Mohon tunggu...
neneng salbiah
neneng salbiah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada buku yang ingin kau baca, namun kau tak menemukannya, maka kaulah yang harus menulisnya!

Apa yang kamu lihat itu adalah berita. apa yang kamu rasakan itu adalah puisi dan apa yang kamu khayalkan itu adalah fiksi. saya berharap pembaca tidak menghakimi tulisan-tulisan yang ada di blog ini. karena saya penulis pemula. belum pandai dalam menata ide pokok cerita dalam sebuah paragraf yang sempurna. Seorang ibu rumah tangga yang sedang belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Luka Tak Berdarah

27 Maret 2024   21:53 Diperbarui: 27 Maret 2024   22:02 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Fhoto bing image kreator digital Ai

Sejak saat itu. Nenek Daimah seperti dikucilkan oleh warga. Aku kerap kali mengunjunginya, meski tidak sering. Karena menurutku seorang Nenek paruh abad ini tidak pantas mendapatkan penghakiman atas perbuatan mediang cucunya, yang di kalim warga sebagai pencuri.

Aku memilki sudut pandang berbeda dengan mereka, yang tidak tahu betapa solehahnya ia dalam menjalani hidup di sisa usianya.

"Assalamualaikum," suara salam membuyarkan lamunanku. Nenek Daimah berusaha bangkit dari duduknya, dan aku segera mencegah, lalu kutengok siapa yang datang.

"Maaf, Bu...apa tadi Ibu memanggil kami?" tanya salah seorang pemuda yang datang. Aku mengangguk membenarkan. Aku memang memanggil beberapa remaja masjid via aplikasi Whatssap. Untuk membantu memebersihkan pekarangan rumah nenek Daimah. Setelah memerintahkan beberapa remaja masjid untuk membersihkan pekarangan. Aku kembali kedalam.

"Nenek, dari mana?!" tanyaku terkejut karena kulihat nenek Daimah berjalan pelan menyusuri ruangan rumah. Padahal tadi aku sempat melarang ia bangkit dari duduknya.

"Saya belum sholat dzuhur," ujarnya dengan senyum lebar. Senyumnya terlihat tanpa beban.

Kuperhatikan gerakan-gerakan sholatnya. Dengan penglihatan yang terbatas untuk berjalan pun ia terlihat kesulitan. Tapi gerakan sholatnya terlihat ringan. Terkadang ia tersenyum dalam sholatnya. Sekali waktu terlihat air mata mengalir di pipinya.

Kuhampiri, Nenek Daimah yang masih berdzikir dalam simpuhnya. "Nek, saya mau pamit pulang... pekarangan ruma Nenek sekarang sudah bersih. Alhamdulillah, anak-anak remaja masjid yang membersihkannya," ucapku seraya menggenggam tangannya.

"Bu guru, orang yang sangat baik. Semoga Allah memberikan kemudahan dalam setiap urusan," ujarnya. Ia terus mengucapkan doa-doa untukku. Air matanya berurai membasahi mukena yang sudah tidak lagi putih warnanya.

Kuaminkan semua doa-doa tulusnya seraya mencium tangan tua yang membingaki wajahku. Dapat kubayangkan bagaimana ia bertahan hidup dengan segala keterbatasan. Puasa sunah yang selalu ia jalani bukan semata mencari pahala Allah Awt. Tapi karena tidak ada yang ia makan di hari-hari itu.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun