Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Gawat, Indonesia Darurat Peradaban Hukum, Presiden Harus Turun Tangan

19 Oktober 2022   18:09 Diperbarui: 19 Oktober 2022   20:23 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua MK periode 2003-2008 Prof. Jimly Asshidiqie saat menjadi pembicara kunci (dokpri)

Memang telah dibentuk Komisi Yudisial secara konstitusional. Belum lagi berbagai upaya dari berbagai organisasi masyarakat pemantau lembaga peradilan yang mengawal reformasi lembaga peradilan. Namun seolah-olah tidak bisa tersentuh.

"Di lembaga tersebut seolah-olah tidak dapat disentuh oleh kekuasaan lainnya termasuk oleh Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan sebagai Pemimpin Tertinggi di Negara RI," jelas Prof Gayus.

Dengan dalih argumentasi Indipendensi Hakim dan Lembaga Peradilan. Jadi, tidak ada kemampuan membongkar dan membenahi dengan cara melakukan perombakan.

Peran strategis presiden sebagai Kepala Negara merupakan konsekuensi sistem Presidensial yang menempatkan Presiden sebagai Kepala Negara menjadi tokoh sentral dalam sistem Kenegaraan Republik Indonesia.

Termasuk dalam mengatasi persoalan di bidang penegakan hukum yang sedang mengalami krisis "Peradaban Hukum" .

Prof Gayus berpendapat ada 2 kebijakan Presiden sebagai arti konkritnya reformasi yang perlu dilakukan dalam mengahadapi Darurat Peradaban Hukum ini. 

Pertama, dengan cara mengevaluasi hakim-hakim di semua tingkatan. Di tingkat Kabupaten/Kota terdiri dari kurang lebih 300 Pengadilan Negeri (PN). Sementara itu, di tingkat Provinsi terdapat kurang lebih 35 Pengadilan Tinggi dan di MA terdapat sekitar 48 Hakim Agung. 

Kedua, perlunya pembentukan Lembaga Eksaminasi Putusan sebagaimana yang disuarakan publik secara luas dan dianggap kontroversial. Usulan ini muncul akibat putusan hasil perkara terjadi penyimpangan oleh hakim terutama yang tertangkap oleh penegak hukum lainnya, sehingga menimbulkan merugikan.

"Eksaminasi putusan ini penting sebagai bentuk control publik terhadap kepedulian kepada korban penyimpangan oleh hakim sebagai kekuasaan yang disalahgunakan sehingga merugikan masyarakat," kata Prof. Gayus.

Ketua Umum  Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Peradi Prof. Otto Hasibuan, pun perpandangan sama jika Indonesia saat ini dalam keadaan darurat peradaban hukum. Karena itu, presiden harus turun tangan  dan jadi back up dalam membenahi masalah  penegakan hukum. 

Wakil Dekan I FH Unkris DR. Hartanto (paling kanan)/dokpri
Wakil Dekan I FH Unkris DR. Hartanto (paling kanan)/dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun