Selesai memeriksa dan mendata, dokter jaga menghampiri saya. "Ibu, saya kasih obat suntik ya. Saya rujuk ibu untuk dirawat ya dengan dokter spesialis penyakit dalam," terangnya.
Hah dirawat? Yakin nih dirawat? Kok cepat amat keputusannya? Beda banget dengan situasi sebulan lalu. Ketika saya minta ibu saya dirawat di RS lain, dokter yang biasa memeriksa ibu saya saat kontrol bilang tidak ada kamar.
"Dirawat? Nggak usahlah. IGD penuh, ruang rawat juga penuh. Ibu dirawat di rumah aja," katanya.
Atau kejadian yang menimpa beberapa kawan saya yang salah satu keluarganya ditolak oleh beberapa RS karena lebih memprioritaskan penanganan pasien Covid-19, hingga akhirnya meninggal dunia. Atau juga yang saya baca di berita.
Apakah memang sekondusif ini?
"Dirawat? Masa sih harus dirawat? Kalau bisa mah nggak usah dirawat dok. Ntar anak-anak saya siapa yang urus?" kata saya.
"Emang anak-anak ibu umur berapa aja?" tanyanya yang saya jawab, yang pertama 1 SMA, kedua 3 SMP, ketiga 4 SD.
"Wah, sudah besar itu, sudah bisa ditinggal sebentar," katanya.
Tak lama suami saya kembali ke IGD setelah urusan administrasi selesai. Terdengar percakapan antara suami dan dokter jaga. Dokter menyampaikan ulang apa yang disampaikannya kepada saya. Suami setuju saja saya dirawat, sekalian istirahat, katanya.
Prosedur Rawat Inap