Namun sepertinya, itu sudah jadi pemandangan yang biasa. Sebab di mana-mana virus itu tak hanya di Hong kong, bahkan di Indonesia sudah merajalela. Aku hanya bisa menghela napas panjang, entah masih ada berapa insane yang benar-benar waras dengan khodratnya sendiri.
"Apakah kau akan datang?"
Belum saja kujawab, Tina buru-buru menyela, "Dia tidak akan datang, toh bukan
acara penting?"
Dia menatapku sambil mengipasi dirinya dengan kertas undangan itu, dari jauh
kulihat Rangga yang berjalan mendekati kami. Aku sudah bersiap untuk pergi, bukan
karena aku benci. Cuma tidak begitu suka dengan caranya seperti itu, padahal orang
tuanya sangatlah berharap agar dia bisa menjadi orang yang sukses dan tidak ikut
dengan teman-temannya sekarang.
Langkahku tertahan, Tina memegangi lenganku. Memintaku untuk berbicara
padanya, tapi apa gunanya juga. Toh, kemarin sudah pernah kubilang padanya. Namun
dia tak pernah nengendahkan perkataanku, dan menganggapnya seperti angin lalu.
Aku menghindarinya, agar ketika ditanya orang tuanya, aku hanya menjawab. Aku
tida tahu atau aku tak pernah bertemu dengannya. Tapi alasan itu sangat mustahil dan
tak mungkin memuaskan orang yang bertanya. Aku masih bergelut dengan perasaan,
semaki ia mendekat semakin kacau pula pikiranku.
"Bisakah aku berbicara sebentar denganmu?"
Aku terperjan dengan permintaannya, mataku memandang semua orang yang ada
dihadapanku. Terutama dengan Tina yang hanya menatap heran, Rangga menggandeng
tanganku. Kulihat wanita yang berada disebalah Rangga menatapku sedikit sinis,
padahal diriku sedikupun tak ada rasa.
"Kuharap kau tak memberi tahu orangtuaku ...."
"Maksudmu?"
"Iya, dengan rencana pernikahanku. Jika mereka tanya tentangku bilang saja aku
baik-baik ...."
Entah apa yang ada dipikirannya, memangnya semuda itu dan aku tak menanggu
doosa atas kebohonganku yang tak waras ini. Dia bernar-benar lupa dengan apa yang
diniatkan dahulu, sungguh. Aku sangat membencinya jika memang begitu caranya, dia
memintaku untuk berbohong tentang keburukannya. Itu sangat keterlaluan.
"Kau pikir dengan pernikahanmu itu, semua akan khobul? Bisakah kau berpikir
waras sebelum melakukanya?"
"Lalu kau pikir ini semua serius? Aku tahu ijabku tidak akan khobul," serunya
memelankan suaranya, "aku hanya ingin bersenang-senang, hidup ini hanya sekali Rah,
jadi buat happy sajalah ...."
Ia pergi meninggalkanku setelah mengatakan kata-kata yang seharusnya tidak dia
katakana, "Justru itu, hidup Cuma sekali. Maka buatlah yang baik-baik, apakah kau lupa
dengan janjimu dengan bapakmu?" sahutku.
Langkahnya terhenti dan menengokku sekejap, lalu ia pergi bersama pangannya.
Semua orang menatapku heran, dan Tina mendekati mengajakku untuk pergi dari
tempat itu. Orang-orang masih memandangku sinis, aku tak mengerti. Apa yang mereka
pikirkan, mungkin aku terlalu ikut campur dengan kebebasanya, sebab aku punya
tanggung jawab yang diamanahkan oleh orang tua Rangga, iaitu Rina.
*****
Selang beberapa Minggu, kulihat foto pernikahannya berserak di dinding facebook
timeline. Aku hanya merutuki tingkahnya yang konyol, dia benar-benar sudah lupa
dengan semua janjinya sendiri.
Minggu ini aku menghadiri sebuah worksop kewirausahaan yang di adakan di
Galery BNI, belum saja sampai di Admiralty poselku bergetar. Tertera di layar posel
telepon dari Tina, ya Cuma dia yang selalu menganggu hari-hariku. Tapi dia adalah
teman terbaikku di sini.
"Rah, gawat!" sahut dalam seberang sana.
"Apaan sih Tin, kamu ini suka sekali buat orang terperanjat ...."
Tina menceritakan dari awal sampai akhir tentang Rina yang telepon padanya
menangis, dia telah ditipu oleh pasangannya. Dia disuruh untuk pinjam di bank dan
sekarang pasangannya meninggalkan kabur begitu saja dengan hutang menumpuk di
sana-sini atas nama Rina. Kini ia terlilit hutang bank dan teman-temannya, aku sendiri
bingung untuk berkata apa. Sebab semua sudah terjadi dan dia tak pernah mendengar
apa kataku.
"Lalu bagaimana sekarang?"
"Dia dipecat sama bosnya, karena ketahuan hutang di bank. Sekarang dia ada di
ejen ...."
"Kalau gitu kita ke sana sekarang ...."
Kuurungkan niatku datang di worksop, dan memilih untuk datang ke tempat ejen.
Karena ejen Rina dan aku satu. Jadi tak membuatku bingung mencarinya, lalu kuputar
balik setelah bertemu dengan Tina langsung jalan untuk melihat keadaan Rina.
Hatiku tak keruan, mengapa ia tak menghubungiku jika memang dia dipecat oleh
bosnya. Lagipula aku tak membenci dirinya begitu besar, hanya saja tak suka dengan
cara pikiran daan pandangannya dengan "Hidup itu cuma sekali" lalu kita sia-siakan
begitu saja tanya berbuat kebaikan. Itu salah besar, seperti dia sekarang. Karena
bagaimana pun pernikahan wanita dengan wanita itu sudah melaumpaui batas yang
Allah berikan dan dia telah mengingkari khodratnya sebagai wanita.
Kakiku sampai di tempat tujuan, kulihat wajahnya yang murung. Aku tidak tega
melihatnya, meskipun begitu dia adalah temanku. Tina berlari menghampirinya dan
memeluk erat Rina, ia tersenduh menangis. Aku menyusul memeluk Rina dan ikut
manangis, meskipun kemarin ia telah berkata yang membuatku geram. Tapi aku tak bisa
membencinya, dia sahabatku. Ia begitu karena pergaulan yang dia pilih salah, andai saja
ketika Rina datang dari Indonesia langsung kubawa-bawa mungkin ini tidak terjadi.
Sungguh aku pun merasa bersalah atas semua ini, namun beginilah Allah menguji
hamba-hamba- Nya agar sadar dengan apa yang dilakukannya. Sebaik apa pun
pernikahan dengan sesame jenis, pernikahan itu menjadi ijab tidak khobul.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H