Mohon tunggu...
NENGHENDRIYANI
NENGHENDRIYANI Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Air Mata Dyah Pitaloka

12 November 2017   13:25 Diperbarui: 12 November 2017   15:17 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kala surya belumlah tinggi

Sesuatu yang dahsyat terjadi

Perang tanding satu lawan satu tak terhindari

Semua menerjang

Berkelebat, saling ayunkan tombak dan pedang

Tak terhitung banyaknya luka yang menganga

Pun tetesan darah yang membasahi tanah celaka

Saat tombak berjatuhan dan jiwa suci berguguran

Semua berpulang dengan seulas senyuman

Tunai sudah janji bakti

Tunah sudah sumpah suci

Bela pati demi nagari

Demi harga diri

Di sana, di dalam tenda

Gadis manis itu masih berdandan jua

Dibalut tubuhnya dengan jarik berprada

Warna emas menyala

Kebaya putih dikenakannya

Diletakkannya sigarnya di atas sanggul indahnya

Tanda ia seorang puteri raja

Naas, ia tak tahu apa-apa

Selain datang tuk berjumpa

Seorang ksatria gagah perkasa

Bersanding selamanya di atas singgasana

Merangkai mimpi indah bersama

Ah, kisah klasik anak manusia

Terpanah asmara

Jauh di hatinya tersimpan lukisan

Wajah sang Arjuna

Seorang Maharaja yang telah berjanji

Menjemputnya bila ia tiba

Tuk membawanya ke altar suci

Mengikat janji nan abadi

Sayang, yang dinanti belumlah datang

Seorang utusan justeru tiba mengajak perang

Puteri cantik jadi perdebatan

Hendak diserahkan sebagai upeti tanah jajahan

Sontak semua menolak

Pun Ayahanda sang Puteri berontak

Puteriku bukan barang dagangan

Puteriku tanda kehormatan

Lebih baik kami berkalang tanah

Puteriku tak akan pernah kuserahkan

Tekad api itu bergelora

Membakar jiwa yang ada

Meluluhlantakkan semuanya

Hingga tiada bersisa

Utusanpun ikut terluka

Kala ia keluar tenda

Semua telah rebah bersimbah darah

Jerit tangis pun mengudara

Memanggil nama ayahanda raja

 Tak perlu menunggu lama

Dicabutnya senjata

Sebuah kujang yang ia simpan di sanggulnya 

sejak ia pergi tinggalkan Patih Bhunisora

dihujamkannya ke dadanya

hingga darah memerahkan warna kebayanya

ia tak lagi ingat

rasa sakit pun tak lagi melekat

hanya satu yang ia harap

dapat berjumpa dengan kekasih jiwa

sebelum menutup maata

bertanya tentang hatinya

sungguhkah ia cinta

atau cuma taktik belaka

kala maut tinggal sejengkal

lelaki itu datang menyergapnya

memeluknya dengan erat

membawanya ke dadanya

dodotnya ikut basah

wijaya kusumaya ikut layu

lirih masih ia dengar

bisik hatinya yang begitu pilu

betapa ia jatuh cinta

sungguh bukan taktik belaka

ia pun tak tahu apa-apa

kini, tak ada lagi ragu di kalbu

percaya cintanya abadi dan satu

lewati masa demi masa

tak kan pernah mati

meski ia tiada

senyum manis terkembang, 

dalam pelukan ia berpulang

tinggalkan kekasih yang patah hati

menanti hingga jutaan tahun berganti

di Bubat, ia temukan cintanya yang sejati

(Karadenan, 02/11/2017)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun