Mohon tunggu...
Nenk Mawar
Nenk Mawar Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Saya hanyalah penulis receh yang tengah berperang dengan pena dan menggoreskan kata-kata

Hidup hanya sekali, buatlah hidupmu berwarna. Jangan engkau menyia-nyiakannya tetap semangat apapun keadaannya keep fighthing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dara

11 Juni 2020   19:31 Diperbarui: 11 Juni 2020   19:47 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: onlogdd.com

Oleh: Rosidah binti Musa

Gerimis diluar belum redah, semakin lebat. Ia menjulurkan tangannya dan membiarkan air hujan menyiram lebut jari-jemarinya.

"Dara!"

Suara itu membuyarkan lamunanya, dia pun berbalik dan menghapiri suster yang berdiri diujung pintu rumah sakit. Ia memutar kursi rodanya, tersenyum simpul menatap wanita berseragam putih.

"Waktunya minum obat, besok-besok bisa bermain hujan lagi. Sekarang harus minum obat terus istirahat."

Ia tersenyum dan menganggukkan kepala, suster pun membantunya mendorong kursi roda. Dia sangat kuat, meskipun bermacam penyakit pada tubuhnya ia tak pernah menyerah dan terus berjuang melawan penyakin yang kini telah merubah wajahnya seperti monster.

Dengan sergap, suster membantu duduk di atas ranjang. Sekarang ia terduduk bersandar bantal, dia tersenyum melihat suster yang tengah menyiapkan obatnya. Tangannya dengan lembut mengayunkan dan menyuapi Dara penuh kesabaran.

"Apakah, kau merindukan keluargamu?"

Lagi-lagi dia hanya menganggukkan kepalanya pelan, sesekali mengelap air minum yang menetes di bajunya. Suster itu menatap Dara penuh dengan kepiluan, hijab yang dikenakannya begitu cantik. Meskipun wajah telah berubah, bahkan hapir tak dapat melihat matanya. Benjolan besar, memenuhi wajah cantik.

Tangan Dara dengan sedikit gemetar, ia mengambil sebuah buku besar yang ada di bawa bantalnya. "Kau ingin apa?" tanya suster, "biar aku membantumu."

Dia pun membantu Dara mengambil buku yang berada dibawa bantal. Ia sangat tebal dan lumayan besar, dia penasaran dengan buku yang ada di tangannya. Namun ia tak berani untuk membuka buku yang bertulis dalam covernya the littel memory, dia menatap Dara dan bertanya buku apa yang ada ditangannya. Dara meminta suster itu membuka, matanya memberi isyarat untuk mengizinkan suster muda itu untuk membaca dalamnya.

"Dara, kau sangat cantik. Lihatlah foto ini!" serunya memperlihatkan sebuat foto kenangan.

Suster itu dengan hati-hati membaca setiap tulisan yang menggores dibuku usang nan lapuk. Sesekali ia menatap Dara, tersenyum simpul sembari mengayunkan tangannya untuk terus melanjutkan membaca.

"Daesi!"

Terperanjat dan langsung menutup buku usang itu, lalu sangat canggung ia membalikkan badannya dan ternyata itu Liza yang berdiri dengan selimut yang menumpuk ditangannya.

"Bisakah kau, rapikan kamar sebelah? Jangan membuang waktu kerja, cepatlah bergerak ...."

"Ok ... ok ...."

Ia pun dengan tergesa-gesa membereskan obat-obat yang ada dimeja samping ranjang, sebari memberi pesan pada Dara. "Aku akan kembali ...." Dia bergegas meninggalkan kamar Dara.

Liza melihat tingkah laku Daesi sedikit aneh, ia pun memandangnya sampai Daesi masuk dalam bilik sebelah. Sejenak Liza memandang Dara yang tengah bersandar, dan ia tersenyum simpul berlalu membawa selimut.

            *****

Siang yang mendung membawa Daesi dalam lamunan, ia ingin sekali ke bilik Dara. Namun ia tak ingin mengganggu Dara yang tengah beristirahat, teh hangat di tangannya sedikit membuat dia mencoba mengingat selarit tulisan dalam buku usang yang pernah dia baca.

Sebuah tepukkan lembut mendarat di bahunya, seketika itu ia terperanjat dan membuka matanya. Dia melihat sosak Liza yang tengah duduk di sampingnya membawa seplastik gorengan tahu yang masih mengepul.

"Makanlah ...."

"Beli di mana?"

"Tak perlu bertanya, aku beli di mana. Makanlah ...."

Daesi tersenyum simpul menyomot tahu dan petis yang ada dalam plastit. Sungguh sangat mendukung, tahu goreng dan teh hangat di siang yang mendung. Tapi wajahnya seketika layu dan menatap Liza yang tengah asyik menikmati tahu goreng yang menggoda.

"Terima kasih ...."

"Kemarin aku lihat kau tengah membaca buku?"

"Bagaimana kau tau?" reflek Daesi segera menutup mulutnya.

Liza sedikit tertawa meledek tingkah lakunya. "Aku tahu, tak perlu kau sembunyikan dariku. Kau membaca bukunya Dara, kan?"

Daesi mengangguk kecil, ia heran bagaimana Liza mengerti tentang bukunya Dara? Apakah dia pernah memberikan bukunya pada Liza? Tapi mengapa ia bilang baru aku yang membacanya. Aneh sekali.

"Kenapa?" tanya Liza yang tak lepas mengunyah tahu goreng.

"Kau pernah membaca buku itu?"

"Tidak pernah ...."

"Lantas bagaimana kau tahu?"

"Tunggu ya, biarkan aku menghabiskan kunyahanku ...."

Daesi menekan tawanya menutupi mulutnya dengan tangan, sangat lucu melihat Liza wanita yang telah dikarunia dua buah hati itu meskipun umurnya sudah tak lagi mudah, namun ia seperti kelihatan umur 35 tahun.

"Jangan kau ketawai, wanita ini. Daesi ... kau sangat penasaran sepertiny? Asal kau tahu, si cantik Dara dulu adalah tetanggaku."

"Terus?"

"Hemmm ... aku sangat prihatin bila mengingatnya, kalau menceritakan tentang kehidupannya seperti menggali sebuah kenangan yang telah terkubur."

Liza menghentikan ceritanya, ia meneguk teh hangat yang ada di hadapannya. Dia harus menguatkan hati bila ingin melanjutkan cerita tentang Dara, ah wanita cantik itu sangat malang sekali. Andai saja di ijinkan untuk mengadopsi, mungkin dia sudah menjadi sebagian keluarganya. Tapi ia tak ada keberania untuk mengambil Dara kecil, sering kali melihatnya menangis karena dia lapar. 

Namun di dalam rumah itu tak ada satu orang pun, ada seorang abang pun kerjaannya hanya suka minuman keras. Sedangkan seorang ibu dan ayah yang ia harapkan tak pernah peduli tentang Dara, hingga suatu siang ketika ia sepulang dari sekolah, Ibunya Lisa menemukan Dara yang pingsan di depan rumahnya.

"Dia sudah cukup menderita oleh ulah kedua orang tuanya, walaupun ia sibuk entah dengan kantornya atau teman bisnisnya. Bisakah meluangkan sedikit waktu untuk bersamanya?"

Tak terasa Daesi meresapi cerita yang Liza terangkan, sungguh beruntungnya dia mempunyai orang tua yang begitu menyayanginya. Uang bukanlah segalanya untuk anak-anak, namun kasih sayanglah yang mereka butuhkan bukan uang.

"Lalu bagaimana dengannya, apakah ibumu menolongnya?"

"Tentu saja, ibuku itu adalah wanita penyayang."

Ibuku pun segera menggendong Daesi yang tergeletak lemas, badannya sangat panas. Dia demam, disetiap ia terjaga bibirnya selalu memanggil ibunya. Sungguh terenyuh, ia merindukan kedua orang tuanya. Tapi apalah daya, dia seperti anak yatim piatu tak ada yang peduli dengannya. Jam di dinding menunjukkan pukul 8 malam, ayahku menunggu orang tua Dara di depan pintu gerbangnya. Untuk apa mempunya uang banyak sedangkan anak sendiri terbengkalai, sungguh naif sekali kedua orang tua Dara.

Tepat pukul 11 malam, terdengan suara mobil, ayahku pun keluar menghampiri, namun apa yang ayahku dapatkan. Dia marah-marah seakan tidak terima dan menjemput Dara yang masih belum redah panasnya itu pun ia meminta si Dara untuk berjalan sendiri. Melihat pemandangan itu, ibuku segera merangkul dan menciumku.

Liza menghela napas, ia teringat ketika Dara merinti-rinti memanggil ibunya. Daesi sudah tak bisa membendung air matanya, ia sangat merasakan apa yang dirasakan Dara waktu itu.

"Sudahlah ... lihat matamu sebam."

"Mengapa ibunya begitu tega ...."

"Karena mereka gila uang ...."

"Teruskan, please ...."

Ketika Dara menginjak remaja, mereka pindah dan tak lagi tinggal di perumahan Cempaka. Dengar-dengar mereka pindah ke Cirebon, dan saat itu tak lagi mendengar kabar berita tentang Dara. Ibuku setiap hari memikirkan si cantik Dara dengan hijabnya yang mungil badannya yang kurus ringkih, terkadang ibu menangis bila mengingat Dara. 

Hingga suatu malam, ketika keluargaku tengah bercengkrama seorang wanita muda mengetuk memberi salam, aku pun segera membuka pintu dan ternyata dia adalah Dara bersama dengan suaminya. Sungguh kasih sayang ibu membawa Dara kembali menyambangi ibu, melihat itu si cantik di hadapannya ibu segera bangit dengan langkahnya yang tertati Dara pun segera menumbruk ibu dan memeluk hangat tubuh ibu yang sudah tak lagi kuat seperti dulu.

Tiba-tiba alarm ponsel Liza berbunyi, dan ia pun mengakhir ceritanya meminta Daesi segera kembali bekerja.

"Yahhh ... apakah kau akan melanjutkannya, Za?"

"Insya Allah, sekarang kita kerja dulu."

Daesi sangat suka mendengar cerita tentang Dara, ia benar-benar ingin tahu tentang kehidupan si cantik Dara. Sebelum ia melanjutkan kerja, Daesi menghapiri bilik Dara. Dia tengah tidur, meskipun wajahnya tak seperti dulu, tapi kecantikkannya tak pernah pudar. Daesi mengelus tangan Dara.

            ****

"Selamat pagi, cantik," goda Daesi pada Dara yang tengah menenun.

"Kau begitu manis memakai hijab ini, Dara."

Dia hanya tersenyum simpul, Daesi meraih tangan Dara. Melihat tingkah laku Daesi, Dara terheran-heran pada wanita muda di hadapannya.

"Aku tinggal dulu, ya. Nanti siang aku akan kembali membawa obatmu,"

Dara hanya mengangguk dan tersenyum melihat Daesi melangkah keluar dari biliknya. Wanita muda itu begitu perhatian padanya, ditambah lagi ia telah mendengar kisahnya jadi bertambah rasa sayang Daesi pada Dara.

"Kuharap, kau tidak lupa untuk melanjutkan cerita tentang Dara." Daesi menghampiri Liza yang tengah mengambil air.

"Tenang, aku tak lupa. Dah, aku tinggal dulu,"

 "Ok, aku tunggu kau di kantin Lisa ...."

Lisa hanya mengacungkan tangannya dan melangkah memasuki bilik. Daesi pun segera mengambil tumpukan seprai yang akan ia cuci, dan setelah itu kembali ke kamar Dara mengantar obat-obatnya. Tempat ini bukan saja rumah sakit, tapi juga tempat penitipan. Jadi tak heran melihat begitu banyak kamar-kamar.

                    ****

"Ehemm ... lama nunggu?"

"Lumayan, lantas bagaimana setelah Dara bertemu dengan ibumu?"

"Santai, minum teh dan tahunya dulu biar enak ceritanya,"

Daesi pun menyomot tahu yang dibelikan oleh Liza, ah hari ini sangat cerah. Tak seperti kemarin, hujan dari pagi sampai sore. Namun, kita harus mensyukurinya. Karena segala sesuatu yang datangnya dari Allah pasti ada keberkahan itu sendiri.

                ****

Ibu sangat senang bisa bertemu lagi dengan Dara, namun itu hanya malam itu saja. Setelah itu, Dara tak lagi datang atau pun mengabari keluargaku. Aku sempat mencarinya, karena ibu sakit keras dan ingin sekali bertemu dengannya. Tapi apa boleh aku buat? Aku tak bisa menemukan Dara, hingga Allah memanggil ibu dan ia berpesan jika aku bertemu Dara agar memberikannya hijab motif bunga-bunga itu.

"Jadi hijab yang Dara pakai itu, adalah ibumu yang buat?"

"Iya ...."

Aku pun menyimpan semua hijab-hijab itu, hingga saat ini dengan ijin Allah aku dipertemukan kembali dengannya. Di rumah panti ini, aku melihatnya. Hampir saja aku tak mengenalnya, karena wajahnya sudah banyak benjolan-benjolan besar. Tapi aku mengingat hijab yang ia kenakan, bermotif bunga warna kuning merah muda itu adalah pemberian dari ibu, ketika dia memutuskan untuk berhijab.

Tiba-tiba alarm berbunyi sangat nyaring, itu pertanda ada gawat darurat. Liza dan Daesi pun berlari menghapiri seorang suster yang mengrumuni bilik Dara.

"Ada apa dengannya?"

"Ijinkan aku masuk," sela Lisa memaksa masuk dalam bilik Dara.

"Bagaimana dia, Dok?"

Dokter hanya menggelengkan kepalanya, bukankah tadi Dara baik-baik saja? Mengapa tiba-tiba ia meninggal begitu saja. Wanita tua itu meskipun kulitnya keriput namun Dara masih secantik dulu, kecantikkannya tak pernah luntur. Daesi mengambil sebuah kertas yang ada di tangan Dara, ia tertulis. "Ibu, aku rindu."

Tangisan Daesi memecahkan keheningan sore itu, padahal siang tadi ia baru saya bercanda dengan wanita tua itu. Mengapa tiba-tiba Allah begitu cepat memanggil, Daesi mempunyai niat untuk mengasuh Dara. Namun sayangnya, Allah lebih menyayanginya.

Innalillahi wa innaillaihi roji'un

tayang di ceritamuslimah23.blogspot.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun