Kajian Majelis Taklim Al Ihsan Permata Depok, Jawa Barat, kompleks perumahan saya tinggal, membahas serba serbi tentang darah haid, darah istihadah dan darah nifas.Â
Adapun kajian dibawakan oleh Ustadzah Hj  Herlini Amran, MA, anggota DPR RI periode 2009-2014 dari Fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera).
Perkara ini penting untuk dipahami demi kesempurnaan ibadah mereka dalam Islam. Karena dalam beribadah wajib suci dari segala najis, serta bebas dari hadas, baik itu hadas kecil maupun hadas besar.
Berikut pemaparannya:Â
Dikatakan, keluarnya darah pada wanita dalam Islam terdiri dari darah haid (menstruasi), darah istihadhah, dan darah nifas.Â
Setiap perempuan dewasa atau aqil baligh akan mengalami masa haid. Haid adalah darah yang keluar dari rahim perempuan di waktu-waktu tertentu, bukan disebabkan penyakit atau melahirkan.Â
Saat haid, Â perempuan haram melakukan ibadah yang telah disyariatkan Allah SWT seperti shalat dan puasa.
"Sebagai muslimah, tentunya kita harus tahu kapan berhentinya darah tersebut keluar agar kita bisa melaksanakan ibadah shalat," katanya.Â
Seperti kita ketahui, shalat adalah amalan ibadah yang paling penting dan pertama kali di hisab ketika di yaumul akhir nanti. Syarat sahnya shalat bagi muslimah jika sudah bersih dari ketiga jenis darah itu.Â
Menurutnya, terdapat dua cara untuk menentukan waktu lamanya haid berlangsung.
Pertama, berdasarkan kebiasaan
Artinya, ketika seseorang wanita sudah tahu kapan biasanya haid 6 atau 7 hari, maka ikuti kebiasaannya itu. Ada juga yang hanya 3 - 4 hari.
Siklus haid dapat dihitung dari hari pertama periode terakhir hingga awal periode berikutnya. Ketika haid telah melewati batasan maksimal, maka darah yang ke luar berstatus tidak lagi sebagai darah haid.Â
Setelah  6 atau 7 hari itu terus mandi hadas besar, mungkin ke luar lagi sejenis flek yang berwarna kecoklatan. Entah beberapa jam setelah mandi, bisa juga keesokan harinya.Â
"Nah, flek itu tidak dianggap lagi sebagai darah haid setelah dia bersuci," jelas Ustadzah Herlini.
Kebanyakan dari kaum muslimah kurang memahami ini dengan baik. Sebagian besar dari kita setelah mandi besar dan kemudian keluar darah lagi sejenis flek dari kemaluan, dianggapnya sebagai haid.Â
Karena menganggap sebagai darah haid, menyebabkan kebanyakan dari kita tidak melaksanakan shalat. Parahnya meninggalkan shalat dikarenakan ketidakpahaman kita mengenai waktu suci dari haid.Â
Berdasarkan riwayat yang disampaikan oleh ummu 'Athiyah Radhiyalluhu 'Anha: "Kami tidak menganggap sesuatu apapun (haid) darah yang berwarna kuning atau keruh sesudah masa suci"
Kedua, berdasarkan warna darah.
Ustadzah menjelaskan, dalam Islam darah haid yang keluar dari kemaluan perempuan umumnya berwarna merah kecoklatan dan agak kental.
Flek yang keluar dalam masa haid (6-7 hari) itu dianggap sebagai darah haid. Tapi, kalau darah yang keluar dari kemaluan wanita di luar tanggal haid, itu bukan darah haid.
Darah istihadhah adalah darah yang keluar, namun tidak sesuai dengan ketentuan haid dan nifas (masa sesudah melahirkan).
"Kalau di luar dari itu, bukanlah darah haid melainkan darah istihadhah atau darah penyakit," terang mantan anggota DPR Komisi VIII DPR-RI -- membidangi masalah agama, sosial, pemberdayaan perempuan dan anak-anak.
Dalam hal ini, seorang muslimah yang mengalami istihadhah, hukumnya wajib melaksanakan shalat dan ibadah lainnya. Dilarang keras untuk meninggalkannya.
Mengapa? Karena darah yang keluar dari kemaluannya adalah darah penyakit berbeda dengan darah haid. Karena darah penyakit maka itu tidak akan berhenti mengalir sampai sembuh.Â
Untuk memastikannya, disarankan untuk memeriksakan diri ke dokter, untuk mengetahui lebih jelas penyakit apa yang ada di tubuhnya.
Muslimah yang mengalami istihadhah dalam melaksanakan shalat harus memiliki ketentuan khusus. Yaitu, wajib membersihkan daerah kewanitaan yang terkena darah.
"Sehingga ketika melaksanakan shalat dalam keadaan suci tanpa ada darah istihadhah, karena dalam kondisi ini darah tersebut sifatnya najis dan harus disucikan," terangnya.
Apakah orang yang mengalami istihadhah diperbolehkan berpuasa? Ustadzah Herlini menjawab, boleh berpuasa dan shalat dengan alasan darah yang keluar tersebut adalah darah penyakit yang keluar dari tubuh perempuan.
"Sekali lagi itu berbeda dengan darah haid karena dalam hal ini bukan darah yang keluar karena penyakit, keguguran, luka dan kelahiran," jelasnya lagi.
Ustadzah mengingatkan, isteri yang sedang haid tidak diperbolehkan melayani kebutuhan suami.Â
Karena itu, penting bagi suami untuk mengetahui hukum dan aturan mengenai hal ini agar tidak terjerumus ke dalam kesalahan yang fatal.Â
Mengapa demikian? Penting untuk diketahui, jima' dengan wanita haidh hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah SWT:
"Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah haid itu adalah kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah SWT kepadamu." (QS Al-Baqarah: 222)
Namun, bercumbu dengan istri yang haidh, menyentuhnya tanpa berjima' Â
(berhubungan suami isteri) tidaklah dilarang.
Rasulullah SAW bersabda, "Lakukanlah segala sesuatu terhadap isterimu kecuali jima." (HR Muslim).
Dari penjelasan tersebut, maka sang istri hendaknya menolak dengan halus jika suami menginginkannya dan menyampaikan dengan baik bahwa jima' saat haid hukumnya haram baik bagi sang suami maupun sang istri.
Tetapi, kondisi ini tidak membatasi sang suami untuk tetap bercinta dengan istrinya tanpa jima'. Sebagaimana penjelasan Syaikh As sa'di dalam tafsirnya bahwa bercumbu dengan istri yang haid, menyentuhnya tanpa jima' boleh.
Dari Aisyah RA mengatakan, "Rasulullah SAW memerintahkan kepadaku agar memakai kain sarung kemudian aku memakainya dan beliau menggauliku." (Al Mughni (3/84), Al Muhadzab (1/187)
Dari Maimunah, ia mengatakan, "Sesungguhnya Rasulullah menggauli salah satu istrinya sedangkan ia haid, ia (istri) mengenakan kain sarung sampai pertengahan pahanya atau lututnya sehingga beliau menjadikannya sebagai penghalang." (HR. Bukhari: 64)
"Jadi haram jima' dengan istri yang haid jika dilakukan di vagina, boleh dilakukan bila suami mengeluarkan sperma melalui istrinya (baik dengan tangan istrinya atau anggota tubuh lainnya, red) kecuali di tempat yang terlarang seperti anus dan vagina saat haid," jelasnya.
Hingga kemudian, kembali lagi melakukan jima' ketika istri sudah dipastikan bersih dari haidnya.
"Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah SWT kepadamu." (QS Al Baqarah: 222)
Sampai mereka suci artinya bahwa darah mereka (wanita haid) telah berhenti, hilanglah penghalang yang berlaku saat darah masih mengalir. (Tafsir As Sa'di jilid 1, hal 358)
Ketika perempuan melahirkan, banyak darah keluar dari rahimnya. Darah tersebut dikenal sebagai darah nifas. Lazimnya, masa nifas adalah sekitar 40 hari dan paling lama 60 hari.
Sebagaimana saat haid, perempuan nifas tidak boleh salat, puasa, tawaf, menyentuh mushaf, hingga berhubungan suami istri.Â
Meski demikian, masih diperbolehkan membaca Alquran tanpa menyentuh mushaf langsung. Misalnya dengan pembatas atau media elektronik, seperti komputer, ponsel, dan sebagainya.
Demikian catatan saya. Semoga bermanfaat.
Wallahu 'alam bisshowab
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI