Mohon tunggu...
Naufal Cahaya Pangestu
Naufal Cahaya Pangestu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said

Seorang laki laki tampan gagah dan berani. merupakan mahasiswa aktif di salah satu perguruan tinggi negri berbasis islam di Solo Raya.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Hukum Perkawinan di Indonesia Dalam Perspektif Hukum Perdata, Hukum Islam, dan Hukum Administrasi

12 Maret 2024   22:24 Diperbarui: 12 Maret 2024   23:00 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengarang

Dr. H.M. Anwar Rachman, S.H., M.H.

Dr. Prawita Thalib S.H., M.H. 

Saepudin Muhtar, S.IP., M.SI., M.A.

Tahun Terbit 

Januari 2022

Ukuruan 15x23

Abstrak :

Tujuan dilakukan penulisan book review ini adalah untuk memenuhi tugas Hukum Perdata Islam. Dan juga untuk mengetahui Hukum Perkawinan di Indonesia dalam perspektif Hukum Perdata, Hukum Islam, dan Hukum administrasi. Dan saya selaku periview buku ini sangat sangat menyarankan dan merkomendasikan sebagai buku rujukan untuk memahami dan belajar mengenai hukum perkawinan di indonesia yang di tinjau dari beberapa hukum seperti hukum perdata, hukum islam, dan hukum administrasi. Saya mengkmentari buku ini sangat luar biasa dan lengkap didalamnya dijelaskan juga secara rinci oleh karena itu saya memakai buku ini. 
 Pada pasal 1 UU No. 1/1974 yaitu Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam kehidupan manusia. perkawinan menimbulkan akibat lahir mau pun batin baik terhadap keluarga masing_masing masyarakat dan juga dengan harta kekayaan yang diperoleh di antara mereka baik sebelum maupun selamanya perkawinan berlangsung. perkawinan menurut uu No 7/1974 bukan hanya merupakan suatu perbuatan perdata saja, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, karena sah atau tidaknya suatu perkawinan sepenuhnya ada pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianutnya. 

Tata cara perkawinan di Indonesia tergolong beraneka ragam, oleh karena di Indonesia mengakui adanya berbagai agama dan kepercayaan yang tentunya berbeda pula ritua-lnya dan hal tersebut sesuai dasar negara pancasila yang mengakui adanya prinsip kebebasan beragama.
Keywords: Perkawinan, Hukum perdata, Hukum Islam, Hukum Administrasi.

Pendahuluan
Manusia pada dasarnya terpanggil untuk hidup berpasang-pasangan dan berusaha untuk menemukan makna hidupnya dalam perkawinan. Ada orang yang beranggapan bahwa perkawinan membatasi kebebasan, namun sebagian besar orang menyatakan bahwa perkawinan memberikan jaminan ketenteraman hidup, hal ini sesuai dengan aturan dalam Pasal 1 UU No. 1/1974 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Kehidupan saat ini banyak dipertanyakan relevansi kehidupan berkeluarga atas dasar pernikahan, hal ini menunjukkan adanya keraguan terhadap kehidupan berkeluarga yang dibangun di atas pondasi perkawinan, dengan demikian kita harus memahami dengan baik hakikat perkawinan. 

Dalam sistem hukum positif di Indonesia, keluarga dan perkawinan diatur dalam UU No. 1/7974, sehingga untuk mengetahui hakikat perkawinan, maka perlu dibedah UU tersebut dari aspek yuridis, sosiologis maupun filosofisnya. Hal ini karena UU tersebut merupakan norma hukum yang berlaku mengikat untuk warga negara Indonesia di mana pun dia berada. Oleh karena itu, dengan adanya kajian dari sisi hukum, sosial dan filsafat, diharapkan akan diperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai makna perkawinan yang merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia.

 Usaha untuk mengadakan kompilasi hukum Islam telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia telah menjadi semacam "fikih keindonesiaan" dan atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata Islam yang sangat diperlukan sebagai pedoman dalam bidang hukum material bagi para hakim di lingkungan peradilan agama, sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum dalam mengadili suatu perkara. 

Hal ini dikarenakan apabila tidak ada undang-undang yang mengatur tentang hal tersebut, maka hakim tentunya akan merujuk pada pendapat para ulama madzhab yakni Imam Syafi'i, Imam Maliki, Imam Hanbali, dan Imam Hanafi, sehingga dapat dipastikan dalam perkara yang sama akan ada putusan-putusan pengadilan yang berbeda-beda karena masing-masing hakim dapat berbeda-beda orientasi madzhabnya serta rujukan kitabnya.
Pembahasan
Bab 1
A. Pengertian dan Tujuan Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan Menurut Bahasa
Perkawinan adalah merupakan suatu kata,/istilah yang hampir tiap hari didengar dalam pembicaraan atau dibaca dalam media massa cetak maupun diSital/elektronik. Namun jika ditanyakan apa yang di maksud dengan istilah tersebut, orang akan berpikir terlebih dahulu untuk mendapatkan formulasi yang tepat. Perkawinan menurut bahasa Arab berasal dari kata al-nikah yang bermakna al-wathi' dan al-dammu wa al-tadakhul. 

Terkadang juga disebut al-dammu wa al-jam'u, atau ibarat 'an al-wathi' wa al-'aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul, dan akad Dalam kamus bahasa Indonesia ada dua kata yang menyangkut masalah ini, yaitu kawin dan nikah. Kawin menurut bahasa adalah membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristri, menikah. Perkawinan mengandung arti perihal (urusan dan sebagainya) kawin, pernikahan, Pertemuan hewan jantan dan betina secara seksual. 

Pernikahan yang berasal dari kata nikah mengandung arti ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan agama. Adapun pernikahan mengandung arti hal (Perbuatan) nikah, upacara nikah. Definisi perkawinan menurut bahasa bersenggama atau bercampur dalam pengertian majaz orang menyebut nikah sebagai akad, sebab akad adalah sebab bolehnya bersenggama atau bersetubuh. 

Golongan Hanafiyah mendefinisikan nikah itu adalah akad yang memfaedahkan memiliki, bersenang-senang dengan sengaja, golongan asy-Syafi'iyah nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan watha' dengan lafaz nikah atau tazwij atau yang semakna dengan keduanya, golongan Malikiyah nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk membolehkan watha', bersenang-senang dan menikmati.
Menurut Sayuti Thalib, definisi perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kukuh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, tenteram dan bahagia. Hazairin menyatakan bahwa inti dari sebuah perkawinan adalah apa yang ada pada diri seorang wanita yang boleh nikah dengannya, dan golongan Hanabilah nikah adalah akad dengan menggunakan lafaz nikah atau tazwij guna membolehkan manfaat, bersenang-senang dengan wanita hubungan seksual, menurutnya tidak ada nikah (perkawinan) bila tidak ada hubungan seksual.
 
2. Pengertian Pernikaham Menurut UU
Pengertian perkawinan menurut ketentuan pasal 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pengertian perkawinan yang diberikan oleh UU tersebut, terdapat lima unsur dalam perkawinan yakni :
a. Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
b. Sebagai suami istri
c. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang Bahagia dan kekal
d. Berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa.
Menurut rumusan Pasal UU No. 1 Tahun 1974 tersebut bahwa ikatan suami istri harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yakni perkawinan merupakan perikatan yang suci. perikatan tidak dapat melepaskan dari agama yang dianut suami istri. Hidup bersama suami istri dalam perkawinan tidak semata-mata untuk tertibnya hubungan seksual tetap pada pasangan suami istri, tetapi dapat membentuk rumah tangga yang bahagia, rumah tangga yang rukun, kekal, aman, dan harmonis antara suami istri.
 
3. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan menurut perintah Allah adalah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat melalui dibentuknya rumah tangga yang damai dan teratur, hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam QS. ar-Ruum ayat 21:
 
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnga pada yang demikion itu benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berfikir."
Bagi penganut agama Islam, hukum perkawinan adalah merupakan bagian dari ajaran agama islam yang wajib ditaati dan dilaksanakan sesuai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ketentuan agama Islam dan tidak ada ketentuan/norma dalam UU Perkawinan yang bertentangan dengan hukum Islam. 

Adapun tujuan dari perkawinan menurut, ketentuan Pasal 1 UU No. 7/7974 adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun dalam KUH Perdata tidak ada satu pasal pun yang secara jelas-jelas mencantumkan mengenai tujuan perkawinan itu. 

Dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan berumah tangga yang Sakinah, mawaddah, dan warahmah. Adapun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganur prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan. Ketentuan dalam UU Perkawinan yang mempersulit perceraian dimaksud bertujuan agar perkawinan tersebut berlangsung kekal dan agar suami istri beserta anak-anaknya dapat hidup bahagia. 

Faedah dalam perkawinan adalah untuk menjaga dan memelihara perempuan yang lemah itu dari pada kebinasaan. Sebab seorang perempuan apabila telah kawin, maka nafkah maupun perlindungannya menjadi tanggungan suaminya.
 
4. Filosofi Pernikahan
Sehubung dengan konsep ideal yang dicita-citakan berlangsung dalam keadaan serasi yang mencerminkan dapat dipenuhinya kebutuhan keluarga dan perkawinan, yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan: pribadi, sosial, dan Tuhan. Sementara aspek epistemologi adalah upaya filosofis untuk memahami hakikat kebenaran dan pengetahuan yang dapat dicapai rasio manusia atas hukum keluarga dan perkawinan sehingga akan dapat dipelihara dengan baik sebagai sarana manusia untuk menunaikan kehidupan di dunia. Aspek aksiologi berupaya mengetahui hakikat esensi nilai yang terdapat di dalam hukum keluarga. 

Fokus dari nilai di sini adalah mengenai baik dan buruk dari sudut pandang rnoral etika dan manfaat. Berpangkal dari keluarga yang terbentuk atas dasar perkawinan antara seorrng laki-laki dan seorang perempuan, kemudian menimbulkan hubungan keluarga yaitu dibedakan atas dasar keturunan darah maupun hubungan perkawinan. Demikian pula timbul hubungan kewarisan yang rnenjadi kepentingan negara untuk mengaturnya dalam hukum positif. 

Aspek aksiologi sebagai bagian dari filsafat sangat penting sebagai landasan ontologi manusia yang berimplikasi pada tatanan pengetahuan yang dihasilkannya. Dalam UU No. 1/1974 diatur tentang definisi perkawinan, dan keabsahan perkawinan yang memiliki hubungan kebenaran korespondensi dengan filosofis ontologi manusia yang bersifat monopluralis. 

Landasan ontologis manusia yang monopluralis adalah landasan bagi Pancasila yang menjadi sebuah sistem filsafat, menjiwai segenap peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ini berarti kodrat antara lakilaki dan perempuan untuk membentuk kehidupan keluarga yang bahagia telah diadopsi oleh UU dimaksud. 

Pendefinisian perkawinan oleh UU yang mendasarkan keabsahan perkawinan bila dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya menunjukkan bahwa hukum keluarga Indonesia sesuai dengan nilai filosofis ontologi manusia monopluralis yang mengakui nilai religius yang bersifat mutlak. Sehingga dapat diartikan bahwa filsafat hukum keluarga akan berperan positif membangun hukum yang dibutuhkan masyarakat melalui dibentuknya perundang-undangan.
Oleh sebab itu, perkawinan sebagaimana yang diatur dalam UU No. 7/7974 mempunyai prinsip untuk menjamin cita-cita luhur perkawinan yang diaplikasikan dalam enam prinsip, yaitu:
1. Prinsip sukarela
2. Prinsip partisipasi keluarga
3. Prinsip monogami
4. Prinsip perceraian dipersulit
5. Prinsip kematangan calon mempelai
6. Prinsip memperbaiki derajat wanita
Oleh sebab itu, perkawinan hendaklah didasari oleh cinta, karena tanpa adanya cinta atau perkawinan yang didasari adanya tujuan poritis atau materi dapat berpotensi menimbulkan ketidakbahaiiaanaan persoalan di kemudian hari.
 
B. Keabsahan Perkawinan
1. Perkawinan Menurut Hukum Adat
Di samping hukum tertulis, terdapat hukum tidak tertulis, yaitu hukum adat dan senantiasa pula ada hukum yang tidak berasal dari alat-alat perlengkapan lain dan dari berbagai golongan dalam masyarakat. Perkawinan tidak berimbang dengan urusan keluarga, urusan rumah tangga, urusan pergaulan masyarakat, urusan kedudukan, dan urusan pribadi. Indonesia terdiri beragam adat dan istiadat yang berbeda-beda antara satu daerah dan daerah lainnya, hal ini memengamhi perkawinan di Indonesia. 

Melangsungkan perkawinan itu hanyalah subjek hukum yang dinamakan pribadi kodrati, tetapi tidak setiap pribadi kodrati yang dapat melangsungkan perkawinan. Menurut hukum adat, perkawinan bukan saja berarti sebagai perikatan hubungan keperdataan saja, tetapi merupakan perlkatan adat yang mana suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataannya saja. 

Menurut Ter Haar bahwa perkawinan itu adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat, dan urusan pribadi dan menyangkut urusan keagamaan. Perkawinan dalam arti adat adalah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan. 

Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan itu terjadi, yang mana yang dimaksud dengan akibat hukum ini adalah yang akan menimbulkan suatu hak dan kewajiban orangtua, yaitu dalam pelaksanaan upacara adat, membina dan memelihara kerukunan keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terikat dalam perkawinan. 

Sahnya perkawinan menurut hukum adat, tergantung pacia upacara perkawinan hukum agama yang dianut masyarakat adat di Indonesia. Apabila telah dilaksanakan menurut tata cara hukum ag.una, maka perkawinan itu sudah sah menurut hukum adat. Upacara perkawinan tujuannya untuk meresmikan masuknya individu menjadi warga adat merupakan upacara perkawinan adat.
Dalam Pasal 1 UU Perkawinan dijelaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Pasal 26 KUH Perdata, masalah perkawinan berkaitan dengan hubungan keperdataan saja. Pasal 81 KUH Perdata tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan sebelum kedua pihak membuktikan kepada pejabat/pemuka agama mereka bahwa perkawinan di hadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung. Hal ini jelas bahwa KUH Perdata hanya melihat dari segi keperdataannya dan administratif saja, yakni menSabaikan segi keagamaan dan hal tentunya tidak sesuai dengan dasar falsafah Negara Republik Indonesia, yalni Pancasila.
2. Perkawinan Menurut Agama Hindu
Agama Hindu merupakan agama tertua di dunia yang masih betahan hingga kini, dan umat Hindu menyebut agamanya sendiri sebagai Sanatana-dharma (Dewanagari: artinya darma abadi/ jalan abadi) yang melampaui asal mula manusia. Agama ini menyediakan kewajiban kekal untuk diikuti oleh umatnya tanpa memandang strata, kasta, atau sekte seperti kejujuran, kesucian, dan pengendalian diri. 

Dalam agama Hindu, suatu perkawinan mempunyai makna dalam sebuah pengorbanan suci (yadnya), dalam konsep Hindu perkawinan disebut grhasta yang memiliki arti masa berumah tangga. Perkawinan dalam agama Hindu bertujuan hidup sejahtera dan bahagia, dalam kitab Manawadhasastra ada tiga tujuan, yaitu dharmasampatti, praja, dan rati. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dan Perpres No. 1 Tahun 1963 yang diundangkan menjadi UU No. 5/1969 menentukan adanya hukum Hindu untuk ditinjau dalam rangka pelaksanaan UU Perkawinan yang dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing. 

Menurut istilahnya, hukum adalah darma atau darma adalah hukum. Sistem perkawinan Hindu adalah cara atau bentuk usaha yang dibenarkan dan yang dapat dilakukan oleh seseorang menurut hukum Hindu dalam melegalisasi tata cara perkawinan, dengan demikian baik formil maupun materiel dapat dinyatakan sah sebagai suami istri. 

Berdasarkan Manusmreti (Manudharmasastra), perkawinan umat Hindu bersifat religius dan obligator .(mengikat), hal ini dihubungkan dengan adanya kewajiban bagi seorang untuk mempunyai keturunan laki-laki (purusa) agar anak tersebut dapat menyelamatkan orangtua dari neraka. Apabila perkawinan tidak dilangsungkan dengan upacaftl menumt hukum agama Hindu, maka perkawinan itu tidak sah. Dalam hukum adat Bali, perkawinan selain dilandasi oleh UU Perkawinan, juga dilandasi oleh agama Hindu.
Setelah adanya UU Perkawinan pada Pasal 2 ayat (2) yang mewajibkan suatu perkawinan dicatat sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku dan akhir dari proses pencatatan perkawinan adalah diterbitkannya akta perkawinan oleh kantor catatan sipil setelah pemohon memenuhi segala persyaratan yang diperlukan. 

Fungsi pencatatrn perkawinan sama halnya dengan pencatatan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, yakni kelahiran atau kematian yang dinyatakan dalam suatu akta resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan. Akta perkawinan bagi agama Hindu, tidak jauh berbeda dengan umat non hindu yang tidak hanya berftmgsi untuk membuktikan telah dilaksanakan perkawinan secara sah, juga untuk menjelaskan kedudukan hukum seseorang dalam keluarga.
 
3. Perkawinan Menurut Agama Budha
Doktrin atau pokok ajaran agama Buddha disebut dharma, ajarannya ini dirumuskan dalam apa yang disebut empat kebenaran yang mulia atau empat aryasatyani. Aryasatyani terdiri dari empat kata, yaitu dukha artinya penderitaan, samudaya artinya sebab, nirodha. artinya pemadaman, dan nurga artinya jalan yaitu jalan kelepasan. 

Menurut Buddha, hidup adalah penderitaan, dilahirkan, tua, mati, dilahirkan kembali. Perkawinan sebagai salah satu aspek hidup akan selalu dicengkeram oleh dukha, dan dalam zuatu perkawinan kebahagiaan y,ang diperoleh adalah bersifat kebahagiaan duniawi (lokiya), sedangkan kebahagiaan tertinggi adalah nirwana (nibbana) yang untuk mencapainla diperlukan pemadaman semua kekotoran batin termasuk nafsu seks. 

Perkawinan menurut agama Buddha adalah sebagai suatu ikatan suci yang harus dijalani dengan cinta dan kasih sayang seperti yang diajarkan oleh Buddha. Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin dari dua orang yang berbeda kelamin, yang hidup bersama untuk selamanya dan bersama-sama melaksanakan Dharma Vinaya untuk mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang. 

Formalitas atau tatacara perkawinan disusun oleh para pemimpin agama Buddha, disesuaikan dengan tradisi dan kebudayaan setempat dengan berpedoman pada ajaran Buddha. Dengan selesainya upacara keagamaan selesai pula pelaksanaan perkawinan menurut agama Buddha, selanjutnya untuk kepastian hukum perkawinan tersebut, pernikahan yang sudah sah menurut hukum agama harus dicatatkan ke kantor catatan sipil sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No.-1/1974.
 
4. Perkawinan Menurut Agama Konghucu
Pernikahan dalam pengertian ajaran Konghucu adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan, pertautan antara Khian dan Khun-lah yang melahirkan keturunan anak manusia dan ini adalah firman Tuhan atau kodrat. Sebagaimana diketahui dalam kaitannya dengan alam, khian dilambangkan sebagai langit, Khun dilambangkan sebagai bumi. Berkaitan dengan metafisika, maka Khian itu melambangkan Tian (Tuhan), sedangkan Khun adalah ciptaan-Nya yakni alam semesta dan seisinya. 

Dalam kaitannya dengan manusia, Kfuan dilambangkan sebagai laki-laki, sedangkan Khun dilambangkan sebagai wanita atau ibu. Bahwa terjadinya berlaksana benda tak lain adalah pertautan antara (Khun/Yin dan Khian/Yang), maka pertautan antara Khun/Yin (perempuan) dan Khan/yang (lelaki) sajalah keturunan manusia itu akan terjadi. 

Perkawinan sebagai suatu perbuatan hukum mempunyai akibat terhadap pihak-pihak yang bersangkutan yaitu suami, istri, dan anak-anak yang dilahirkan akibat dari perkawinan. Untuk itu, agar perkawinan dapat dilaksanalan dengan baik demi tercapainya keluarga yang bahagia dan harmonis (Hee), sejahtera dan abadi, membawa hoki (keberuntungan) diperlukan suatu peraturan yang mengatur perkawinan. perkawinan menurut agama l(honghucu dalam hal lakiJaki dan perempuan hidup berkeluarga adalah hubungan terbesar dalam hidup manusia. 

Adapun jalan suci (tao/dao) yang harus ditempuh di dunia ini mempunyai lima perkara dengan tiga pusaka dalam menjalankannya. Salah satunya adalah hubungan "suami dengan istri." Perkawinan yang merupakan perintah dari agama untuk menata kehidupan baru, melanjutkan keturunan, harus ada aturan tata tertib perkawinan yang telah ada sejak masyarakat kuno yang dipertahankan pemuka masyarakat adat dan atau pemuka agama. 

Upacara perkawinan dan segala aturannya tentu saja tidak bisa terlepas dari tradisi, nilai-nilai, dan budaya yang ada. Sementara budaya perkawinan dan aturan pada suatu masyarakat atau suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan di mana masyarakat berada. Kadangkala perkawinan itu dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman (kebiasaan), keagamaan, dan kepercayaan yang dianut masyarakat bersangkutan.
Budaya dan aturan perkawinan bangsa kita terdiri dari berbagai macam suku, agama dan kepercayaan, maka beraneka ragam tradisi perkawinan akibat pengaruh dari budaya yang datang di Indonesia. Begitu pula dengan nilai-nilai agama, baik Hindu, Islam, Kristen, Buddha maupun Khonghucu menjadikan model-model perkawinan di Indonesia beraneka macam. 

Hal ini bisa kita saksikan dalam setiap resepsi pernikahan tidak ada keseragaman tradisi yang ada dalam tata upaca perkawinan bahkan ada juga pengaruh tradisi Barat digunakan dalam tata upacara tersebut. Oleh karena itu banyaknya budaya dan aturan yang memengaruhi perkawinan sehingga banyak pula aturan-aturan perkawinan dalam kehidupan/bermasyarakat. 

Untuk menjamin adanya kepastian hukum yang mengatur masalah perkawinan, maka perlulah unifikasi hukum perkawinan yang berlaku bagi warga masyarakat tndonesia.
 
5. Perkawinan Menurut Agama Nasrani
a. Kristen Katolik
Perkawinan dalam hukum Gereja Katolik dirumuskan sebagai sebuah perjanjian antara seorang pria dan wanita untuk membentuk kehidupan bersama, yang terarah kepada kesejahteraan keluarganya serta mengutamakan kelahiran dan pendidikan anak. Status perkawinan itu sendiri sangat dimuliakan, sebagaimana disebutkan bahwa oleh Kristus Tuhan, perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat sakramen (Kan. 1055:1). 

Lebih lanjut dalam surat Paulus kepada jemaatnya di Efesus, Paulus mengumpamakan bahwa perkawinan antara seorang pria dan seor.rng wanita itu sebagai hubungan antara Kristus dan jemaatnya. Gereja Katolik Roma menafsirkan ayat-ayat (surat Paulus) tersebut sedemikian rupa, sehingga rangkaian tata cara nikah yang sah dan dikukuhkan oleh gereja bukanlah perbuatan biasa melainkan sebuah perbuatan sakral yang diangkat menjadi suatu lambang perhubungan antara Kristus dan gereja atau Kristus denganjemaat. "Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat" (Efesus 5:32). 

Dengan demikian, maka nikah yang diteguhkan oleh gereja "termasuk perbuatan gerejani, dengan perbuatan itu kita memperoleh anugerah Kristus yang menyelamatkan". Ikatan cinta kasih suami istri seperti itu akan diangkat ke tingkat yang lebih tinggi yaitu ke dalam cinta kasih Ilahi. Artinya Kristus sendiri membuat perkawinan itu menjadi sarana bagi penyaluran cinta kasih Ilahi. 

Selain itu, perkawinan dalam ajaran Katolik bersifat monogami ini yang kemudian disebut sebagai sifat hakiki perkawinan yang khas dalam ajaran Katolik. satu sakramen. Sakramen tersebut diberikan oleh suami istri itu sendiri, yaitu dengan mengucapkan janji saling mencintai dan setia satu sama lain dihadapkan imam dan para saksi. 

Janji pernikahan tersebut diucapkan dalam bentuk sumpah yang berbunyi: "Saya berjanji setia kepadanya dalam untung dan malang, dan saya mau mencintai dan menghormatinya seumur hidup. Demikian janji saya demi Allah dan Injil suci ini." Dengan pengucapan janji kedua mempelai kemudian diteguhkan oleh imam dan diberkatinya, maka sahlah perkawinan kedua mempelai dari sudut hukum agama Katolik.
 
b. Kristen Protestan
Perkawinan dipandang sebagai kesetiakawanan bertiga antara suami, istri di hadapan Allah. Perkawinan iru suci. Seorang pria dan seorang wanita membentuk rumah tangga karena dipersatukan oleh Allah. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Pada prinsipnya karna perkawinan dalam agama Kristen (Protestan) memiliki makna kesamaan, ntrmun dalam ritus dan peraturannya berbeda. Peraturan perkawinan lelih longgar alias tidak seketat dan serumit dalam perkawinan dalam katolik. 

Pandangan Protestan mengenai perkawinan dimulai dengan melihat perkawinan sebagai suatu peraturan yang ditetapkan oleh Tuhan. Dasar utama dari perkawinan menurut Alkitab adalah kasih yang tulus dari dua orang, sehingga mereka menentukan untuk hidup bersatu dalam suka atau duka sehinggga diceraikan oleh kematian. 

Menurut Protestan perkawinan adalah suatu persekutuan hidup dan percaya yang total, eksklusif dan bersambung yakni perkawinan adalah persekutuan hidup antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang total, eksklusif, dan terus-menerus (permanen). Pria dan wanita yang dikuduskan dan diberkati oleh Yesus Kristus. 

Tujuannya adalah supaya dengan pernikahan itu seorang pria dan seorang wanita dapat saling bantu membantu, saling melengkapi, saling menyempurnakan satu dengan lainnya, sehingga akan dapat dicapai kebahagiaan hidup materiel dan spiritual di dalam kasih dan rahmat Tuhan.
 
6. Perkawinan Menurut Agama Islam
Kata nikah berasal dari bahasa Arab al-nikah yang berarti berkumpul atau bersetubuh. Kata ini dalam bahasa Indonesia sering disebutjuga dengan perkataan kawin atau perkawinan. Kata kawin adalah terjemahan kata nikah dalam bahasa Indonesia. Kata menikahi berarti mengawini dan menikahkrn sama dengan kata mengawinkan yang berarti menjadikan bersuami. 

Dengan demikian, istilah pernikahan mempunyai arti yang serupa dengan kata perkawinan. Perkataan nikah dan kawin keduanya sama terkenal di kalangan masyarakat Indonesia. Dalam fikih Islam perkataan yang sering dipakai adalah nikah atau ziwaj {ziwaj atau zautaj) yangjuga banyak terdapat dalam Al-Qur'an, kedua kata tersebut mempunyai persamaan yaitu sama-sama berarti berkumpul. 

Pengertian nikah atau riwaj secara bahasa syariah mempunyai pengertian secara hakiki dan pengertitrn secara majasi. Pengertian nikah atau riwaj secara hakiki adalah bersenggama (wathi'), sedangkan pengertian majasinya adalah akad, kedua pengertian tersebut diperselisihkan oleh kalangan ulama fikih karena hal tersebut berimplikasi pada penetapan hukum peristiwa yang lain, misalnya tentang anak hasil perzinaan, ntrmun pengertian yang lebih umum digunakan adalah pengertian bahasa secara majasi, yaitu akad. Al-Qadhli Husain mengatakan bahwa arti tersebut adalah yang paling sahih.aa Ada yang mengatakan bahwa pengertian bahasa dari kata nikah dan ziwaj adalah musytarok (mengandung dua makna) antara wathi' dan akad dan keduanya merupakan makna hakiki. 

Nikah pada hakikatnya adalah akad antara calon suami istri untuk membolehkan keduanya bergaul sebagai suami istri, akad artinya ikatan atau perjanjian, jadi perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita dan seorang pria. Sebelum akad nikah dilakukan, diadakan terlebih dahulu peminangan secara resmi dari pihak laki-laki dan wali dari pihak wanita pemberi persetujuannya. 

Akad perkawinan yang akan dilangsungkan sebelum dicatatkan, agar secara hukum perkawinan tersebut sah. Dengan melakukan ijab kabul (yaitu penawaran oleh wali mempelai perempuan dan penerimaan oleh mempelai laki-laki) di hadapan dua saksi laki-laki yang harus beragama Islam dan berkelakuan baik. 

Perkawinan ialah akad antara calon suami-istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syari'at. Perkawinan menurut Islam ialah suatu perjanjian suci yang kuat dan kukuh untuk hidup bersama-sama secara sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, arnan, tenteram, bahagia, dan kekal. 

Perkawinan dalam Islam dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu: sudut hukum, sosial, dan agama. Dari sudut hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian yang sangat kuat mitsaagaon ghaliid".an (al-Qur'an surah an-Nisaa [4):27: "Dan istri-istrimu telah mengambil darimu perjanjian yang kuat"). 

Dari sudut sosial, perkawinan merupakan sarana untuk meningkatlan status dalam masyarakat, sedangkan dari sudut agama, perkawinan ini diangap sebagai suatu lembaga suci, sebab pasangan suami istri itu dihubungkan dengan menggunakan nama Allah. Agama Islam mensyariatkan perkawinan dengan tujuan-tujuan tertentu, antara lain untuk:
a. Melanjutkan keturunan
b. Menjaga diri dari perbuatan maksiat
c. Menimbulkan rasa kasih saying
d. Menghormati sunnah Rosul
e. Membersihkan keturunan.
 
D. Pencatatan Perkawinan
Pencatatan perkawinan diatur dalam pasal 2 ayat.(2) uu perkawinan yang mana tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni pencatatan perkawinan dilakukan apabila sudah melaksanakan perkawinan secrra agama secara sah. 

Lembaga catatan sipil dibentuk dengan tujuan untuk mencatat seca.ra lengkap dan jelas-jelas suatu peristiwa hukum, sehingga memberikan kepastian hukum mengenai semua kejadian seperti: (1) kelahiran; (2) pengakuan terhadap kelahiran; (3) perkawinan/perceraian; (4) kematian; dan (4) izin kawin. Pencatatan sangat penting untuk diri maupun untuk orang lain, oleh karena dengan pencatatan orang dapat dengan mudah memperoleh kepastian akan suatu kejadian. 

pada tahun 1966 telah dikeluarkan Instruksi Presidium Kabinet No.3l/U/ln/lL/1,966 yang antara lain menginstruksikan kepada Menteri Kehakiman serta kantor catatan sipil seluruh Indonesia untuk tidak menggunakan penggolongan penduduk Indonesia. 

Berdasarkan Pasal 131 dan 163 r-s. (Indische staasregeting) pada Kantor catatan Sipil melayani seluruh penduduk Indonesia dan hanya ditentukan antara wNI dan orang asing.6e perkawinan dianggap sah adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan ini jika selain beragama islam maka dilakukan di kantor catatan sipil, jika beragama islam dilakukan di kantor urusan agama(KUA).
 
E. Asas Perkawinan
1. Asas Monogami
Asas perkawinan yang berlaku pada hukum perkawinan Indonesia adalah asas monogami, yaitu di mana seorang pria hanya dibolehkan memiiiki seorang istri dan begitupun sebaliknya. Namun, monogami yang diterapkan di Indonesia merupakan monogami relatif /terbuka yang artinya memberikan peluang bagi seseorang untuk melakukan poligami dengan syarat dan ketentuan yanS berlaku pada perundang-undangan yaitu syarat alternatif dan kumulatif. 

Pasal 1 UU No.1/1974 menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorzrng wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Pasal 3 ayat (1) UU No. 7/1974 menyatakan bahwa pada asasnya suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. 

Dengan kata lain, perkawinan menganut asas monogami. Hal ini tidak berlaku apabila terjadi keadaan seperti di mana salah satu pasangan meninggal dunia, bahwa pasangan yang ditinggal mati itu bisa menikah lagi. Terdapat perbedaan antara UU No. l/1.974 tentang perkawinan dengan KUH Perdata mengenai asas monogami ini.
2. Asas Poligami
Walaupun secara formal UU Perkawinan di Indonesia menganut asas monogami, namun poligami diberi ruang dengan terlihatnya beberapa pasal dan ayat yang mengaturnya. Namun, walaupun poligami tersebut diberi tempat, akan tetapi itu bukan berarti bahwa poligami dijadikan asas dalam UU No. l/1974 tentang Perkawinan. 

Hal tersebut merupakan pengecualian, yang ditujukan khusus kepada orang yang menurut hukum dan agama atau kepercayaan mengizinkan untuk itu yakni poligami dibolehkan tetapi dengan pembatasan yang cukup berat, yaitu berupa suatu pemahaman syarat dengan alasan tertentu dan izin pengadilan. 

Poligami terdapat dalam kompilasi hukum Islam yang berlaku dan dipakai sebagai pedoman bagi orang Islam yang menjalani suatu proses perkawinan yang tercanhm dalam Pasal 55 ayat (1) yang menyatakan bahwa seorang laki-laki yang boleh beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri.
 
F. Hak dan Kewajiban Suami dan Istri
Pengertian hak menurut bahasa yaitu kebenaran atau yang memiliki arti kekuasaaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, atau dalam arti lain wewenang menuntut hukum. Menurut istilah yaitu menurut para pendapat ulama fikih yang sebagian ulama muta'akhirin "hak adalah sesuatu hukum yang telah ditetapkan secara syara" atau dengan kata lain hak adalah kepentingan yang ada pada perorangan atau masyarakat atau pada keduanya, yang diakui oleh syara'. 

Adapun pengertian kewajiban yairu yang berasal dari kata "wajib", dan menurut bahasa kata "wajib" bermakna "fardu" atau sesuatu yang harus dilakukan, tidak boleh tidak dilaksanakan. Dan adapun secara istilah yaitu "suatu pekerjaan yang apabila dilakukan mendapatlan pahala dan jika ditinggalkan mendapatkan dosa. Hak dan kewajiban adalah dua sisi yang saling bertimbal balik dalam suatu transaksi. 

Hak salah satu pihak merupakan kewajiban bagi pihak lain, begitupun sebaliknya kewajiban salah satu pihak menjadi hak bagi pihak yang lain. Keduanya saling berhadapan dan diakui dalam hukum Islam. Hak dan kewajiban suami istri muncul sejak mereka terikat dalam suatu ikatan yang sah melalui akad (ijab kabul). Pada saat itu pula, suami istri memikul tanggung jawab untuk memenuhi seluruh hak dan kewajibannya sebagai suami istri.
1. Hak Istri
Adapun hak istri sebagai berikut:
a. Hak mengenai harta yaitu mahar atau mas kawin dan nafkah.
b. Hak mendapat perlakuan baik dari suami. Allah berfirman dalam QS. an-Nisaa'19:

c. Agar suami menjaga dan memelihara istrinya, yakni menjaga kehormatrn istri, tidak menyia-nyiakannya, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. Firman Allah dalam QS. at-Tahrim ayat 6: Hai orang-orang yangberiman peliharalah diirimu dan keluargamu dan api neraka.
2. Hak Suami
Suami yang beriman akan mampu menjadi kepala rumah tangga yang baik dan kelak membawa keluarganya menuju surga. Seorang istri yang salehah tentunya yang selal'u taat pada suaminya serta mampu membawa keluarganya senantiasa dalam kebaikan. Firman Allah dalam surah an-Nahl ayat 80: Dan Allah mmjadikan bagimru rumah-rumahmu sebagai tempot tinggal (mendapat keturunan)- Suami sebagai pemimpin rumah tangga memiliki hak-hak yang didapatkan dari istri dan anak-anaknya. Istri menghormati suami, dan anak-anak menghormati ayahnya.
3. Hak Bersama Suami Istri
Hak-hak bersama diantara suami istri, yaitu:
a. Halalnya pergaulan sebagai suami-istri dan kesempatan saling menikmati atas dasar kerja sama dan saling memerlukan.
b. Sucinya hubungan perbesanan
c. Dalam hal ini istri haram bagi laki-laki dari pihak keluarga suami, sebagaimana suami haram bagi perempuan pihak keluarga istri.
d. Berlaku hak saling mewarisi. Apabila salah seorang di antara suamiistri meninggal, salah satu berhak mewarisi walaupun keduanya belum bercampur.
e. Perlakuan dan pergaulan yang baik.
f. Menjadi kewajiban suami istri untuk saling berlaku dan bergaul dengan baik, sehingga suasana menjadi tenteram, rukun, dan damai.
4. Kewajiban Istri
Adapun kewajiban istri kepada suami yaitu:
a. Hormat dan patuh pada suami dalam batas-batas ketentuan nonna dan susila.
b. Mengatur dan mengurus rumah tangga, menjaga keselamatan dan mewujudkan kesejahteraan keluarga.
c. Memelihara dan mendidik anak sebagai amanah Allah Swt..
d. Memelihara dan menjaga kehormatan serta melindungi harta benda keluarga.
e. Menerima dan menghormati pemberian suami serta mencukupkan nafkah yang diberikan dengan baik, hemar, cermat, dan bijaksana.
5. Kewajiban Suami
Adapun kewajiban suami kepada isri dan anak-anaknya, yaitu:
a. Memelihara, memimpin dan membimbing keluarga lahir dan batin, serta menjaga dan bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraannya.
b. b.Memberi nafkah sesuai kemampuan serta mensusahakan keperluan keluarga terutama sandang, Pangan, dan papan.
c. c.Membantut tugas-tugas istri terutama dalam hal memelihara dan mendidik anak-anak dengan penuh rasa tanggung jawab.
d. Memberi kebebasan berpikir dan bertindak kepda istri sesuai dengan ajaran agama, tidak mempersulit apalagi membuat istri menderita lahir-batin yang dapat mendorong istri berbuat salah.
e. Dapat mengatasi keadaan, mencari penyelesaian secara bijaksana dan tidak berbuat sewenang-wenang.
6. Kewajiban Bagi Suami Istri
a. Saling menghormati orangtua dan keluarga kedua belah pihak.
b. memupuk rasa cinta dan kasih saying, Masing-masing harus dapat menyesuaikan diri, seiya sekata, Percaya mempercayai  sertaselalu bermusyawarah untuk kepentingan bersama.
c. Hormat-menghormati, sopan-santun, penuh pengertian dan bergaul dengan baik.
d. matang dalam berbuat dan berpikir serta tidak bersikap emosional dalam persoalan Yang dihadapi.
e. Memelihara kepercayaan dan tidak membuka aib'/rahasia pribadi.
f. Sabar dan rela atas kekurangan-kekurangan dankelemahan-kelemahan masing-masing.
7. Kewajiban Suami Istri Menurut UU Perkawinan
Hak dan kewajiban suami istri diatur dalam Bab vI Pasal 30 sampai Pasal 34 uu ,No,1'/1974 tercantum. Dalam Pasal 30 dinyatakan bahwa suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga  yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Kemudian dalam Pasal 31 dinyatakan :
1. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3. Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
Mengenai kewajiban suami istri dijelaskan Pasal 33: "Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun