"Tapi jika Ibu tidak bisa membayar sampai dengan batas waktu, maka bunga harian akan naik menjadi 50 ribu perhari, bagaimana?"
"Baik, Pak... saya paham," ucapku singkat. Aku tidak lagi berpikir dari mana uangnya nanti untuk membayar rentenir ini. yang terpenting sekarang aku mendapatkan uang untuk berbayar kebutuhan sekolah Rianti.
****
Hari berganti, bada subuh kuantar putri kesayanganku menuju bus parawisata yang telah di carter oleh pihak sekolah.
"Jangan lupa di makan bekalnya, biar nanti gak masuk angin," ucapku.
"Siap, Bu... pasti di makan ibu buatkan aku lontong banyak sekali. Nanti aku bagikan ke yang lain, pasti semua mau," ucap Rianti, seraya mengangkat kantong berisikan lontong dan gorengan yang sengaja ku buat untuk bekal selama perjalanan.
Wajah Rianti begitu gembira, tawa lepas sambil melambaikan tangan kearahku dari pintu bus sesaat sebelum ia mencari tempat duduknya.
"Ya Allah... kutitipkan putriku, jagalah dia disaat aku tidak berada di sisinya," doaku dalam hati.
Entah mengapa pikiranku tidak lepas dari bayangan wajah putriku. Sepanjang aku bekerja sebagai buruh cuci di salah satu rumah tetanggaku. Bayangan senyum Rianti tak lepas dari ingatan. Mungkin karena ini pertama kali Rianti pergi jauh meniggalkan rumah tanpa aku sebagai ibunya.
Hingga aku kembali kerumah, rasa gundah masih aku rasakan. Segera kutunaikan tiga rokaat sholat magrib, tak lupa kupanjatkan doa terbaik untuk putriku. Hingga suara gedoran pintu terdengar sangat keras.
"Bu Rasmini, bus SMK Bina Bangsa kecelakaan di Bandung!" seru teatnggaku. Setelah aku membukakan pintu.