Study Tour Pertama Putriku
Kutarik nafas dalam seraya membuka selembar kertas yang kemrin di berikan oleh Rianti. Putri tunggalku.
Surat pemebritahuan soal pembayaran ujian, feilad Trip, sewa gedung, tunggakan SPP selama tiga bulan. Tidak kubaca semua yang tertera. Mataku langsung tertuju pada jumlah nominal yang harus di bayarkan. 2.285000 Rupiah. Batas akhir pembayaran masih 2 minggu lagi.
Bukan jumlah yang sedikit untukku yang hanya seorag singgle parent. Suamiku meninggal saat usia Rianti 10 tahun, kala itu ia baru duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar.
Sejak saat itu aku berjuang sendiri mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan kami juga biaya pendidikan putri semata wayangku.
"Bu... bagaimana? Bisa aku ikut ujian?" pertanyaan Rianti mengugah lamunanku.
"Insya Allah, Ibu akan usahakan," ucapku seraya tersenyum.
"Benar, tapi... apa Ibu punya uang sebanyak itu?" tanyanya sambil menatapku. Rianti anak yang sangat manis dan sangat mengerti keadaan. Saat sekolah dasar ia tidak pernah mengikuti study tour dari sekolah. Dengan alasan masih terlalu kecil dan aku tidak bisa melepasnya sendiri. Tentu saja itu hanya alasan yang kuutarakan kepada gurunya. Dan alasan yang sebenarnya aku tidak memeiliki uang lebih selain persiapan untuk Rianti masuk sekolah Menengah Pertama.
Menginjak usia sekolah menengah pertama pun gagal mengikuti kegiatan itu karena saat itu aku harus di rawat di rumah sakit karena demam berdarah.
Saat ini adalah study tour pertamanya. Setelah ia menempuh pendidikan di salah satu sekolah kejuruan. Ada harapan besarku yang bergelyut di bahunya. Harapan seorang ibu yang menginginkan putrinya menjadi orang sukses.
"Anti punya uang tabungan, Bu. Tidak banyak hanya segini," ucapnya seraya menyodorkan beberapa lembar uang pecahan lima puluh ribuan dan sepuluh ribuan.
"Pegang saja, di simpan ya... nanti bisa di gunakan untuk kebutuhan kamu saat study tour. Untuk pembayaran biar Ibu yang usahakan," ujarku sambil menggenggam tangannya.
Ia terenyum sangat manis, dan berlalu keluar rumah dengan tergesa, untuk berangkat kesekolah. Setelah mencium punggung tanganku. Karena waktu sudah menunjukan pukul tujuh lewat.
Sepeninggalan Rianti aku menuju kamar. Ekor mataku tertuju sebuah celengan berbentuk kendi yang terbuat dari tanah liat. Sedikit demi sedikit uang hasil menjadi buruh cuci dan membantu tetangga yang membutuhkan tenagaku. Selalu kusimpan dalam celengan itu.
Tanpa ragu kubanting celengan kelantai. Beberapa uang logam dan lembaran kertas berserakan. Setelah kurapihkan uang-uang itu, ternyata masih kurang banyak.
355000 Rupiah, uang hasil tabungan kumasukan dalam kantong keresek hitam dan kuselapkan diantara tumpukan baju dalam lemari. "Masih butuh sekitar 2 juta lebih," ucapku lirih.
"Kemana harus kucari uang sebanyak itu dalam waktu kurang dari satu bulan?" batinku.
*****
Sepulang dari membantu tetangga untuk merapihkan rumahnya, aku bergegas menuju satu rumah dimana ada sekelompok ibu-ibu yang selalu berkumpul setiap minggu. Mereka bilang di koprasi kelompoknya bisa meminjam uang dengan cicilan setiap minggu.
Atas saran mereka pula aku beranikan diri untuk mengajukan pinjaman. Namun rasa kecewa yang kudapat setelah mendengarkan penjelasan dari petugas koperasi tersebut. "Maaf, Ibu terlambat. Pengajuan nasabah baru sudah di laksanakan minggu kemarin. Jadi kemungkinan akhir bulan ini Ibu baru bisa mengajukan datanya," ucap petugas tersebut.
Harapanku untuk mendapatkan uang itu sirna. Tanpa semangat kubuka pintu rumah suasana masih sunyi, itu artinya Rianti belum kembali dari sekolah.
Kuteguk air putih untuk membasahi kerongkongan. Kusandarkan tubuh di kursi lapuk ruang tengah, mataku terpejam dan berpikir kemana aku harus mencari uang.
Akhirnya aku mengingat satu nama yang sudah pasti dapat membantuku dalam hal ini. tanpa pikir panjang aku pun lantas menemui orang tersebut di rumahnya.
"Assalamu alaikum..." ucap salamku setelah berada di teras rumah besar ber cat putih.
"Walaikumssalam," wanita paruh baya menjawab salamku dan menghentikan aktivitasnya yang sedang menyiram bunga di halaman.
"Bu, Darto. Bapak ada?"
"Ada, Bu... masri silahkan duduk dulu saya panggilkan Bapak," ucapnya dan berlalu.
