"Lalu bagaimana dengannya, apakah ibumu menolongnya?"
"Tentu saja, ibuku itu adalah wanita penyayang."
Ibuku pun segera menggendong Daesi yang tergeletak lemas, badannya sangat panas. Dia demam, disetiap ia terjaga bibirnya selalu memanggil ibunya. Sungguh terenyuh, ia merindukan kedua orang tuanya. Tapi apalah daya, dia seperti anak yatim piatu tak ada yang peduli dengannya. Jam di dinding menunjukkan pukul 8 malam, ayahku menunggu orang tua Dara di depan pintu gerbangnya. Untuk apa mempunya uang banyak sedangkan anak sendiri terbengkalai, sungguh naif sekali kedua orang tua Dara.
Tepat pukul 11 malam, terdengan suara mobil, ayahku pun keluar menghampiri, namun apa yang ayahku dapatkan. Dia marah-marah seakan tidak terima dan menjemput Dara yang masih belum redah panasnya itu pun ia meminta si Dara untuk berjalan sendiri. Melihat pemandangan itu, ibuku segera merangkul dan menciumku.
Liza menghela napas, ia teringat ketika Dara merinti-rinti memanggil ibunya. Daesi sudah tak bisa membendung air matanya, ia sangat merasakan apa yang dirasakan Dara waktu itu.
"Sudahlah ... lihat matamu sebam."
"Mengapa ibunya begitu tega ...."
"Karena mereka gila uang ...."
"Teruskan, please ...."
Ketika Dara menginjak remaja, mereka pindah dan tak lagi tinggal di perumahan Cempaka. Dengar-dengar mereka pindah ke Cirebon, dan saat itu tak lagi mendengar kabar berita tentang Dara. Ibuku setiap hari memikirkan si cantik Dara dengan hijabnya yang mungil badannya yang kurus ringkih, terkadang ibu menangis bila mengingat Dara.Â
Hingga suatu malam, ketika keluargaku tengah bercengkrama seorang wanita muda mengetuk memberi salam, aku pun segera membuka pintu dan ternyata dia adalah Dara bersama dengan suaminya. Sungguh kasih sayang ibu membawa Dara kembali menyambangi ibu, melihat itu si cantik di hadapannya ibu segera bangit dengan langkahnya yang tertati Dara pun segera menumbruk ibu dan memeluk hangat tubuh ibu yang sudah tak lagi kuat seperti dulu.