Mohon tunggu...
NellaLestari _07
NellaLestari _07 Mohon Tunggu... Penulis - Aktif

Pelajar SMA yang mencoba berimajinasi di sela-sela menumpuknya tugas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Amerta

21 November 2021   11:30 Diperbarui: 21 November 2021   11:42 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

   Berada di bawah pohon rindang tanpa alas, bayangan cewek kucir kuda itu melayang pada peristiwa-peristiwa kelam. Lamunan singkatnya buyar beberapa saat setelah ada yang memanggil namanya. "Ayesha." Cekrik! Firza memotret Ayesha yang melamun. "Kebiasaan!" Cewek yang akan berumur tujuh belas tahun itu melempar kerikil di sekitar, Firza malah terkekeh pelan sembari mengukir cengiran khasnya.

   Mencari posisi ternyaman duduk di sebelah sahabatnya, Firza mengingatkan, "Makanya, jangan melamun. Mikirin saya?"  Seperti biasa bukan layaknya perempuan muda lainnya ketika digoda, Ayesha malah melayangkan cubitan khasnya di ginjal Firza, membuat empunya nyeri. Jika saja Ayesha dengan hobi menulisnya bisa mengatakan gamblang apa yang sedang dipikirkan, mungkin akan melegakan. Namun, kendati demikian, Ayesha pilih bungkam, pendam dalam senyuman. Acapkali sahabatnya yang ia kenal dua bulan lalu itu kebingungan mengorek isi pikiran Ayesha.

  Seolah ada drama yang kembali diputar, episode-episode pilu kembali menyayat kalbu, memori lagi-lagi menghantui; kegagalan.

  "Kamu pemenang segala bidang, tidak layak menjadi bagian kami yang terpencil," kata pengajar Ayesha setahun lalu ketika penerimaan siswa SMA baru. Helaan napas berawai gadis berkulit sawo matang itu terdengar lantang, jiwa pantang pulang sebelum menang sedang diragukan. "Pak, saya yakin bisa memajukan sekolah ini, apa Bapak tidak percaya?" Jeda lima detik. "Pak, saya langganan prestasi."

  Ya, mungkin kesombongan waktu lalu menjadikan Ayesha Purnama pada titik sering gagal, apakah ini balasan Tuhan?

  "Sha, sore ini kita ada acara literasi." Sekali lagi Firza membangunkan renungan Ayesha, cowok kemeja polos hitam itu menyunggingkan senyuman---membuat kaum hawa terpesona. Benak Firza menduga Ayesha hatinya sedang sesak---persahabatan dua bulan membuat ia sedikit demi sedikit memahami ekspresi hati Ayesha. "Jam empat, jangan terlambat," ucap Firza sebelum bayangannya berlanglang hilang dari tatapan. Kembali, memori mengiris hati menjadikan kekuatan Ayesha pecah---serupa kaca yang disimpan dalam lemari kini menjadi duri. Mau tak mau Ayesha kudu mengaku---buah kesombongan pernah ia tanam, memicu Tuhan cemburu; mengapa manusia sok kuasa, padahal Tuhan yang mencipta?

   "Kamu mendaftar Olimpiade?" Ayesha si ramah tersenyum semringah ketika ditanya. "Iya, Bu." Guru berjilbab lengkap dengan kacamata kotak itu mencoba tak menggertak, keningnya ia pijat---merasakan sensasi berhadapan murid berprestasi disertai semangat tinggi. "Ibu bilang berapa kali? Ini akan mempermalukan nama kamu, Sha. Kamu akan kalah. Lagian di sekolah ini, tak akan sanggup membiayai pengajar khusus Olimpiade."

  "Kalau Ibu bisa ajari saya, kenapa tidak?" tanya Ayesha. "Beda, Sha. Kami menjadi guru karena terpaksa." Satu lagi kenyataan yang harus gadis netra hitam itu telan, pahit. Ayesha meneguk saliva---tak percaya. Bu Tatik namanya, berkata, "Sebenarnya kami tidak punya harapan lagi untuk sekolah ini, makin tahun tak ada pendaftar lagi. Kami tidak mampu menyaingi sekolah favorit di kota." Mencerna apa yang dikemukakan barusan, cerdasnya Ayesha berpikir kritis. "Bu, selain kesuksesan karena usaha dan keberuntungan, mindset sangat dibutuhkan." Ayesha mencoba sabar. "Kalau dari awal sekolah ini tak punya mindset juara, berprestasi untuk negeri, bagaimana bisa mewujudkannya?" Atmosfer sekitar menjadi kaku, kehangatan sesaat telah mengudara bersama kalimat pasrah. Emosi jiwa Ayesha yang pantang menyerah menggebu-gebu, menderu kesal ketika Bu Tatik mengaku tujuan sekolah ini yang masih abu-abu. "Menyerahlah, atau namamu bukan lagi menjadi juara."

  Dering telepon genggam memecahkan renungan, Ayesha segera menggeser tombol hijau itu ke atas, suara Firza menggema. "Masih melamun, ya?"

  "Sok tahu kamu."

  "Lihat ke pohon pojok kanan," suruh Firza. Tanpa banyak kata, Ayesha menuruti. "Aku ngawasin kamu dari tadi. Buruan pulang terus mandi, ada acara literasi," pinta Firza lembut, cipta semangat bagi Ayesha yang kalut.

***

  Sepertinya senja betah singgah meskipun di musim hujan ini. Pukul lima sore mentari masih menembus kulit pada insan-insan yang kepingin selalu mengabdi pada negeri.

  "Fikri! Kenapa kamu masih di sini? Apa gunanya belajar?! Suatu saat nanti kamu harus mewarisi mengatur sawah, percuma belajar matematika, membaca!! Pulang!"

  Suasana semula kondusif menjadi tegang, ketika para orang tua dari murid Komunitas Pencinta Literasi berdatangan. Ketegangan tak bisa dicegah kala adu argumen dengan beda pemikiran. "Pak, mereka berhak punya hak untuk memiliki pendidikan yang layak. Kami hanya ingin mengembangkan rasa cinta pada literasi khususnya membaca, itu saja." Firza menjelaskan.

  "Kalian hanya membuang waktu, dan para gadis ini, lebih baik pulang saja, tak usah sekolah. Karena pada akhirnya kalian akan menjadi ibu rumah tangga." Si Bapak berkaus oblong dengan guratan kemarahan berkata kembali, "Oh, iya, satu lagi, bocah-bocah!" Telunjuk si Bapak menunjuk satu-persatu anggota murid mereka. "Asal kalian tahu, mereka hanya ingin menang lomba, bukan ikhlas mengajari kita."

  Detik demi detik di antara manusia tak berkutik---terlibat isi pikiran masing-masing, para pemarah tadi pergi. Ruang 4 5 dihiasi buku-buku tiap bagian, ditatap oleh kesepuluh anak insan. Buku-buku bekas nan lawas sedikit usang, lukisan tangan-tangan mungil menghiasi dinding kayu jati, di sana ... di antara mentari yang menembus jendela, kesepuluhnya senyap.

***

  "Gimana persiapan lomba literasinya?" Keesokan sorenya mereka kembali berkumpul di basecamp KoPi.

  "Gue sebagai fotografer, masih nyari-nyari objek, sih," jawab Firza. Ramdan si ketua KoPi (Komunitas Pecinta Literasi), berubah emosi. "Loh? Deadline hari ini!" Ia menyentak. Tanpa banyak kata semua kembali mencari informasi. Seketika para insan pencinta literasi hilang ketangguhan, tangan gemetar tak karuan menerima kenyataan. Bungkam. Harapan-harapan terbenam. "Deadline  ... setengah jam lagi," ujar Firza ... pasrah. "Udah daftar?" tanya Firza sabar. Dengan santainya Ayesha menggeleng pelan, semuanya  ... terduduk lemas. "CEPAT DAFTAR! KENAPA MELAMUN?"

 Dulu Ayesha selalu mengeluh ketika seniornya itu marah-marah, tapi sekarang memang keteledorannya. Sepuluh anggota pencinta literasi terdiri dari berbagai usia itu bertindak cepat sebelum waktu tiga puluh menit berakhir. Jemari Ayesha gemetar, Firza yang mengotak-atik memori mencari foto menarik untuk ajang lomba seolah mengalirkan energi positif pada Ayesha---telepati.  "Jaringan hilang  ... ." Ketegangan makin bertambah, fakta desa ini masih sulit koneksi, sedangkan waktu tetap berjalan. Gerak cepat meminjam mobil sayur milik warga, membawa mereka bereaksi dengan jalan-jalan penuh gangguan. Firza mengemudi, kecepatan di atas rata-rata membuat yang di belakang susah konsentrasi. "Berapa data yang perlu diisi?" tanya Ramdan, suaranya parau. Laptop ditumpangkan pada paha Dilla.  "Empat langkah, tapi koneksi belum stabil! Laptopnya juga macet," jawab Dilla. Ayesha konsentrasi pada narasi, yang lainnya pada data dan edit foto.  "Mil! Ponselmu canggih, bagi WiFi cepat!" Ramdan menyuruh. Peluh, keluh tak menderu, semua gerak cepat. "Tck, koneksi juga hilang! Listrik mati!"  Ramdan makin frustrasi, komunikasi di antara angin kencang membuat perlahan  ... konsentrasi melayang.

  "ZA! MASIH JAUH DARI KOTA?" Lalu Firza menjawab Ramdan, "Jauh!!"

   Waktu semakin berkurang, Ramdan pasrah, ia mengacak rambut frustrasi. Derit sakit menjerit dari relung hati Ayesha, ia mengakui ini salahnya. "Udah, kita nyerahaja," tukas Ramdan. Tanpa aba-aba Ayesha merampas laptop itu, ia menjerit pada Firza untuk berhenti, perdebatan panas menggelora terjadi, lalu reda. Ayesha turun dari bak mobil, berlarian ke atas bukit-bukit yang mereka lewati, mencari grafik jaringan terpenuhi.

   "Ada tiga koneksi!!" Kesepuluhnya menghampiri, sisa waktu lima belas menit mengirim karya yang diikutsertakan  festival literasi provinsi. Ayesha tak ingin menyerah begitu saja, alasannya bukan karena Pak Lurah serta Kepala Sekolah pernah mencegah Ayesha dan komunitasnya terlibat lomba. Namun, tekad kuat mengenalkan desa pada orang-orang kota, tunjuk pada mereka beras yang diubah jadi nasi berasal dari desa terpencil ini.

   "Bahwa, desa terpencil ini juga bagian dari negara yang patut diapresiasi. Berprestasi bukan cuma soal menang lomba--dapat piala--pujian. Namun, berkontribusi lebih untuk negara, daerah sendiri, dan mengabdi cerdaskan  negeri itu bagian dari berprestasi." Berputar kalimat itu di kepala Ayesha, si bijak Firza yang berkata ketika Ayesha ingin menyerah. Seratus delapan puluh detik penutupan, rintihan doa mengudara berharap Tuhan mengabulkan. Sepertinya setan-setan sedang taruhan, tepuk tangan bila mereka gagal; terjadi pertengkaran.

   Setelah mencoba beberapa kali untuk mengirimkan, akhirnya ... terkirim! Helaan napas lega keluar dari mereka, puji-pujian pada Tuhan mengalun dari tiap bibir yang gemetaran. Astungkara, setelah usaha-usaha.

  "Misi kita selesai, setelah ini KoPi bubar." Tercengang, semuanya mendengar pengakuan Ramdan. "Kenapa? Karena lo  cuma pengen punya nama, melengkapi CV lo doang, iya?" Santai, tapi sindiran Firza berhasil menyulut murka Ramdan. "Apa?!" Nada suara Firza meninggi. "Kalau dari awal kita buat komunitas cuma berakhir gini  ... mending lo nggak usah gabung. Ayesha yang teledor, masih mending daripada lo  ... " Firza mendekat, tersenyum miring, membisikkan di telinga si ketua. "Munafik!" Mereka membuang waktu menyelesaikan masalah mengutamakan nafsu, mencari celah jalan damai sepertinya sudah susah, karena mereka terlanjur kecewa  ... pada Ramdan si ketua. Saat itu juga ... Komunitas Pencinta Literasi yang dibanggakan, bubar.

***

  Jika teringat perdebatan yang  menciptakan kesan kekanak-kanakan, membuat kepala Firza berdenyut sakit. Saat ini pikirannya melalang buana, sering kali terpusat pada Ayesha, apa kabar gadis malang yang punya banyak impian itu? Mendirikan Komunitas Pencinta Literasi adalah impian gadis gigih itu, tapi  ... dalam sekejap semua lenyap. Keegoisan merampas tuntas pundi-pundi harapan. Ikrar dalam hati mewujudkan mimpi Ayesha  ... apakah sudah punah dalam dirinya?

  Netra hitam itu menatap sekitar, tawa bocah-bocah menggema indah---seolah mereka hanya tahu bahagia. Samar-samar Firza mendengar percakapan gadis kucir kuda bersama seorang bocah.

  "Kak, kenapa Kakak selalu suka berbagi ilmu?" Bocah laki-laki itu  bertanya sambil menjilat es krim nikmat.

  Ayesha yang membereskan buku-buku terkekeh kecil, ia menyejajarkan tubuh dengan si bocah yang berdiri. "Jadi, Kakak suka menulis. Kakak punya tokoh utama yang suka berbagi ilmu, pengen punya banyak prestasi, membanggakan negeri, pengen masuk berita lokal juga sih, biar  orang-orang pengen kayak Kakak yang suka berbagi ilmu. Jadi, kalau Kakak bisa buat tokoh fiksi yang punya banyak mimpi, Kakak harus bisa juga punya banyak mimpi kayak tokoh fiksi milik Kakak, 'kan?" Ayesha menjelaskan, kini ia berdiri kembali setelah dengkulnya jadi tumpu.

  Bocah itu mengangguk paham. Hati Firza teriris. Dalam banyak senyuman yang diukir Ayesha, mungkin ada kecewa  ... yang tak bisa disampaikan dalam kata.

***

  Di saat semua bertolak diri, lagi-lagi yang menghantui pikiran sendiri. Ayesha termenung dalam lamun, sudah lelah mendeskripsikan cacian yang pernah ia telan mentah-mentah. Namun, syukurnya, ia masih ingat kata Ir. Soekarno, "Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit, bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang."

  Sang Bunda sebelum dijemput Tuhan  tanpa tinggalkan pelukan, pernah menasihati sambil menyisir rambut panjangnya, "Kalau enggak ada yang support Ayesha, Bunda selalu ada."

  "Memangnya Bunda di mana?"

  "Dulu Ayesha tinggal di perut Bunda, udah dari kecil kemana-mana sama Bunda. Kalau sekarang, Bunda adanya di sini  ..." Sang Bunda memegang di dada Ayesha. "Terus bermimpi dan berusaha ya, Nak. Sampai kamu lupa cara menyerah."

  Benar memang, Ayesha dan KoPi mengikuti lomba mewakili sekolah untuk unjuk gigi bahwa mereka mampu berprestasi. Namun, semakin ke sini  ... Ayesha hanya ingin ilmu yang didapatkan bisa bermanfaat untuk orang lain. Berbagi ilmu tiada henti. Belajar sampai kembali pada Illahi.

  Seperti biasa, memfokuskan pandangan pada matahari yang perlahan berpamitan, satu harapan ia tuliskan.

***

  Setelah menjalani hari-hari  pengumuman hasil lomba, menjalankan misi membangkitkan literasi tiap dua hari sekali di tempat biasa; mengajak anak-anak maupun orang dewasa---mendengar, membaca, menulis, dan hal-hal berbau literasi. Hanya bersama Ayesha, Dilla, Vita, Firza rada menyesal perbuatannya lalu. Namun, Firza bersyukur masih ada yang benar-benar peduli pada literasi, membangun negeri dimulai dari desa tercinta.

  "Za, waktunya kamu bawa berita tuh, siaran live." Firza mengangguk, sembari  mencari ilmu, ia juga belajar menekuni dunia reporter. Firza mulai membawakan berita, fokus pandang pada kamera.

  "Kecelakaan beruntun antara truk dengan sepeda motor menyebabkan salah seorang pengendara berusia tepat tujuh belas tahun meregang nyawa di tempat. Diketahui gadis tersebut bernama Ayesha---" Seolah diterjang gelegar halilintar, jemarinya gemetar  bersamaan aliran darah semakin cepat. Pening kepalanya, apakah ini nyata? Segera, cowok kelas dua belas itu berlari meninggalkan siaran live berita lokal daerahnya. Seruan orang-orang tak dihiraukan, pikirannya sungguh kacau. Mencari informasi gadis kucir kuda itu, jika ini fakta, apa ia bisa mewujudkan mimpi-mimpi seorang diri? Ah, perasaan Firza tak karuan sekarang.

***

  "Dia belum mati!" Teriakan histeris datang dari kamar jenazah, seorang pria paruh baya membiarkan dirinya terlihat lemah ketika tubuh buah hati terbujur kaku.

  "Rumah sakit ini bodoh! Apa karena kami miskin karena itu tidak ditangani terlebih dulu?!" Emosinya memuncak, bahu yang selama ini jadi sandaran para insan yang penuh keluh itu, seolah kini sudah lelah. "Saya bisa jual ginjal saya! Asal anak saya kembali hidup! Hai, Malaikat Izrail! Kembalikan nyawa anakku!"

  Bibir Firza kelu, mengunjungi Ayesha sembari membawa kue kecil untuk memastikan si cantik yang berulang tahun itu baik-baik saja. Realitasnya ---

  "Korban kehilangan banyak darah sehingga membuatnya lemah, kami turut berdukacita."

---Ayesha telah tiada. Firza menyesal kenapa dirinya dulu tidak membuka indra ke-enam, ia saat ini ingin melihat Ayesha yang mungkin senyum bahagia di sebelahnya karena melihat Firza menitikkan air mata. Runtuh. Rapuh. Dekap singkat tak pernah ia dapat, tapi Ayesha beri birahi lengkap.

  "Menjerit pun, kamu tak akan kembali," ucap Firza pasrah.

  Tepat di umur tujuh belas tahun, Ayesha meninggalkan Firza, orang-orang tercinta, beserta cita-citanya. Perasaan berkecamuk, seolah harapan yang telah terbentuk sudah remuk.

***

  Pada perjalanan melelahkan bersama diobrak-abrik hati, Firza harus menerima kenyataan, terduduk melemah di pemakaman segar berjajar rangkaian bunga sederhana. Sudah tidak sanggup menyapa seperti biasa, partner prestasinya telah meninggal dunia, padahal baru lima jam lalu berkomunikasi. Setelahnya Firza melanjutkan perjalanan ke pohon yang biasa mereka gunakan saling bercerita, Firza membaca kertas bertuliskan harapan, impian Ayesha.

  "Aku boleh baca?" tanya Firza waktu itu. "Enggak! Kan kalau punya cita-cita mending disimpan sendiri aja, curhatnya sama Tuhan," jawab Ayesha.

  30 Juni 2021

  Tuhan, aku ingin menjadi manusia bermanfaat untuk semua orang. Kabulkan, ya.

   Surat-surat kecil, harapan-harapan besar. Haru, pilu, menjadi satu. Tiba-tiba notifikasi ponselnya berbunyi berkali-kali, Firza membukanya. Mengerutkan alis heran, banyak orang mengucapkan selamat di Instagramnya. Entahlah ini hari bahagia atau derita? Hari-hari penuh duka atau suka cita untuk episode-episode selanjutnya? Pasalnya Komunitas Pencinta Literasi memenangkan festival literasi tingkat provinsi tersebut. Bahkan, banyak insan tersentuh dengan narasi dari Ayesha. Patut diakui, memang sugesti Ayesha kuat, kalimatnya dari hati senantiasa menguras emosi.

  Sehari setelah pengumuman kemenangan, para warga serta anak KoPi kembali ke pemakaman Ayesha, mengucapkan beribu terima kasih serta permintaan maaf karena selalu meremehkan cita-citanya. Pak Kepala Sekolah mewakili seluruhnya berkata, "Memang tubuh Ayesha terkubur di dalam tanah, tapi ... jasanya, semangatnya yang luar biasa, mengubah mindset kami yang selalu menyerah dan pasrah, menyuruh kami gerak jalan bukan jalan di tempat, akan selalu terkenang. Prestasi-prestasi, serta memperbaiki pemikiran kami tentang pendidikan, akan abadi."

Ayesha. Amerta. Abadi. Tak terganti.

Selesai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun