Kepulan asap hitam membumbung tinggi, bau daging hangus dan darah tercampur dengan bau mesiu tercium sangat menyengat, suara yang memekakan telinga tak henti-henti terdengar bercampur dengan teriakan menggebu serta erangan yang menyakitkan saling bersautan.
Ini adalah perang.
Perang atas nama harga diri.
Perang demi kemerdekaan yang sudah di depan mata.
Ini adalah perang, Â seperti perang lainnya : selalu ada jiwa yang terlepas dari raganya di manapun ia berpihak.
Selalu ada tangis di dua sisi yang belawanan.
Tetapi apa yang lebih berarti dari kemerdekaan dan apa yang lebih menggiurkan dari kekuasaan ?
Apa yang lebih kokoh dari harga diri dan apa yang lebih kuat dari harta?
Semua itu jadi alasan untuk mengorbankan jiwa demi astinapura, kan?
Dalam hati seorang pemuda 25 tahunan berbicara sambil menyeka tangannya yang berlumuran darah dengan baju yang sudah tak diketahui lagi warnanya. Ia berdiri dari duduk setelah menangani seorang pejuang yang terluka di dada. Ia berusaha menolong orang yang sendikit lebih tua darinya, tapi itu percuma saja karena jantungnya pasti rusak terkena peluru tentara musuh.
Ia berjalan menjauh walau sang pejuang masih bernapas, "Dokter!!? kenapa kau tinggalkan temanku? Tolong dia Dokter!!" Temannya berteriak, berlari mengejar sang pemuda kurus.
"Temanmu tak bisa tertolong, dia ditembak di jantung dari jarak dekat" Kata yang dipanggil Dokter itu datar.
"Tapi dia masih bernapas-"
"Terus ?, Apa itu menaikan harapan hidupnya?" ia tersenyum lembut, Â tapi untuk orang yang berada dihadapannya senyum itu senyum datar tak berperasaan. "aku bukan dewa yang bisa membuat semua selamat. Jadi aku akan membiarkan orang yang tak punya harapan, untuk membuatku punya waktu menyelamatkan yang punya harapan lebih tinggi."
"Tapi Ra-"
"Raden Batara, apa kau bebas?" seorang gadis cantik tiba-tiba datang dengan napas tersengal akibat berlari. Batara menoleh ke arah gadis itu, Â bertanya dengan mata coklat keabuannya. "Qi dari Palang Biru membawa pejuang yang terluka parah."
"Huaw Qi? Dia sudah kembali?" tanya pria yang tingginya lebih dari 170 cm itu, perawakannya tinggi besar. Wajahnya sekilas mirip orang belada.
"Ya. Dia kembali dengan membawa pasien, kalau Raden bebas dia ingin raden yang memerisaknya." Jelas wanita cantik itu.
Batara mengangguk. " sekarang dia di mana?"
"Tunggu!!, Bagaimana dengan temanku!?" Pria yang tadi berbicara itu rupanya tak menyerah. "Kau tidak  melakukan apapun padanya."
"Karena tidak ada yang bisa dilakukan untuknya. Berdoalah agar rasa sakit tidak terlalu lama ia rasakan." Kata-kata itu tidak ada niat buruk yang terselubung, hanya saja orang mendengarnya akan mengartikannya lain.
Dan itulah yang pria berkulit gelap pikirkan. "Dasar darah belanda!! Untuk apa kau di sini!?"
"Mas, jangan bicara seperti itu!" Wanita  yang berada ditengah dua pria menegur. "Nanti aku panggil dokter Weng Zi ke sini untuk menolong mas Danu."
"Hai,, Qi di mana dia?" Batara yang sudah berjalan agak jauh, bertanya dengan tenang pada gadis yang seharusnya mengantarnya pada pasien yang ia bicarakan tadi. Pria tinggi itu tak peduli dengan kata-kata pria yang lebih pendek darinya, Walau kata-kata itu untuk menghinanya. Yang ia pikirkan adalah apakah ia bisa menolong orang yang di bawa sahabat baiknya itu, atau ia akan berkata kejam lagi seperti tadi?
"Ah, dia ada di barat, di tenda ke 3. Aku antar Raden Batara?"
"Tidak usah, kau panggil dokter lain ke sini saja." Batara berjalan ke  arah barat lapang yang penuh dengan orang terluka, perawat dan mayat yang belum dipindahkan. Ini adalah garis belakang medan perang yang digunakan palang merah untuk menarik pejuang yang terluka dengan pasukan rakyat tionghoa, palang biru yang bertugas untuk ke garis depan dan menarik para pejuang ke garis belakang.
Ini adalah perang untuk bertahan, tapi ia tak suka. Ya, Tak seorang pun suka perang namun baginya lebih berat. Ayahnya adalah seorang keturunan bangsawan, ia memiliki gelar bangsawan maka Batara bisa sekolah di sekolah Belanda di tambah ibunya adalah anak dari Belanda. Kakeknya adalah Belanda, nenek dari ibu Jawa asli. Itulah kenapa  tubuhya lebih tinggi dari orang jawa lain, juga wajahnya sedikit keeropaan.
Itu membuatnya sulit diterima warga lokal. Ia diragukan, waktu kecil juga sering diejek oleh anak-anak di  sekitar rumah neneknya. Ia juga diejek di sekolah karena batara adalah warga lokal, walau tidak seratus persen.
Hidupnya adalah buah simalakama.
"Xiao Qi!" Batara menyapa seorang prajurit yang memakai seragam berbeda dengan pejuang lain. Seorang pemuda bertubuh kecil tapi berotot, wajahnya sangat oriental, matanya seperti garis lurus. Batara tak yakin apa dengan mata segaris itu bisa melihat dengan baik?
Qi, tersenyum saat tahu Batara datang, "Hai, Dokter Batara." dahi Batara sendiki mengerut, ia tak suka saat sahabat baiknya itu menyebut gelarnya. Lagi pula itu hanya untuk mengejek, balasan karena memanggilnya Xiao, yang aslinya digunakan untuk orang yang lebih tua pada anak-anak.
"Mana pejuang yang kau bawa?" pemuda tinggi itu bertanya ketika ia sudah berhadapan dengan Qi.
Qi menujuk ke arah dalam tenda dengan ibu jarinya. "di bangsal 4, ayo. Kelihatnya cuma tertembak di paha tapi  darahnya banyak sekali keluar."
Qi dan Batara masuk ke dalam tenda yang terbuat dari karung beras yang dijahit persegi lalu dipasang di kerangka bambu. Itu cukup untuk melingdungi para prajurit yang luka berat dari panas matahari.
Batara mengernyit saat melihat keadaan prajurit Peta itu. Prajurit itu memang hanya tertembak di paha tapi ia mengeluarkan banyak darah dan terlihat lemas, wajahnya pucat.
"Panggil  Perawat ke sini, dan bawakan obat-obatan Qi !!," Batara langsung bertidak, ini punya harapan, prajurit ini masih punya harapan asal pendarahannya bisa dihentikan. Ia akan berusaha keras menyelamakannya.
Qi, langsung pergi memanggil para relawan gadis-gadis yang menjadi tim medis, tak banyak dokter  di tim palang merah, kebanyakan perawat yang hanya bisa membalut luka saja, sementara ilmu kedokter hanya bisa didapat oleh seorang belanda atau bangsawan yang diakui keraton dekat dengan inggris. Dan, ya. Batara adalah keduanya.
Qi, datang kembali dengan obat-obat yang sedikit, para gadis yang disuruh membantu tiba di sana lebih dulu. "obat-obatan sudah habis, komandan palang biru menyuruhku mengambil pesedian di kereta palang merah. Kau harus ikut sebagai anggota palang merah."
"Hah? Aku kan harus mengobati para prajurit dan pejuang?"
"Ya, tapi tidak ada anggota PMI yang bebas. Lagipuala dia hanya butuh dibalut kan? "
"Kau pikir ini Cuma luka sayatan", Batara merengut tak terima, ia memberi isyasarat pada perawat agar menggantikannya.
"ayo lah, hanya kau yang bisa aku ajak." Batara tahu Qi tidak punya kenalan di palang merah, Qi adalah tipe tertutup pada orang asing, Ia hanya akan berbicara seadanya namun jika sudah dekat Qi bisa jadi lebih dari saudara yang akan membelamu.
"baiklah, kita harus ke mana?" tanya Batara sambil mendekati pemuda Tionghoa yang lebih kecil darinya itu, Â Qi tersenyum.
"kita ke jalan kereta arah malang, Statsiun akan di awasi tentara musuh. Jadi mereka hanya melakukan perjalanan ke sini dan berherti di tengah jalan."Qi menjelaskan sambil berjalan keluar tenda diikuti Batara  di belakangnya. "Kita akan memakai kendaraan Palang Biru. Kau punya tanda palang merah, kan?"
"tentu." Batara mengangguk, hanya butuh waktu dua menit berjalan untuk sampai di depan mobil militer gagah, dengan atap terbuka  buatan Jerman.
Batara menaiki kursi pernumpang dengan mudah berbeda dengan Qi yang harus melompat sedikit kalau menaiki kursi sopir, mobil itu  memang didesain untuk orang eropa yang tinggi. "Qi, bisa sampai ke gas?"
"maksudmu?", Qi merengut sebal. "kami sudah memodifnya, kau tahu?, Dan kau sendiri bisa mengedarainya?" tanya Qi dengan nada meremehkan, pemuda kecil itu tahu kalau Batara tidak pernah  mengedarai apa pun. Bahkan kuda pun yang seharus wajib untuk keluarga bangsawan.
"tidak." Qi tersenyum kecil atas jawaban singkat teman sama sekolah Belandanya. Qi tidak suka bersekolah di sekolah Belanda karena selalu di perungdung sebagai anak tionghoa, Â ia selalu di ejek.
Qi selalu ingin pindah ke sekolah Tionghoa tapi orangtuanya mau ia jadi dokter, dokter modern yang hanya bisa di dapat oleh  orang kaya sekelas bangsawan dan jika lulus dari sekolah Belanda.
Qi bertemu Batara di sekolah Belanda, anak bangsawan pribumi yang juga sering menerima perungdungan. Batara memang bertubuh besar namun ia tak melawan. Bukannya pengecut, hanya saja jika melawan siapa yang akan membelanya?, Batara adalah orang yang realistis. Ia dapat memikirkan sesuatu yang mengutungkan, Â akan tapi bagi Qi itu sesuatu hal pengecut.
Batara Cayanata, cahaya bintang yang berwibawa arti nama yang sangat menganggumkan bukan?
"hai, jika perang ini selesai. Dan dunia mengakui kemerdekaan kita apa yang akan kau lakukan?" tanya Qi sembari mengemudi.
"kembali ke Belanda." Jawaban singkat Batara membuat Qi menolehkan kepala dan mengerutkan halis tipisnya.
"untuk?" tanya Qi, lagi.
"gelar dokter, aku belum selesai dengan pendidikan ku di sana. Aku ke sini hanya untuk menengok ayah setelah tahu Jepang kalah", Jawab Batara, setahun sebelum Jepang datang ke Indonesia ia melanjutkan pendidikannya di Belanda. Batara di sayang kakek Belandanya, jadi ia diberi kesempatan pergi ke negara asal kakeknya. Batara mengambil ilmu kedokteran di sana.
Saat Belanda kalah oleh Jepang, ia tak diperbolehkan oleh kakeknya pulang karena cukup berbahaya darah campuran berada di daerah perarlihan kekuasaan, kau bisa dianggap musuh oleh kedua belah pihak, jadi empat tahun Batara tak pernah pulang kampung. "kau sendiri?"
Qi tersenyum malu, "menikah..."
Batara hampir saja mematahkan tulang lehernya karena menoleh terlalu cepat, wajahnya  terkejut sesaat  lalu senyum di bibirnya muncul. "katakan dengan siapa? "
"Shion Fu, sebenarnya kami akan menikah dua bulan lagi", Qi membelokan sedikit mobil yang ia kendarai, sekarang mereka masuk ke hutan. "tapi, karena perang ini, aku dikirim ke sini, jadi kami mudurkan tiga  bulan."
Batara menghela napas, ia kembali melihat ke depan. "kenapa kau tidak menikah saja dan berhenti jadi pahlawan, Kau Tionghoa, tak ada yang akan mengakuimu sebagai pahlawan."
Qi, tersenyum sendu, ia tahu sifat Batara yang satu ini, bukan berarti dia pengecut hanya saja Batara realistis, dia akan jadi pahlawan jika tidak akan menjadi sia-sia. "tahu? Aku tidak butuh pengakuan dari semua orang, aku berperang atau menolong orang terluka dengan harapan akan masa depanku, anakku. Aku tidak melakukannya untuk orang lain, aku ini egois."
Batara mendengus remeh. "kalau kau mati tidak ada masa depanmu, Anakmu tidak akan pernah lahir." Ujarnya sarkarsis.
Qi, mengangkat bahu, senyumnya menjadi lembar. "kalau aku mati, setidaknya aku berusaha untuk hidup di masa depan karena kematian bukan urusan manusia, karena itu jika kematian bukan urusan kita maka hidup adalah hak kita. Semua pilihan ada di tangan kita, itulah manusia harus berjuang untuk  hidup di masa depan, ku pikir itulah kehendak tuhan?"
Qi dan Batara, sudah melihat kereta uap milik Palang Merah, mobil yang Qi kendalikan berherti jauh dari kereta itu. "kau seperti orang bijak saja." Ucap batara sambil turun dari mobil.
"kau sendiri? Kenapa di sini ?", ujar pemuda Tionghoa itu yang kini berjalan di samping Batara, Mereka menuju kereta yang dijaga beberapa orang dengan persenjataan minimal.
"Aku Dokter Palang Merah, ini adalah tugasku. Aku menolong orang karena itu tugas dokter." Inilah kenapa Batara bukan seorang pengecut, ia memang tidak mau berperang karena itu bukan tugasnya.  Ia akan patuh pada aturan apa pun dan siapa pun pembuatnya, namun ia  akan menolongmu jika terluka walau hal itu melanggar aturan karena ia adalah seorang Dokter.
Qi dan Batara berbicara pada petugas Palang Merah, bahwa mereka butuh obat-obatan dan lainnya untuk area mereka. Selang tidak berapa lama, Batara diperbolehkan masuk gerbong yang memuat banyak obat-obatan dan alat kesehatan. Sementara Qi menunggu di luar gerbong, bersadar dekat pintu masuk.
Batara, diantar salah seorang relawan Palang Merah, pemuda tinggi itu mengambli beberapa obat dan perban, baru saja di dalam kereta selama tiga menit namun Batara mendengar keributan, suara-suara teriakan dan tembakan begitu jelas.
"Kita diserang tentara musuh!!", teriak Qi sambil masuk ke dalam Kereta. Batara terdiam terhenyak, ia tak pernah berada di medan perang sebelumnya, ia takut. Ya, takut. Ini adalah tugas palang merahnya yang pertama di tengah medan perang. Di atas kertas seharusnya apapun yang berlambang palang merah tak boleh di serang, tak boleh diganggu. Tapi ini bukan di atas kertas, ini adalah medan perang, Siapa perduli kertas putih yang mudah terbakar habis itu?
Para relawan kalang-kabut menerima serangan yang mendadak dan membabibuta. Semua masuk ke dalam kereta sesegera mungkin. Para prajurit yang punya sentaja melongo dari pintu gerbong, menembaki tentara musuh.
"ada yang bisa bahasa inggris!!", teriak salah seorang relawan palang merah. "mungkin mereka tak tahu kita palang merah!".
Konyol, meraka pasti melihat lambang palang merah yang tercetak besar di gerbong ketiga kereta. Tak mungkin mereka tak tahu.
"sial, aku tak bawa banyak peluru". Qi mengeluh sambil terus menembak keluar dari pintu gerbong yang berisi obat-obat. Batara tak bisa gerak untuk beberapa saat, tapi segera tersadar dan mendekat ke arah Qi yang sedang sibuk menembaki musuh yang sedang menuju kereta.
"Hai Qi, Aku bisa bahasa Inggris, mungkin kita bisa bernegosiasi dengan mereka" Sahut Batara, mengajukan diri.
Qi berdecap kesal, ia sibuk membidik salah seorang tentara yang mencoba mendekati kereta, "Kau pikir mereka tidak tahu kalau ini adalah milik palang merah." Kata pemuda sipit itu sambil memasukan peluru ke dalam senapannya, ia lalu membidik keluar lagi.
"tapi, bagaimana kita bisa menang? Dengan senjata terbatas dan prajurit yang sedikit, mungkin mereka hanya butuh obat-obatan untuk teman mereka. " balas Batara. Qi berpikir sejenak, apa yang dikatakan sahabatnya benar. Mereka tidak punya kesempatan menang dalam perlawanan ini hanya dengan senjata yang seadanya dan orang-orang yang minim pula. Harus ada taktik pintar untuk menghindar, karena ini bukanlah batalion tentara yang harus menghadapi musuh sampai mati tapi tim medis yang harusnya dilindungi oleh kedua pihak.
Qi, harus cari cara aman untuk mengusir musuh atau lari.
"Aku punya rencana," ujar Qi, Ia menoleh ke arah relawan yang tak jauh dari Batara, "katakan, siapa ketua atau komandan untuk kereta ini."
Relawan bertubuh kecil dan berkulit coklat itu menyahut dengan suara kecil, ia memberi tahu siapa yang  mengomandoi kereta ini. Qi berkata ia punya rencana dan meminta tolong pada relawan itu untuk memberitahunya dapa komanda kereta ini.
Pemuda kecil berkulit coklat itu menyalakan radio komunikasinya. Ia berbicara sebentar pada orang semberang sana lalu memberinya pada Qi. Pemuda keturunan Tionghoa itu menerima alat komunikasi itu dan berbicara pada orang yang mengomandoi kereta palang merah. Ia katakan apa yang ada dalam rencananya dan butuh kerja sama dari prajurit lain yang berada di kereta ini.
Qi tersenyum puas setelah rencananya diterima. "lakukan apa yang kau mau, Batara." Ia melirik pemuda jangkung itu. "ayo, bernegosiasi hingga kereta ini siap berjalan. Aku akan melindungimu, jika mereka memang hanya butuh obat-obatan kita bisa membaginya. Tapi jika mereka menyerang kita akan pergi dari sini." Batara tak mengerti rencananya.
Kereta uap adalah transportasi paling lambat apalagi saat mulai, kau bisa mengejarnya dengan berjalan saja. Butuh waktu beberapa menit untuk mencapai kecepatan yang lebih tinggi dari orang berlari.
Tapi Batara tak mau ambil pusing, tidak, ia percaya saja pada sahabatnya. Batara tinggal meyakinkan tentara musuh bahwa mereka hanya tim medis yang siap menolong siapapun.
Pikir Batara, polos.
Qi berdiri di bibir pintu gerbong, memberi isyarat agar Batara berdiri di depan pintu saja tak usah turun dari kereta.
Batara berjalan pelan menuju pintu gerbong dengan tangan di atas. Ada prajurit mantan PETA di samping kirinya. sendangkan Qi bersiap di bibir pintu samping kanannya, dalam posisi siap tembak.
Bahasa Inggris Batara tak selancar bahasa Belandanya tapi untuk percakapan formal cukup bagus, ia berteriak dengan kosakata Inggris asli bukan kosakata Amerika.
Salah satu prajurit Inggris maju dengan tangan di atas kepala, tanda ia menerima tawaran negosiasi. Tentara Inggris itu berbicara dengan logat unik, Batara hampir tak mengerti sebagian kata-katanya.
"intinya dia tidak percaya kalau ini milik palang merah." Jelas Batara, mencoba menerjemahkan apa yang dikatakan sang tentara Inggris. Qi berdecap kesal. "aku akan berusaha meyakinkannya."
Qi, tak mengerti, apa yang membuatnya begitu cemas saat batara kembali berbicara dengan tentara inggris. Namun saat ia  melihat dua orang tentara musuh berlari dari arah samping kereta menuju arah mereka dengan senjata ke arah batara, pemuda tionghoa itu dengan cepat menarik batara ke belakangnya.
Batara tak tahu apa yang terjadi, Qi sekarang berada di depannya. "kita berangkat!" ucap pemuda kecil itu keras pada radio komunikasi yang masih di tangannya.
Kereta itu bergerak perlahan. Qi menembak salah seorang dari kedua tentara Inggris itu dengan tepat, satu roboh. Qi dengan cepat mengarahkan senjata pada satu orang lagi, sialnya. Senjata apinya kosong.
Laju kereta makin cepat. Batara tak bisa bergerak, suara-suara tembakan memaku kakinya. Tubuh qi bergetar  seiring suara tembakan.
Qi oleng, tapi masih bisa menegakan tubuhnya. Ia mengisi kembali senjatanya dan menebakannya ke arah tentara yang masih mengejar kereta, kena kaki. Si tentara inggris berguling-guling kesakitan.
"Qi," pelan. Batara memanggil dengan suara hilang, tenggorokkannya terasa sakit. Lengannya terangkat: berusaha menangkap tubuh yang condong ke depan. "QI!!"
Teriakkan pilu itu membuat batara bisa merasakan kekuatan. Meraih pakaian belakang Qi dan menariknya yang hampir terjerembak jatuh ke luar gerbong.
Batara menarik Qi sampai dirinya terjatuh. Tubuh pemuda Tionghoa itu terkulai lemah, napasnya cepat, tersengal-sengal.
Batara bangun dan segera memeriksa tubuh teman baiknya itu. Tapi lalu terdiam. Pandangannya mengabur..
Qi tertembak di dada, ada lima lubang yang Batara lihat. Tiga tepat di tempat jantung berada.
Pemuda jawa itu tahu kalau sahabatnya tak bisa bertahan, namun ia meraih tubuh Qi dan melakukan pertolongan. "Qi! Bertahanlah! Xiao Qi!" tangannya berusaha menghentikan pendarahan di dada sahabatnya. Tapi tentu tak berguna.
Laju kereta makin cepat, saat batara meracau tak jelas. "bukankah kau akan menikah?" katanya, dengan parau. "kau tega? Calon istrimu akan menangis, kau tahu?" lanjutnya. Tenggorokannya sakit, sakit sekali bagai ada jarung di sana. "kumohon, kumohon bertahanlah."
Air mata turun tanpa ada isakan, pipinya sudah basah.
Seharusnya ia lah yang tertembak, tak masalah walau ia yang mati.
"Ba... ta... ka... u... ma... meni....kahi... shi... fu.." Qi tersenyum dalam kesakitan, niat bercanda. "hai... hah... hah.... jang... an... me... nang...is."
Batara berhenti melakukan tindakan pertolongan, ia tahu itu sia-sia. "Qi," panggilnya pelan.
Qi makin tersengal, napasnya berat.
Batara merasakan temannya melihat sesuatu yang menganggungkan di atasnya.
Dalam senyum, Qi menarik napas. hembusannya terasa dingin di wajah Batara, kilau matanya pelahan pudar.
Batara memeluk tubuh itu. Â Wadah tanpa isi.
Tangisnya pecah tanpa suara. Getar tubuhlah yang menandai betapa dalam kesendih batara.
Beberapa tahun kemudian.
Batara sedang duduk di kursi ruang tengah rumahnya yang berada di sebuah desa kecil di Belanda, ia sedang membaca koran paginya.
Halaman pertama koran itu memuat tentang pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menjadi sorotan dunia.
Batara tersenyum sinis pada berita-berita itu.
"Qi, untuk apa kau mati, huh? dan pejuang lainnya? bahkan setelah dunia mengakui Kemerdekaan. Kemerdekaan dengan korban begitu banyak mereka tidak puas, dan melupakan betapa sulitnya bicara, dulu., mereka dulu hanya dianggap keset oleh Belanda, tapi mereka tak puas dengan negara yang di bentuk dengan darah ayah dan kakek mereka. Mereka bertempur lagi. Melawan saudara sendiri, dengan mudahnya mengumandangkan perang hanya karena ego kelompok."
Â
Â
Â
Catatan penulis.
Â
Palang Biru adalah organisasi yang didirikan oleh siauw giok tjahn, pejuang keturunan tionghoa, ia juga pendiri pejuang muda tionghoa. Namun oleh orde baru ia dianggap pki, ia meninggal diluar negeri karena sakit setelah jadi tahanan politik.
Setting perang di sini adalah perang Surabaya 10 noveber 1945.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H