Dari sumber berita:Â
ResearchGate yaitu Jurnal Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan fase pendidikan awal yang sangat strategis dalam mendukung perkembangan anak di usia 0-6 tahun. Pada masa ini, anak mengalami pertumbuhan pesat dalam berbagai aspek, seperti fisik, kognitif, emosional, dan sosial.
 Penekanan pada pendidikan yang tepat di masa usia dini bukan hanya memberikan fondasi yang kokoh untuk masa depan anak, tetapi juga memainkan peran penting dalam pembentukan karakter, kemampuan berpikir kritis, dan keterampilan sosial mereka.
Namun, dalam dua tahun terakhir, muncul berbagai permasalahan yang berkaitan dengan bias gender dalam lingkungan PAUD. Anak-anak sering kali mengalami pengaruh stereotip gender yang ditanamkan melalui aktivitas pembelajaran, pilihan alat permainan, dan cara guru berinteraksi dengan mereka.Â
Bias gender ini tidak hanya menciptakan kesenjangan dalam kesempatan belajar, tetapi juga memengaruhi perkembangan mental dan emosional anak.
Menurut data yang dianalisis dari dokumen yang ada, penyusunan kurikulum berperspektif gender di PAUD masih kurang memadai, dengan skor hanya mencapai 48,83%, yang tergolong kategori tidak baik. Sebaliknya, pelaksanaan pendidikan berbasis gender sudah mulai menunjukkan perkembangan positif, dengan skor 60,17% yang tergolong baik.Â
Ketimpangan ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk mengintegrasikan kesetaraan gender dalam praktik sehari-hari, langkah strategis dalam perencanaan pendidikan masih perlu diperkuat.
Esai ini bertujuan untuk menganalisis masalah tersebut menggunakan teori perkembangan anak, seperti teori Piaget, Erikson, dan Vygotsky, serta menawarkan solusi untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan adil bagi anak usia dini.
Konteks Kasus Anak Usia Dini dalam Dua Tahun Terakhir
Isu bias gender di PAUD mencuat sebagai tantangan signifikan dalam dua tahun terakhir. Bias gender ini tampak jelas dalam aktivitas pembelajaran, di mana anak laki-laki dan perempuan diberikan peran yang berbeda berdasarkan stereotip tradisional.Â
Contohnya, anak laki-laki sering kali diarahkan untuk bermain dengan mobil-mobilan, robot, atau alat permainan yang mencerminkan peran maskulin, seperti polisi atau tentara. Sebaliknya, anak perempuan diarahkan pada aktivitas seperti bermain masak-masakan, mengasuh boneka, atau kegiatan lain yang mencerminkan peran domestik.
Kondisi ini diperburuk oleh fakta bahwa kurikulum di banyak PAUD belum dirancang dengan pendekatan yang benar-benar netral gender. Sebagai contoh, dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Harian (RPPH), guru sering kali membedakan aktivitas untuk anak laki-laki dan perempuan.Â
Dalam kegiatan tahunan seperti pawai, anak-anak juga cenderung diarahkan untuk memilih peran sesuai dengan stereotip gender mereka.
Selain itu, tantangan lain yang dihadapi adalah keterbatasan fasilitas dan sumber daya manusia. Banyak sekolah yang belum menyediakan alat permainan yang inklusif gender. Lingkungan rumah juga menjadi faktor penghambat, di mana pandangan konservatif orang tua tentang peran gender sering kali memengaruhi bagaimana anak-anak diperlakukan di sekolah.Â
Contohnya, warna merah muda sering kali diasosiasikan dengan anak perempuan, sementara warna biru untuk anak laki-laki. Pola pikir seperti ini menciptakan batasan psikologis bagi anak-anak sejak usia dini.
Analisis dengan Teori Perkembangan
Untuk memahami dampak bias gender pada perkembangan anak usia dini, kita dapat menggunakan tiga teori perkembangan utama, yaitu teori Piaget, Erikson, dan Vygotsky.
Teori Piaget:
Jean Piaget mengemukakan bahwa anak usia dini berada pada tahap praoperasional (usia 2-7 tahun). Pada tahap ini, anak memahami dunia melalui simbol dan permainan. Mereka membangun pemahaman tentang lingkungan mereka berdasarkan pengalaman sehari-hari. Dalam konteks bias gender, anak yang hanya diberikan mainan tertentu akan cenderung mengasosiasikan peran-peran tersebut dengan jenis kelamin mereka.Â
Misalnya, anak perempuan yang selalu bermain dengan boneka mungkin akan membangun persepsi bahwa peran keibuan adalah satu-satunya pilihan yang mereka miliki di masa depan.
Teori Erikson:
Menurut Erik Erikson, anak usia dini berada dalam tahap inisiatif versus rasa bersalah. Pada tahap ini, anak mulai menunjukkan rasa tanggung jawab, inisiatif, dan kreativitas. Jika anak merasa terbatas oleh stereotip gender, mereka mungkin akan mengembangkan rasa bersalah atau malu atas keinginan mereka.Â
Contohnya, anak laki-laki yang ingin bermain masak-masakan mungkin merasa malu karena dianggap tidak sesuai dengan norma sosial. Hal ini dapat menghambat perkembangan rasa percaya diri dan kreativitas mereka.
Teori Vygotsky:
Lev Vygotsky menekankan bahwa pembelajaran terjadi melalui interaksi sosial. Lingkungan sosial yang mendukung kesetaraan gender akan membantu anak memahami bahwa mereka memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi berbagai peran tanpa tekanan stereotip.Â
Guru dan teman sebaya menjadi agen utama dalam membentuk pemahaman anak tentang peran gender. Dalam lingkungan yang inklusif, anak-anak dapat belajar untuk menghormati perbedaan dan memahami pentingnya kesetaraan.
Tantangan Utama dalam Pendidikan Responsif Gender
Salah satu tantangan utama dalam penerapan pendidikan responsif gender adalah kurangnya kesesuaian antara kurikulum yang dirancang dan pelaksanaannya. Meskipun pelaksanaan pendidikan berbasis gender menunjukkan hasil yang lebih baik, penyusunan kurikulum masih jauh dari memadai.
Selain itu, stereotip gender sering kali diperkuat oleh lingkungan rumah dan masyarakat. Banyak orang tua yang masih memegang pandangan konservatif tentang peran gender. Pandangan ini sering kali diteruskan ke anak-anak melalui pilihan mainan, aktivitas, atau bahkan warna pakaian.
Dampak Bias Gender pada Perkembangan Anak
Bias gender yang tidak terselesaikan memiliki dampak negatif pada perkembangan anak usia dini.
Dampak pada anak laki-laki:
Anak laki-laki yang dibatasi pada aktivitas maskulin dapat merasa terbebani oleh ekspektasi sosial untuk selalu kuat dan tidak menunjukkan emosi. Hal ini dapat memengaruhi kemampuan mereka untuk mengekspresikan perasaan dan menjalin hubungan sosial yang sehat.
Dampak pada anak perempuan:
Anak perempuan yang diarahkan pada peran feminin sering kali merasa tidak percaya diri dalam bidang yang menuntut keberanian atau keterampilan teknis. Mereka mungkin merasa bahwa bidang ini bukan untuk mereka, meskipun memiliki potensi besar.
Dampak jangka panjang dari bias gender dapat membatasi anak-anak dalam mengeksplorasi potensi mereka secara penuh.
Solusi dan Rekomendasi
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah-langkah strategis:
Pengembangan Kurikulum yang Inklusif:
Kurikulum harus mencerminkan nilai-nilai kesetaraan gender. Aktivitas belajar dan bermain harus memberikan kesempatan yang sama bagi semua anak untuk mengeksplorasi berbagai peran.
Pelatihan Guru:
Guru perlu dilatih untuk memahami pentingnya pendidikan responsif gender dan cara menerapkannya dalam pembelajaran.
Kerja Sama dengan Orang Tua:
Orang tua perlu dilibatkan dalam program pendidikan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kesetaraan gender.
Penyediaan Fasilitas yang Netral Gender:
Sekolah harus menyediakan alat permainan yang tidak mendukung stereotip gender.
Kesimpulan
Pendidikan anak usia dini adalah fondasi penting dalam membentuk karakter dan pola pikir anak. Namun, bias gender yang masih ada di lingkungan PAUD dapat membatasi potensi anak dan memperkuat stereotip yang merugikan. Dengan pendekatan yang inklusif dan berbasis teori perkembangan, pendidikan responsif gender dapat membantu menciptakan lingkungan belajar yang lebih adil dan mendukung bagi semua anak.
Analisis berdasarkan teori perkembangan menunjukkan bahwa pendidikan responsif gender dapat membantu anak membangun identitas diri yang lebih sehat dan adaptif. Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama antara sekolah, guru, dan orang tua untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif. Dengan cara ini, kita dapat membangun generasi yang bebas dari batasan stereotip gender dan mampu berkontribusi secara maksimal dalam masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H