Review Artikel Dampak Pernikahan Dini dan Problematika Hukumnya Karya Muhammad Julijanto
Â
Pernikahan dini sangat rentan perceraian. Bila kita melihat fakta pernikahan pascahamil: Jumlah terus bertambah, Banyak menimpa anakanak sekolah Sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA). Pelaku rata-rata teman dan pacarnya, pasangan suami-istri dari penikahani ni terancam kerawanan masalah sosial ekonomi, Masa depan keluarga(anak dan istri) suram karena putus sekolah. Rentan perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Bagi keluarga pelaku(suami), pernikahan dispensasi hanya jadi upaya lari dari jeratan hukum.Bagi keluarga korban (perempuan),
Pernikahan dini yang terjadi adalah akibat kecelakaan dalam pergaulan dan munculnya pergaulan bebas generasi muda. Dampak pernikahan dini menyebabkan kualitas rumahtangga tidak berada dalam performa yang unggul baik dari kesehatan reproduksi, kesiapan psikologis maupun ekonomi keluarga, sehingga membawa dampak rentan terjadi perceraian, dan terlantarnya kualitas pendidikan anaknya. Emosi belum stabil dalam menyelesaikan masalah rumah tangga yang silih berganti. Kematangan psikologis kurang, cara penyelesaian masalah kurang berpikir. panjang, melakukan pekerjaan rumah tidak maksimal. Revisi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya tentang batas usia perkawinan. Sehingga ada kesamaan dalam segala peraturan perundangundangan yang mengatur tentang batas usia perkawinan.
review artikel Agenda Demokrasi dan Perubahan Sosial di Indonesia
Penyimpangan akidah adalah kemungkaran yang harus dicegah agar tidak merusak ajaran pokok standar. Selama ajaran tersebut menyimpangkan dari ajaran pokok suatu agama atau mengadopsi ajaran agama tertentu, maka dikatakan sebagai penyimpangan. Dan kasus tersebut akan menjadi persoalan bagi pemilik ajaran agama tersebut, kecuali mengklaim diri keluar dari kerangka ajaran agama yang sudah ada atau mendirikan sendiri.
Agama mengajarkan kedamaian dan mewujudkan kesejahteraan,Karena ajaran agama berusaha membimbing manusia kepada puncak kemanusiaan, yaitu suatu sikap perilaku, perbuatan yang selalu mendatangkan manfaat akan adanya dunia. Agama berfungsi mencerahkan keyakinan sebelumnya cenderung sesat, menuruti hawa nafsu. yang
Selama tahun 2008 hingga 2010 keberagamaan secara nasional mengalami pasang surut dari waktu ke waktu kadang agresifitas keberagamaan dalam mencari dan menambah pengikut dengan semakin gencar seperti kampanye menjelang pemilu, kadang agresifitas menuntut ekspansi menambah umat semakin getol dilakukan kelompok agama tertentu.
Dimana setiap agama mempunyai mekanisme sosial yang sebagai wujud distribusi ekonomi dari yang mampu kepada yang tidak mampu. Dari yang kaya kepada yang miskin
Hal tersebut membawa implikasi beragama yang menyejahterakan, karena dengan kesadaran keberagamaannya seseorang rela dan ikhlas semata- mata sebagai pengabdian dan ketundukan kepada sang Kholiq Allah Swt untuk berderma dan merasakan bahagianya orang yang menderita dapat bantuan dan pertolongan dari saudaranya yang seiman dan lain sebagainya.
Persoalan antitoleransi dan antipluralisme yang semakin menguat bukanlah semata-mata persoalan teologis. Kehidupan beragama tidak hanya dipengaruhi oleh iman dengan kitab suci, tetapi banyak dipengaruhi oleh banyak factor riil, seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Akar antitoleransi harus dicari untuk segera diselesaikan. Penuntasan antitoleransi menjadi penting di tengah kehidupan rakyat yang semakin tersudut akibat terampasnya hak-hak public mereka oleh para elitnya.
Alquran dapat dipandang sebagai kitab apapun tergantung dari sudut pandang yang digunakan. Karena itu orang akan sangat mudah menemukan dalil Alquran yang menyerukan kasih sayang atau kekerasan.
Semua sikap hidup dalam beragama dapat dicarikan pembenarannya dalam Alquran yang terpenting memahami Alquran butuh kejujuran nalar dan nurani. Alquran sebagai tuntunan hidup tidak hanya mengurus persoalan teologis, tetapi juga memandu hidup dalam kondisi riil, karena itu berbagai persoalan hidup bersama tidak perlu dipandang dari sisi teologis saja, tetapi juga dalam tataran empirik yang juga memiliki acuan dalam Alquran.
1. Berikut beberapa pengertian sosiologi hukum menurut para ahli:
* Soerjono Soekanto: sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris yang menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya
* Satjipto Rahadjo: sosiologi hukum adalah pengetahuan hukum pada pola perilaku masyarakat dalam konteks sosialnya.
* R. Otje Salman: sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis
*. H.L.A. Hart: tidak mengemukakan tentang definisi sosiologi hukum, namun hanya mengungkapkan bahwa suatu konsep tentang hukum yang mengandung unsur-unsur kekuasaan yang terpusatkan kepada kewajiban tertentu didalam gejala hukum yang tampak dari kehidupan bermasyarakat. Menurut Hart, inti dari suatu sistem hukum terletak pada kesatuan antara aturan utama (primary rules) dan aturan tambahan (secondary rules)
2. pengertian sosiologi hukum secara umumÂ
Sosiologi hukum adalah merupakan suatu disiplin ilmu dalam ilmu hukum yang baru mulai dikenal pada tahun 60-an. Kehadiran disiplin ilmu sosiologi hukum di Indonesia memberikan suatu pemahaman baru bagi masyarakat mengenai hukum yang selama ini hanya dilihat sebagai suatu sistem perundang-undangan atau yang biasanya disebut sebagai pemahaman hukum secara normatif.
Â
3. kasus Saiful Jamil yang dipidana akibat kelalaiannya dalam mengemudi kendaraan roda empat di jalan tol Cipularang, Jawa Barat yang mengakibatkan istrinya Virginia Anggraeni, korban dalam kecelakaan tersebut meninggal dunia
4. Pemikiran Hukum Emile Durkheim, Aliran Pemikiran Positivisme
Pemikiran Emile Durkheim yaitu kepercayaan dan ritual agama. Dalam pemikiran ritual agama, Emile Durkheim menyebutkan bahwa ritual agama seperti upacara adat yang memiliki hubungan antara manusia dan makhluk sakral. Sedangkan pemikiran kepercayaan Emile Durkheim menyatakan bahwa kepercayaan adalah suatu kemampuan yang dianut seseorang kepada sesuatu yang dihormati. Sedangkan aliran pemikiran positivisme terjadi ketika suatu peristiwa dapat terjadi dan mencari sebab atau bukti kenapa suatu peristiwa dapat terjadi, hal ini terjadi karena untuk meningkatkan kreatifitas seseorang dalam kehidupannya.
5. review buku "sosiologi hukum" karya Prof. Dr. H. Zainudin Ali, M.AÂ
Hukum sebagai social engineering berkaitan dengan fungsi dan keberadaan hukum sebagai pengatur dan penggerak perubahan masyarakat, maka interpretasi analogi Pound mengemukakan "hak" yang bagaimanakah seharusnya diatur oleh hukum, dan "hak-hak" yang bagaimanakah dapat dituntut oleh individu dalam hidup bermasyarakat. Pound mengemukakan bahwa yang merupakan "hak" itu adalah kepentingan atau tuntutan-tuntutan yang diakui, diharuskan dan dibolehkan secara hukum, sehingga tercapai suatu keseimbangan dan terwujudnya apa yang dimaksud dengan ketertiban umum
kasus Saiful Jamil yang dipidana akibat kelalaiannya dalam mengemudi kendaraan roda empat di jalan tol Cipularang, Jawa Barat yang mengakibatkan istrinya Virginia Anggraeni, korban dalam kecelakaan tersebut meninggal dunia
4. Pemikiran Hukum Emile Durkheim, Aliran Pemikiran Positivisme
Pemikiran Emile Durkheim yaitu kepercayaan dan ritual agama. Dalam pemikiran ritual agama, Emile Durkheim menyebutkan bahwa ritual agama seperti upacara adat yang memiliki hubungan antara manusia dan makhluk sakral. Sedangkan pemikiran kepercayaan Emile Durkheim menyatakan bahwa kepercayaan adalah suatu kemampuan yang dianut seseorang kepada sesuatu yang dihormati. Sedangkan aliran pemikiran positivisme terjadi ketika suatu peristiwa dapat terjadi dan mencari sebab atau bukti kenapa suatu peristiwa dapat terjadi, hal ini terjadi karena untuk meningkatkan kreatifitas seseorang dalam kehidupannya.
5. review buku "sosiologi hukum" karya Prof. Dr. H. Zainudin Ali, M.AÂ
Hukum sebagai social engineering berkaitan dengan fungsi dan keberadaan hukum sebagai pengatur dan penggerak perubahan masyarakat, maka interpretasi analogi Pound mengemukakan "hak" yang bagaimanakah seharusnya diatur oleh hukum, dan "hak-hak" yang bagaimanakah dapat dituntut oleh individu dalam hidup bermasyarakat. Pound mengemukakan bahwa yang merupakan "hak" itu adalah kepentingan atau tuntutan-tuntutan yang diakui, diharuskan dan dibolehkan secara hukum, sehingga tercapai suatu keseimbangan dan terwujudnya apa yang dimaksud dengan ketertiban umum.
Bila diperhatikan apa yang dimaksud dengan "hak" oleh Pound, akan terlihat adanya kaitan yang erat antara "hak" dengan jural postulates sebagaimana yang dikemukakan oleh Kohler. Â Kebijaksanaan untuk menyusun dalil-dalil keamanan dimaksud, terletak pada kreasi pengadilan dengan melakukan interpretasi yang selalu memperhatikan perkembangan norma-norma dan nilai-nilai tentang "kepentingan umum" dan "keamanan umum" yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, sehingga terwujud suatu "keseimbangan kepentingan", di satu sisi kepentingan individu dan masyarakat untuk terpenuhi "haknya", di sisi lain kepentingan political institution (maksudnya pemerintah) sebagai lembaga yang terwujud dari kelompok-kelompok individu, untuk menjaga "keamanan umum" dari kepentingan-kepentingan sosial dalam kehidupan individu manusia yang terwujud dari adanya kehidupan bersama di dalam suatu individual human life. Selanjutnya, uraian Pound tentang interpretation yang terlihat dari adanya temuan-temuan norma dan nilai yang telah dilakukan oleh para pemikir dan penulis ilmu pengetahuan tentang hukum, perlu diperhatikan oleh para praktisi hukum dengan melakukan apa yang disebutnya interpretasi analogi, demi terwujudnya ide hukum, yaitu "keseimbangan".
Identitas BukuÂ
Judul buku     : Sosiologi hukum kajian empiris terhadap pengadilan
Penulis        : Ahmad Ali & wiwie HeryaniÂ
Penerbit       : Kencana. 2012.0362
Tahun Terbit    : 2012
Jumlah hal      : 355 hal
ISBN Â Â Â Â Â Â Â Â Â : 978-602-9413-11-3
Isi BukuÂ
Tiga Pendekatan dalam Ilmu Hukum
Seperti yang sekilas sudah penulis kemukakan tadi bahwa terdapat perbedaan karakteristik antara kajian empiris dalam hukum, khususnya kajian sosiologi hukum dengan kajian ilmu hukum normatif. Untuk lebih memahami hal ini, penulis utamanya perlu mengemukakan adanya tiga jenis kajian dalam ilmu hukum, yaitu:
1. Beggriffenwissenschaft: ilmu tentang asas-asas yang fundamental di bidang hukum. Termasuk di dalamnya mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum, Filsafat Hukum, Logika Hukum, dan Teori Hukum (untuk pascasarjana).
2. Normwissenschaft: ilmu tentang norma. Termasuk di dalamnya sebagian besar mata kuliah yang diajarkan di fakultas hukum di Indonesia, seperti: Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Tata Negara, Hukum Tata Usa- ha Negara, dan Hukum Internasional.
3. Tatsachenwissenschaft: ilmu tentang kenyataan. Termasuk di dalamnya Sosiologi Hukum, Hukum dan Masyarakat, Antropologi Hukum, Psikologi Hukum, dan lain-lainÂ
(Max Weber menyajikan suatu tipologi dari tiga pendekatan umum yang telah digunakan bagi studi hukum dan masyarakat, Tipologi ini digunakan untuk melakukan analisis studi hukum yang
Sosiologi Hukum: Kajian Empiris Terhadap Pengadilan
memungkinkan kita untuk melihat bagaimana hukum itu berbeda mengenai peranannya di dalam masyarakat yang menghasilkan perbedaan kerangka dan yang pada akhimya menimbulkan perbedaan topik dan pertanyaan. Kerangka ini mengkonstruksi hukum dan pranata hukum yang berbeda-beda bagi tujuan studi mereka. Ketiga pendekatan ini adalah: (1) pendekatan moral terhadap hukum, (2) suatu pendekatan dari sudut ilmu hukum, dan (3) suatu pendekatan sosiologis terhadap hukum. Masing-masing pendekatan ini mempunyai fokus yang berbeda dalam kaitannya di antara hukum dan masyarakat dan juga berbeda cara yang di- gunakannya dalam mempelajari hukum.
Juga dapat dikatakan bahwa secara garis besar ada tiga pendekatan ilmu hukum, yaitu:
a. ius constituendum: the law as what ought to be, atau fil- safat hukum.
b. ius constitutum: the law as what it is in the book(s) atau hukum positif.
C. ius operatum: the law as what it is in society atau sosiologi hukum dan kajian empiris lain.
sosiologi hukum memandang hukum dari luar hu- kum. Sosiologi hukum mencoba untuk memperlakukan sis- tem hukum dari sudut pandang ilmu sosial. Pada dasarnya, sosiologi hukum berpendapat bahwa hukum hanya salah satu dari banyak sistem sosial dan bahwa justru sistem-sistem so- sial lain yang juga ada di dalam masyarakatlah yang memberi arti dan pengaruh terhadap hukum.
hukum beranjak dari asumsi dasar:"Orang yang membuat, menerapkan, atau mempergunakan hukum adalah manusiaperilaku adalah perilaku sosial Namun, studi hukum telah berjalan secara relatif terisolasi dari studi-studi lain dalam ilmu-ilmu sosial."
Asumsi dasar tersebut menganggap bahwa orang yang membuat, yang menerapkan, atau yang menggunakan hukum adalah makhluk manusia. Perilaku mereka adalah perilaku sosial. Namun, kajian hukum secara relatif telah memisahkan diri dari studi-studi lain di dalam ilmu-ilmu sosial. Dengan menggunakan pandangan sosiologis terhadap hukum, maka kita akan menghilangkan kecenderungan un- tuk senantiasa mengidentikkan hukum sebagai undang-un dang belaka, seperti yang dianut oleh kalangan positivis atau legalistis.
Harry C. Bredemeier (Vilhelm Aubert, 1975: 52-68) lebih memerinci kajian sosiologis itu dengan masih membedakan antara apa yang ia namakan sociology of the law dengan apa yang ia namakan sebagai sociology in the law.
menurut Bredemeier, penting sekali untuk membedakan antara dua jenis usaha yang menghubungkan antara sosiologi dan hukum; yang pertama adalah yang ditunjukkan melalui istilah sosiologi tentang hukum, sedang lainnya dengan is- tilah sosiologi di dalam hukum. Yang pertama menjadikan hukum sebagai fokus dari investigasi yang bersifat sosiologis, di mana dengan cara yang sama menjadikan "kelompok-ke- lompok kecil" dan "voting" sebagai fokusnya. Tujuannya di sini adalah menggambarkan arti penting dari hukum terhadap masyarakat yang lebih luas atau untuk menggambarkan pro- ses-proses internalnya atau kedua-duanya.
Menurut Bredemeier, tujuan kedua adalah untuk mem- fasilitasi pelaksanaan hukum dari fungsi-fungsinya dengan tambahan pengetahuan sosiologis bagi persediaan peralatan- nya. Jelasnya, sasaran kedua bergantung pada yang pertama. Pengetahuan sosiologis tidak akan dapat berguna bagi hu- kum kecuali pengetahuan sosiologis tentang berbagai fungsi hukum dan mekanisme pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut. Dengan alasan itulah, sehingga dalam bagian pertama tulisan ini saya mengemukakan suatu analisis terhadap fungsi-fungsi hukum dan hubungannya dengan subsistem fungsional lain dari masyarakat. Sesudah itu, saya kemudian membahas be- berapa garis penting dari riset di dalam sosiologi hukum yang menjadi penekanan analisis itu, dan kedudukan sosiologi da- lam hukum (sociology in the low).
Hukum dan pengadilan
Di dalam ilmu hukum terdapat berbagai aliran pemi- kiran, yang masing-masing berbeda dalam memandang sifat hukum beserta unsur-unsur yang ada dalam hukum tersebut. Di antara aliran yang paling menonjol adalah: aliran hukum alam, positivis, historis, sosiologis, antropologis, Marxis, realisme Amerika Serikat, dan realism Skandinavia.
Di antara aliran-aliran pemikiran dalam ilmu hukum tersebut, ada dua di antara mereka yang lebih banyak membahas tentang eksistensi pengadilan dan hakim, yaitu posi- tivisme dan realisme Amerika Serikat. Namun di antara keduanya, realisme Amerika Serikatlah yang paling besar porsi perhatiannya terhadap eksistensi pengadilan dan hakim. Oleh karena itu, dalam bab ini, konsep-konsep realis- me Amerika Serikatlah yang mendominasi pembahasan kita.
A. Positivisme dan Pengadilan
Legal positivism adalah aliran yang berpandangan bah- wa studi tentang wujud hukum seharusnya merupakan studi tentang hukum yang benar-benar terdapat dalam sistem hukum, dan bukan hukum yang seyogianya ada dalam kaidah- kaidah moral. Suatu perintah yang merupakan ungkapan dari keinginan yang diarahkan oleh otoritas yang berdaulat yang mewajibkan orang atau orang-orang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal. Perintah itu bersandar karena adanya an- caman penderitaan atau nestapa yang akan dipaksakan ber- lakunya terhadap si pelanggar jika perintah itu tidak ditaati.
Keburukan yang mengancam bagi mereka yang tidak taat adalah berwujud sanksi yang berada di belakang setiap perintah itu. Suatu perintah, suatu kewajiban untuk menaati, dan suatu sanksi merupakan tiga unsur esensial hukum. Dan yang paling penting dalam kaitannya dengan pengadilan dan tugas hakim adalah pandangan positivise bahwa hukum yang memiliki ketiga unsur tadi hanyalah hukum positif. Hukum positif adalah hukum yang berlaku pada suatu tempat tertentu dan waktu tertentu; hukum yang didasarkan pada otoritas yang berdaulat. Hukum positif harus dibedakan dari asas-asas lain yang juga mungkin ada di dalam masyarakat, seperti asas-asas yang didasarkan pada moralitas, agama, tradisi, konvensi ataupun kesadaran warga masyarakat. Meskipun asas-asas itu diterapkan dan dilaksanakan terhadap orang, namun asas- asas itu tidak tegas sebagai hukum, sebab tidak ada sanksi di belakang asas-asas tadi dan tidak ada suatu mekanisme untuk pelaksanaannya.
eksponen positivisme menurut pandangan H.L.A Hart (1986: 77-96), seorang yuris Inggris. Konsepnya tentang wujud atau sifat hukum tidak sama sekali menutup tempat bagi peranan pengadilan, meskipun tentunya tidak memberikan kebebasan bagi pengadilan untuk membentuk hukum sendiri.
Hart membedakan dua tipe hukum, yaitu tipe aturan primer dan tipe aturan sekunder. Aturan primer menekan- kan kewajiban-kewajiban, di mana melalui aturan primer ini- lah manusia diwajibkan untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu. Ide dasarnya adalah bahwa beberapa norma, berkaitan langsung agar orang bertingkah laku sesuai suatu cara primer, dalam pengertian bahwa mereka ditentukan bagaimana seharusnya bertingkah laku tertentu dan bagaimana seharusnya mereka tidak bertingkah laku tertentu.
Adapun aturan-aturan sekunder menjelaskan tentang apa kewajiban masyarakat yang diwajibkan oleh aturan, me- lalui prosedur apa sehingga suatu aturan baru memungkin- kan untuk diketahui, atau perubahan/pencabutan suatu atur- an lama. la juga menjelaskan bagaimana suatu persengketaan dapat dipecahkan, mengenai apakah suatu aturan primer telah dilanggar atau siapa yang mempunyai otoritas untuk menjatuhkan hukuman bagi pelnggar hukuman.Â
Cara-cara penyelesaian sengketa
Kelemahan penyelesaian cara litigasi
Merupakan satu kekeliruan jika orang menganggap bah- wa di dalam masyarakat modern, hanya pranata pengadilanlah satu-satunya cara penyelesaian sengketa. Di luar pengadilan masih terdapat cara-cara penyelesaian persengketaan lain, se- perti: mediasi, arbitrase, dan konsiliasi. Ada masyarakat yang di- dominasi oleh cara litigasi seperti masyarakat Amerika Serikat, sebaliknya juga ada yang didominasi oleh cara nonlitigasi, seperti Korea dan Jepang. Saat ini, mereka memiliki lebih banyak gugatan ke pengadilan (lebih dari 15 juta per tahun), dibandingkan setiap negara lain di dunia. Terhadap konflik yang paling remeh pun, mereka senantiasa meneriakkan:
"See you in court!" (Kita akan bertemu di pengadilan). Dari 1964 hingga 1984, angka per kapita gugatan-gugatan yang masuk ke pengadilan meningkat hingga tiga kali lipat. Setiap tahun, 40.000 sarjana hukum diterima di Bar (organi- sasi pengacara). Seorang pengamat terkemuka menyatakan bahwa, "Kita meminta pengacara kita untuk menggugat, se- belum kita meminta lawan kita untuk berbicara." Beberapa gugatan mungkin dapat dipandang lucu, seandainya mereka. tidak terlalu serius memandangnya, contoh-contohnya: ketika sekelompok or
ang tua murid menuntut dengan segala macam cara ke pengadilan federal atas suatu kesalahan yang dilakukan oleh petugas di dalam suatu permainan sepakbola di SMA; seseorang yang menggugat sebuah restoran hanya karena mentega dari makanan yang dipesannya beratnya kurang dari dua ons penuh. Banyak orang yang cepat-cepat mengajukan gugatannya ke pengadilan, dengan cepat pula menemukan banyak keti- dakefisienan selama berada seharian di pengadilan; biaya hukum yang tinggi, bulanan atau tahunan menunggu sele- sainya proses perkara, perasaan frustasi yang berkaitan de- ngan sistem di mana para praktisi yang terlibat di pengadilan berbicara dengan menggunakan istilah-istilah bahasa yang tidak dimengerti (oleh orang awam) seperti: habeas corpus, corpus juris, dan res ipsa loquitor.
Karakteristik Mediasi
"Saya masih menghabiskan waktu pada pesta malam untuk menjelaskan bahwa mediasi itu bukan arbitrase dan juga bukan meditasi," demikian yang pernah ditulis oleh David Matz, direktur program penyelesaian sengketa pada Uni- versitas Massachusetts di Boston. Orang sering mengacau- kan mediasi dan arbitrase, meskipun kedua kata itu sendiri terdengar lebih serupa dibandingkan dengan prosedur yang mereka gambarkan.
Dibanding mediasi, maka arbitrase jauh lebih dikenal luas. Arbitrase telah lama digunakan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa komersial dan ketenagakerjaan (sebagai hal terkini juga mencakupi, penyelesaian ketenagakerjaan dalam olahraga profesional). Di dalam arbitrase, seorang pihak ketiga yang netral yang disebut arbitrator memimpin suatu pemeriksaan di antara pihak yang bersengketa dan lalu bertindak sebagai seorang hakim, membuat suatu putusan.Â
yang mengikat secara hukum. Arbitrase adalah lebih tidak formal daripada litigasi (pengadilan), dan-di dalam banyak pemeriksaan-aturan pembuktian yang ketat tidak diikuti.
Di dalam mediasi, sebaliknya, mediator yang netral ti- dak bertindak sebagai seorang hakim; dia tidak mempunyai otoritas untuk menjatuhkan suatu putusan. Malahan, media- tor memimpin suatu pemeriksaan tatap muka dengan pihak yang bersengketa, dan menggunakan keterampilan khusus tentang bagaimana mendengarkan problem para pihak, ke- terampilan bertanya, bernegosiasi, dan membuat pilihan, membantu para pihak menentukan solusi mereka sendiri terhadap persengketaan mereka. Sebenarnya, mediator ber- tindak sebagai seorang katalisator (pembuat perubahan); keterampilan khususnya diterapkannya pada kedua pihak yang bersengketa dengan membantu mereka dalam menyelesai- kan persengketaan mereka. Kompromi, seperti yang di- inginkan oleh Lincoln, sering berbelit-belit, tetapi hanya di dalam beberapa hal yang sangat berbeda. Tujuannya adalah untuk menemukan solusi yang bersifat "menang-menang", di mana kedua pihak mencapai sesuatu yang mereka ingin- kan. Aturan-aturan pembuktian dan prosedur formal lain- nya biasanya tidak digunakan di dalam mediasi, tetapi kese- pakatan yang dicapai dapat dibuat mengikat secara hukum ketika sudah dituangkan dalam bentuk kontrak..
Pengadilan sering dibatasi oleh jenis-jenis persengketa- an yang menjadi kewenangan mereka; contohnya, pengadilan kepailitan hanya berwenang memeriksa kasus kepailitan; pengadilan keluarga hanya berwenang memeriksa kasus-ka- sus persengketaan keluarga. Mediasi, bagaimanapun bukan pengadilan. Mediasi adalah proses. Sebagai proses, ia da- pat digunakan untuk hampir seluruh jenis persengketaan
Pada umumnya, orang yang menggunakan mediasi umumnya menemukan banyak keuntungan di dalamnya. De- ngan penggunaan mediasi, mereka dapat memperoleh:
1. Proses yang cepat: Persengketaan yang paling banyak ditangani oleh pusat-pusat mediasi publik dapat dituntas- kan dengan pemeriksaan yang hanya berlangsung dua hingga tiga minggu. Rata-rata waktu yang digunakan untuk setiap pemeriksaan adalah satu hingga satu sete- ngah jam.
2. Bersifat rahasia: Segala sesuatu yang diucapkan selama pemeriksaan mediasi bersifat rahasia di mana tidak diha- diri oeh publik dan juga tidak ada pers yang meliput.
3. Tidak mahal: Sebagian besar pusat-pusat mediasi publik menyediakan kualitas pelayanan secara gratis atau pa- ling tidak dengan biaya yang sangat murah: para penga- cara tidak dibutuhkan dalam suatu proses mediasi.
4. Adil: Solusi bagi suatu persengketaan dapat disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pihak: preseden hu- kum tidak akan diterapkan dalam kasus-kasus yang di- periksa oleh mediasi.
5. Berhasil baik: Pada empat dari lima kasus yang telah mencapai tahap mediasi, kedua pihak yang bersengketa mencapai suatu hasil yang diinginkan.
Mediasi dapat menyelamatkan Anda dari pemborosan waktu dan uang; mediasi dapat membebaskan Anda dari para pengacara dan istilah-istilah asing dalam hukum; mediasi dapat memberi wewenang kepada Anda untuk menemukan pemecahan dari problem Anda cepat, adil, dan tidak mahal. Oleh karena itu, Anda dapat meneruskan kehidupan Anda; mediasi dapat melindungi privasi dan martabat Anda dari kemungkinan terpublikasikannya problem Anda di koran- koran dan televisi; mediasi dapat menolong Anda untuk me- mecahkan problem Anda tanpa membahayakan kepentingan pribadi Anda, keluarga Anda, dan hubungan bisnis Anda.
Meminjam suatu kalimat dari Presiden George Bush, me- diasi merupakan suatu "cara kanak-kanak, cara yang lemah lembut" untuk menyelesaikan persengketaan Anda. Sebagai suatu bangsa, kita (bangsa Amerika) tidak dapat lebih lama mencurahkan begitu banyak energi, bakat, dan waktu untuk berpengadilan. Sebagai individu-individu, kita cukup layak dan mampu, untuk mendapat bantuan dari seorang mediator
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H