Kala surya belumlah tinggi
Sesuatu yang dahsyat terjadi
Perang tanding satu lawan satu tak terhindari
Semua menerjang
Berkelebat, saling ayunkan tombak dan pedang
Tak terhitung banyaknya luka yang menganga
Pun tetesan darah yang membasahi tanah celaka
Saat tombak berjatuhan dan jiwa suci berguguran
Semua berpulang dengan seulas senyuman
Tunai sudah janji bakti
Tunah sudah sumpah suci
Bela pati demi nagari
Demi harga diri
Di sana, di dalam tenda
Gadis manis itu masih berdandan jua
Dibalut tubuhnya dengan jarik berprada
Warna emas menyala
Kebaya putih dikenakannya
Diletakkannya sigarnya di atas sanggul indahnya
Tanda ia seorang puteri raja
Naas, ia tak tahu apa-apa
Selain datang tuk berjumpa
Seorang ksatria gagah perkasa
Bersanding selamanya di atas singgasana
Merangkai mimpi indah bersama
Ah, kisah klasik anak manusia
Terpanah asmara
Jauh di hatinya tersimpan lukisan
Wajah sang Arjuna
Seorang Maharaja yang telah berjanji
Menjemputnya bila ia tiba
Tuk membawanya ke altar suci
Mengikat janji nan abadi
Sayang, yang dinanti belumlah datang
Seorang utusan justeru tiba mengajak perang
Puteri cantik jadi perdebatan
Hendak diserahkan sebagai upeti tanah jajahan
Sontak semua menolak
Pun Ayahanda sang Puteri berontak
Puteriku bukan barang dagangan
Puteriku tanda kehormatan
Lebih baik kami berkalang tanah
Puteriku tak akan pernah kuserahkan
Tekad api itu bergelora
Membakar jiwa yang ada
Meluluhlantakkan semuanya
Hingga tiada bersisa
Utusanpun ikut terluka
Kala ia keluar tenda
Semua telah rebah bersimbah darah
Jerit tangis pun mengudara
Memanggil nama ayahanda raja
 Tak perlu menunggu lama
Dicabutnya senjata
Sebuah kujang yang ia simpan di sanggulnyaÂ
sejak ia pergi tinggalkan Patih Bhunisora
dihujamkannya ke dadanya
hingga darah memerahkan warna kebayanya
ia tak lagi ingat
rasa sakit pun tak lagi melekat
hanya satu yang ia harap
dapat berjumpa dengan kekasih jiwa
sebelum menutup maata
bertanya tentang hatinya
sungguhkah ia cinta
atau cuma taktik belaka
kala maut tinggal sejengkal
lelaki itu datang menyergapnya
memeluknya dengan erat
membawanya ke dadanya
dodotnya ikut basah
wijaya kusumaya ikut layu
lirih masih ia dengar
bisik hatinya yang begitu pilu
betapa ia jatuh cinta
sungguh bukan taktik belaka
ia pun tak tahu apa-apa
kini, tak ada lagi ragu di kalbu
percaya cintanya abadi dan satu
lewati masa demi masa
tak kan pernah mati
meski ia tiada
senyum manis terkembang,Â
dalam pelukan ia berpulang
tinggalkan kekasih yang patah hati
menanti hingga jutaan tahun berganti
di Bubat, ia temukan cintanya yang sejati
(Karadenan, 02/11/2017)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H