Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

PPKM Diperpanjang, IGD RS Kosong? Faktanya...

23 Agustus 2021   11:03 Diperbarui: 23 Agustus 2021   11:09 1310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Jumat (20/8/2021), sekitar pukul 2 siang, saya sedang mengikuti diskusi kebangsaan yang diadakan Aliansi Kebangsaan secara virtual. Tiba-tiba pada pukul 14.30, perut saya mual. Entah apa penyebabnya. Kalau mual karena telat makan, rasanya tidak.

Berulangkali saya menghirup aroma minyak kayu putih untuk menghilangkan rasa mual. Anak saya juga sudah mengolesi freshcare di dahi saya. Saya lumuri minyak kayu putih di perut saya. Tetap saja rasa mual tidak hilang-hilang juga.

Saya pun mulai muntah-muntah yang disertai perut yang melilit. Entah sudah berapa kali muntah. Dari berkali-kali muntah di kamar mandi hingga muntah di wadah karena untuk melangkah saja mulai gemetar, meski kamar mandi ada di dalam kamar saya.

Dari segala isi makanan keluar hingga lambung kosong. Mulut saya yang mengering dan pahit, menandakan lambung saya sudah mulai kosong. Tapi tetap saja perut saya masih berontak.

Berkali-kali saya mencoba menahan, tapi perut begitu sakit. Seperti ada yang meremas-remas. Saya mencoba menghentikan rasa sakit dengan menekan botol yang berisi air hangat ke perut.

Air panas ini saya taruh di botol minuman. Lalu botol dilapisi handuk kecil, saya kompres deh di perut saya. Biasanya manjur. Tapi kali ini tetap saja rasa sakit tidak berkurang.

Tidak lama berselang perut saya mulas. Beberapa kali saya buang air besar, dan maaf, encer. Mungkin lebih dari 5 kali saya bolak balik kamar mandi.

Anak-anak saya tidak diam. Ada yang bikinkan saya teh hangat, ada yang membawa air putih hangat, ada yang memijit-mijit saya. Tapi tidak mengurangi rasa sakit. Berulang kali saya beristighfar, berulang kali juga saya mengeluh kesakitan.

"Sakit, Bun?" kata suami menghampiri saya. Saya lantas minta diantarkan ke IGD. Terlebih di rumah tidak ada obat khusus lambung selain obat maag. Tapi obatnya bukan ini. Dulu banget, saya juga pernah mengalami kejadian ini tapi obatnya bukan obat maag.

Saya minta ke IGD RS Hermina Depok saja, bukan RS terdekat mengingat pengobatan kanker saya di sini, sejak 2018. Jadi, ada rekam medisnya sehingga saya tidak perlu lagi bercerita soal riwayat penyakit saya. Di rekam medis itu pasti sudah ada catatannya.

Suasana IGD yang Kontras

Sampailah saya di IGD, yang dekat pintu utama, tapi sejak pandemi pintu masuk beralih di samping. Saya masuk ke ruang IGD. Saya dapati bed dalam keadaan kosong. Sepi.

Tidak ada hiruk pikuk pasien dan tenaga kesehatan di dalam. Berbeda ketika saya membawa ibu saya ke sini sebulan lalu. Penuh dan antri. Beda banget. Sangat kontras. Apakah berarti kasus Covid-19 tengah melandai?

Ada dua petugas kesehatan yang mengenakan APD berdiri ketika melihat saya datang.

"Ada yang bisa dibantu?" tanya petugas perempuan ketika saya akan merebah di bed sebagaimana permintaan suami.

"Ada batuk, pilek, sesak napas, demam?" tanyanya.

"Nggak," jawab saya.

"Oh, IGD-nya yang sebelah sana ya bu. Kalau ini untuk zona merah. Yang zona hijau sebelah sana. Kalau di sini khusus Covid-19," katanya sambil tangannya memberikan arahan petunjuk.

O, o... salah dong. Ya maaf. Namanya juga tidak tahu. Saya mana pernah ke IGD selama Covid-19 selain saat mengantarkan ibu saya. Itu pun sekali dan di luar karena mengantri.

Akhirnya, ke IGD yang dimaksud. Sepi juga. Dari 25 bed hitungan saya, hanya sekitar 4 bed yang terisi. Itu sudah termasuk saya. Tidak terlihat antrian. Mau tidur di bed mana saja, sepertinya terserah. Saya saja pilih bed terserah saya. Apakah semua sudah terkendali?

