Menurut Erik Erikson, anak usia dini berada dalam tahap inisiatif versus rasa bersalah. Pada tahap ini, anak mulai menunjukkan rasa tanggung jawab, inisiatif, dan kreativitas. Jika anak merasa terbatas oleh stereotip gender, mereka mungkin akan mengembangkan rasa bersalah atau malu atas keinginan mereka.Â
Contohnya, anak laki-laki yang ingin bermain masak-masakan mungkin merasa malu karena dianggap tidak sesuai dengan norma sosial. Hal ini dapat menghambat perkembangan rasa percaya diri dan kreativitas mereka.
Teori Vygotsky:
Lev Vygotsky menekankan bahwa pembelajaran terjadi melalui interaksi sosial. Lingkungan sosial yang mendukung kesetaraan gender akan membantu anak memahami bahwa mereka memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi berbagai peran tanpa tekanan stereotip.Â
Guru dan teman sebaya menjadi agen utama dalam membentuk pemahaman anak tentang peran gender. Dalam lingkungan yang inklusif, anak-anak dapat belajar untuk menghormati perbedaan dan memahami pentingnya kesetaraan.
Tantangan Utama dalam Pendidikan Responsif Gender
Salah satu tantangan utama dalam penerapan pendidikan responsif gender adalah kurangnya kesesuaian antara kurikulum yang dirancang dan pelaksanaannya. Meskipun pelaksanaan pendidikan berbasis gender menunjukkan hasil yang lebih baik, penyusunan kurikulum masih jauh dari memadai.
Selain itu, stereotip gender sering kali diperkuat oleh lingkungan rumah dan masyarakat. Banyak orang tua yang masih memegang pandangan konservatif tentang peran gender. Pandangan ini sering kali diteruskan ke anak-anak melalui pilihan mainan, aktivitas, atau bahkan warna pakaian.
Dampak Bias Gender pada Perkembangan Anak
Bias gender yang tidak terselesaikan memiliki dampak negatif pada perkembangan anak usia dini.
Dampak pada anak laki-laki: