"Anti punya uang tabungan, Bu. Tidak banyak hanya segini," ucapnya seraya menyodorkan beberapa lembar uang pecahan lima puluh ribuan dan sepuluh ribuan.
"Pegang saja, di simpan ya... nanti bisa di gunakan untuk kebutuhan kamu saat study tour. Untuk pembayaran biar Ibu yang usahakan," ujarku sambil menggenggam tangannya.
Ia terenyum sangat manis, dan berlalu keluar rumah dengan tergesa, untuk berangkat kesekolah. Setelah mencium punggung tanganku. Karena waktu sudah menunjukan pukul tujuh lewat.
Sepeninggalan Rianti aku menuju kamar. Ekor mataku tertuju sebuah celengan berbentuk kendi yang terbuat dari tanah liat. Sedikit demi sedikit uang hasil menjadi buruh cuci dan membantu tetangga yang membutuhkan tenagaku. Selalu kusimpan dalam celengan itu.
Tanpa ragu kubanting celengan kelantai. Beberapa uang logam dan lembaran kertas berserakan. Setelah kurapihkan uang-uang itu, ternyata masih kurang banyak.
355000 Rupiah, uang hasil tabungan kumasukan dalam kantong keresek hitam dan kuselapkan diantara tumpukan baju dalam lemari. "Masih butuh sekitar 2 juta lebih," ucapku lirih.
"Kemana harus kucari uang sebanyak itu dalam waktu kurang dari satu bulan?" batinku.
*****
Sepulang dari membantu tetangga untuk merapihkan rumahnya, aku bergegas menuju satu rumah dimana ada sekelompok ibu-ibu yang selalu berkumpul setiap minggu. Mereka bilang di koprasi kelompoknya bisa meminjam uang dengan cicilan setiap minggu.
Atas saran mereka pula aku beranikan diri untuk mengajukan pinjaman. Namun rasa kecewa yang kudapat setelah mendengarkan penjelasan dari petugas koperasi tersebut. "Maaf, Ibu terlambat. Pengajuan nasabah baru sudah di laksanakan minggu kemarin. Jadi kemungkinan akhir bulan ini Ibu baru bisa mengajukan datanya," ucap petugas tersebut.
Harapanku untuk mendapatkan uang itu sirna. Tanpa semangat kubuka pintu rumah suasana masih sunyi, itu artinya Rianti belum kembali dari sekolah.