Ketika suami mengurus administrasi, saya diperiksa. Ditensi. Saturasi saya juga dicek. Normal. Darah saya juga diambil untuk diperiksa di laboratorium. Perawat lalu menanyakan keluhan saya. Ya saya jawab seperti apa adanya.

Selain itu, menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang standar. Apakah saya ada penyakit diabetes, hipertensi, jantung, alergi obat? Saya jawab tidak, selain saya sebagai penyintas kanker dan pengobatannya di sini.

Selesai memeriksa dan mendata, dokter jaga menghampiri saya. "Ibu, saya kasih obat suntik ya. Saya rujuk ibu untuk dirawat ya dengan dokter spesialis penyakit dalam," terangnya.

Hah dirawat? Yakin nih dirawat? Kok cepat amat keputusannya? Beda banget dengan situasi sebulan lalu. Ketika saya minta ibu saya dirawat di RS lain, dokter yang biasa memeriksa ibu saya saat kontrol bilang tidak ada kamar.

"Dirawat? Nggak usahlah. IGD penuh, ruang rawat juga penuh. Ibu dirawat di rumah aja," katanya.

Atau kejadian yang menimpa beberapa kawan saya yang salah satu keluarganya ditolak oleh beberapa RS karena lebih memprioritaskan penanganan pasien Covid-19, hingga akhirnya meninggal dunia. Atau juga yang saya baca di berita.

Apakah memang sekondusif ini?

"Dirawat? Masa sih harus dirawat? Kalau bisa mah nggak usah dirawat dok. Ntar anak-anak saya siapa yang urus?" kata saya.

"Emang anak-anak ibu umur berapa aja?" tanyanya yang saya jawab, yang pertama 1 SMA, kedua 3 SMP, ketiga 4 SD.

"Wah, sudah besar itu, sudah bisa ditinggal sebentar," katanya.

Tak lama suami saya kembali ke IGD setelah urusan administrasi selesai. Terdengar percakapan antara suami dan dokter jaga. Dokter menyampaikan ulang apa yang disampaikannya kepada saya. Suami setuju saja saya dirawat, sekalian istirahat, katanya.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

Prosedur Rawat Inap

Karena saya akhirnya dirawat, maka mau tidak mau saya harus swab antigen dan rontgen thorax. Ini untuk memastikan saya benar-benar negatif Covid-19.

Saya pun diswab. Petugas yang melakukan memasukkan alat seperti cotton bud tapi agak panjang ke kedua lubang hidung saya. Saya merasa colokannya lebih dalam dibanding biasanya saat saya swab antigen.

"Dalam banget Sus, nyoloknya," kata saya sedikit meringis.

"Ya kan biar valid, Bu. Ibu tarik napas dari mulut aja, jangan sampai nggak napas," jawabnya sambil tertawa kecil.

Tidak berapa lama, saya pun dibawa dengan menggunakan kursi roda ke ruang radiologi yang berada di lantai 2. Eh, saya berpapasan dengan suami yang sedang mengantri di kasir usai berurusan dengan bagian laboratorium.

Di ruangan ini saya tidak lama. Mungkin sekitar 5-7 menit. Lalu saya dibawa lagi ke ruang IGD.

Saat saya sudah merebah di bed semula, saya mendengar percakapan di antara petugas.

"Hasil swab ibu Tety negatif," kata nakes yang dari suaranya, saya pastikan  perempuan.

"Apa perlu tes PCR?" tanya nakes satunya lagi.

"Tunggu, gue konsultasi dulu dengan dokter," katanya.

Terdengar petugas menelpon dokter spesialis penyakit dalam. Setelah basa basi dan menyampaikan permintaan maaf karena "sudah mengganggu", ia menyampaikan hal yang dimaksud.

"Ini dok, hasil swab antigen pasien atas nama ibu Tety negatif, dengan ca mamae, apa perlu dilanjutkan dengan test PCR?" tanyanya.

"Oh, nggak usah ya dok," katanya.

"Hasil labnya bagus," katanya sambil merinci yang tertera dari hasil lab. Terdengar ia menyebut Hemoglobin, Leukosit, Trombosit, SGOT, SGPT, Ureum, Kreatinin, Albumin, Globulin. Menandakankan saya tidak demam berdarah dan tidak ada infeksi lainnya.

"Baik dok, terima kasih dok, maaf ya dok sudah mengganggu waktunya," kata petugas.

Suami kembali ke IGD, menyampaikan hasil cek darah saya bagus. Mengapa perlu cek labaoratorium karena untuk memastikan saya tidak terkena demam berdarah. Dalam situasi seperti ini yang perlu diwaspadai yaitu Covid-19 dan Demam Berdarah.

Setelah menunggu beberapa jam, akhirnya saya mendapat kamar di lantai 3. Saya baca tertulis Ruang Perawatan Eksekutif. Saya mendapat kamar 385. Ini adalah ruang perawatan kelas 1 sesuai kepesertaan saya di BPJS Kesehatan.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

Tata Tertib Pelayanan Rawat Inap

Di dalam kamar ada 2 bed. Ketika saya masuk, sudah ada pasien yang lebih awal di sini. Pasien seorang ibu lansia, yang didampingi suami yang juga lansia.

Saya pun merebah. Suami menemani saya sejenak. Dalam masa pandemi Covid-19, tidak ada yang boleh menunggu pasien, kecuali jika dalam keadaan kondisi tertentu. Boleh ada penunggu tapi harus diswab antigen terlebih dulu. Kalau positif baru diperkenankan.

Suami saya sebenarnya hasil swab antigennya negatif ketika diperiksa di kantornya. Tapi hasil test ini tidak berlaku di sini, harus dilakukan di RS yang sama dengan pasien dirawat.

Tapi saya meminta suami tidak perlu menunggu saya. Apalagi saya tidak dalam keadaan payah. Saya minta suami lebih baik menemani anak-anak saja.

Uang buat bayar swab antigen kan bisa dialihkan buat yang lain, buat beli beras, misalnya hehehe... Kalau saya, kan ada perawat yang jaga.

"Kalau mau bawa-bawa sesuatu buat aku, titip aja ke perawat atau satpam," kata saya. Kebetulan waktu ke IGD memang tidak bawa apa-apa. Hanya pakaian yang melekat di tubuh.

Aturan pasien tidak boleh dijenguk selama pandemi Covid-19 juga masih berlaku. Semua tertuang dalam peraturan rawat inap yang harus ditandatangani pasien atau keluarga pasien.

Paginya, dr. Yani Kurniawan, SpPD, visit memeriksa saya. Mungkin karena saya penyintas kanker dan memang pasien di RS ini, saya mendapat perhatian lebih. Ini sih perasaan saya saja. Sepertinya saya diperlakukan dengan lebih hati-hati.

Stetoskopnya memeriksa dada, lalu perut saya, lantas jari-jarinya menekan-nekan perut saya. Ia pun bertanya apakah saya masih mual? Muntah? Buang-buang air besar? Saya jawab "sudah nggak".

"Makan, minum, lancar?" tanyanya yang saya jawab lancar.

Karena saya merasa sudah membaik, saya minta pulang. Tapi dokter tidak mengijinkan.

"Pulang? Belum juga 24 jam. Kita lihat 1 hari lagi ya buat observasi. Kalau memang sudah membaik boleh pulang dan rawat jalan," katanya (tersenyum) dari balik masker.

"Begitu ya, Dok. Baiklah kalau begitu," kata saya seraya mengucapkan terima kasih ketika akan meninggalkan ruang rawat yang saya inapi ini.

Obat infus yang tadi sudah disiapkan dipasangkan lagi. Kebetulan satu kantong infus sudah habis.

"Maaf ya, Bu, tadi kata dokter ibu harus dirawat 1 hari lagi, jadi infusnya saya pasang ya Bu," kata perawat ramah.

Sore menjelang maghrib, "tetangga" sebelah saya pulang. Dia sudah 3 hari dirawat. Dia pasien diabetes. Satu jari kakinya harus diamputasi karena borok. Sudah dua jari kakinya yang diamputasi karena diabetes.

Jadilah, saya sendirian di kamar. Tidak ada lagi terdengar suara ngorok yang mengingatkan saya pada almarhumah ibu saya. Hari terakhir saya melihat ibu saya ya dalam keadaan ngorok, yang ternyata itu dalam keadaan tidak sadar.

Hari berikutnya, dokter visit, setelah memeriksa saya, dan menanyakan kondisi saya, dokter pun membolehkan saya pulang. Alhamdulillah...bisa pulang.

"Rawat jalan ya," kata dokter. Saya pun mengucapkan terima kasih. Ah, saya jadi lupa minta selfie hehehe...

Demikian pengalaman saya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun