Pemuda jawa itu tahu kalau sahabatnya tak bisa bertahan, namun ia meraih tubuh Qi dan melakukan pertolongan. "Qi! Bertahanlah! Xiao Qi!" tangannya berusaha menghentikan pendarahan di dada sahabatnya. Tapi tentu tak berguna.
Laju kereta makin cepat, saat batara meracau tak jelas. "bukankah kau akan menikah?" katanya, dengan parau. "kau tega? Calon istrimu akan menangis, kau tahu?" lanjutnya. Tenggorokannya sakit, sakit sekali bagai ada jarung di sana. "kumohon, kumohon bertahanlah."
Air mata turun tanpa ada isakan, pipinya sudah basah.
Seharusnya ia lah yang tertembak, tak masalah walau ia yang mati.
"Ba... ta... ka... u... ma... meni....kahi... shi... fu.." Qi tersenyum dalam kesakitan, niat bercanda. "hai... hah... hah.... jang... an... me... nang...is."
Batara berhenti melakukan tindakan pertolongan, ia tahu itu sia-sia. "Qi," panggilnya pelan.
Qi makin tersengal, napasnya berat.
Batara merasakan temannya melihat sesuatu yang menganggungkan di atasnya.
Dalam senyum, Qi menarik napas. hembusannya terasa dingin di wajah Batara, kilau matanya pelahan pudar.
Batara memeluk tubuh itu. Â Wadah tanpa isi.
Tangisnya pecah tanpa suara. Getar tubuhlah yang menandai betapa dalam kesendih batara.