"Bu, Rasmini... ada yang bisa saya bantu?" ucap Pak Darto setelah berada di hadapanku.
"Begini, Pak... saya... butuh bantuan Bapak, saya butuh uang untuk bayar ujian sekolah Rianti," ucapku langsung meski sedikit terbata.
"Apa Ibu sudah tau syarat dan ketentuannya?" aku mengangguk, kemudian pak Darto memberi isyarat kepada istrinya agar mengambilkan tas di dalam rumah.
"Bu... ini uang yang Ibu butuhkan sebesar 2 juta rupiah, dengan bunga 25 ribu perhari. Jadi di akhir bulan nanti Ibu harus membayar 2 juta 750 ribu rupiah serta administrasi 150 ribu rupiah. Total yang Ibu harus bayar 2 juta 900 ribu rupiah," ujar pak Darto menjelaskan. Aku kembali mengangguk faham.
"Tapi jika Ibu tidak bisa membayar sampai dengan batas waktu, maka bunga harian akan naik menjadi 50 ribu perhari, bagaimana?"
"Baik, Pak... saya paham," ucapku singkat. Aku tidak lagi berpikir dari mana uangnya nanti untuk membayar rentenir ini. yang terpenting sekarang aku mendapatkan uang untuk berbayar kebutuhan sekolah Rianti.
****
Hari berganti, bada subuh kuantar putri kesayanganku menuju bus parawisata yang telah di carter oleh pihak sekolah.
"Jangan lupa di makan bekalnya, biar nanti gak masuk angin," ucapku.
"Siap, Bu... pasti di makan ibu buatkan aku lontong banyak sekali. Nanti aku bagikan ke yang lain, pasti semua mau," ucap Rianti, seraya mengangkat kantong berisikan lontong dan gorengan yang sengaja ku buat untuk bekal selama perjalanan.
Wajah Rianti begitu gembira, tawa lepas sambil melambaikan tangan kearahku dari pintu bus sesaat sebelum ia mencari tempat duduknya.
"Ya Allah... kutitipkan putriku, jagalah dia disaat aku tidak berada di sisinya," doaku dalam hati.
Entah mengapa pikiranku tidak lepas dari bayangan wajah putriku. Sepanjang aku bekerja sebagai buruh cuci di salah satu rumah tetanggaku. Bayangan senyum Rianti tak lepas dari ingatan. Mungkin karena ini pertama kali Rianti pergi jauh meniggalkan rumah tanpa aku sebagai ibunya.
Hingga aku kembali kerumah, rasa gundah masih aku rasakan. Segera kutunaikan tiga rokaat sholat magrib, tak lupa kupanjatkan doa terbaik untuk putriku. Hingga suara gedoran pintu terdengar sangat keras.
"Bu Rasmini, bus SMK Bina Bangsa kecelakaan di Bandung!" seru teatnggaku. Setelah aku membukakan pintu.
Tak ada kata terucap dari mulutku, kedua mataku lantas berembun. Tubuhku gemetar mendengar berita itu. tanpa menghiraukan tetanggaku yang masih terpaku di depan pintu, aku langsung berlari menuju sekolah Rianti yang berjarak sekitar 2 kilo meter dari rumahku.
Dengan linangan air mata aku terus berlari tak kupedulikan suara yang berteriak memanggil namaku, aku terus berlari.
Tubuhku terpental satu unit sepeda motor menabrak tubuhku yang mulai lelah. Entah siapa yang salah yang pasti aku tidak merasakan sakit sedikit pun.
Aku lantas berdiri dan kembali berlari hingga tiba di sekolah putriku. Suasana di sana sudah cukup ramai. Semua mempertanyakan keadaan putra dan puterinya. Cukup lama aku berada di sekolah, kucari nama Rianti diantara daftar nama yang mejadi korban. Kenapa tidak ada nama Rianti? Di mana anakku?
Sampai salah seorang guru memebritahukan jika sebagian siswa dan siswi telah di kembalikan kerumahnya masing-masing. Karena hari sudah menjelang larut malam.
Aku kembali berjalan dan berlari, menerobos gelapnya malam. Tidak lagi aku rasakan lelah. Seperti ada kekuatan gaib yang membantuku untuk terus berlari sampai di depan gang rumahku.
"Bendera kuning? Rianti? Air mataku tumpah tak tertahankan seraya beralari menerobos kerumunan orang di depan rumahku.
Tiba di ruang dalam rumah. Aku melihat Rianti sedangg menagis, tubuhnya berguncang memeluk jasad yang terbujur kaku yang tertutup kain batik.
Ya... Allah putriku selamat, hanya kepala yang terbalut perban dan satu kakinya terpasang gyipsum. Aku menghampirinya. "Rianti, kamu selamat, Nak?" ucapku. Rianti seakan tidak melihat keberadaanku. Ia terus menangis dan berteriak memanggilku.
"Ibu.... Ibu.... jangan tinggalin Rianti Bu..." suara Rianti begitu pilu menyayat kalbu. Aku terdiam, terpaku. Jasadku telah terbujur kaku dalam pelukan putri kesayanganku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H