Mohon tunggu...
Naufal Cahaya Pangestu
Naufal Cahaya Pangestu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said

Seorang laki laki tampan gagah dan berani. merupakan mahasiswa aktif di salah satu perguruan tinggi negri berbasis islam di Solo Raya.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Hukum Perkawinan di Indonesia Dalam Perspektif Hukum Perdata, Hukum Islam, dan Hukum Administrasi

12 Maret 2024   22:24 Diperbarui: 12 Maret 2024   23:00 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan saat ini banyak dipertanyakan relevansi kehidupan berkeluarga atas dasar pernikahan, hal ini menunjukkan adanya keraguan terhadap kehidupan berkeluarga yang dibangun di atas pondasi perkawinan, dengan demikian kita harus memahami dengan baik hakikat perkawinan. 

Dalam sistem hukum positif di Indonesia, keluarga dan perkawinan diatur dalam UU No. 1/7974, sehingga untuk mengetahui hakikat perkawinan, maka perlu dibedah UU tersebut dari aspek yuridis, sosiologis maupun filosofisnya. Hal ini karena UU tersebut merupakan norma hukum yang berlaku mengikat untuk warga negara Indonesia di mana pun dia berada. Oleh karena itu, dengan adanya kajian dari sisi hukum, sosial dan filsafat, diharapkan akan diperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai makna perkawinan yang merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia.

 Usaha untuk mengadakan kompilasi hukum Islam telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia telah menjadi semacam "fikih keindonesiaan" dan atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata Islam yang sangat diperlukan sebagai pedoman dalam bidang hukum material bagi para hakim di lingkungan peradilan agama, sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum dalam mengadili suatu perkara. 

Hal ini dikarenakan apabila tidak ada undang-undang yang mengatur tentang hal tersebut, maka hakim tentunya akan merujuk pada pendapat para ulama madzhab yakni Imam Syafi'i, Imam Maliki, Imam Hanbali, dan Imam Hanafi, sehingga dapat dipastikan dalam perkara yang sama akan ada putusan-putusan pengadilan yang berbeda-beda karena masing-masing hakim dapat berbeda-beda orientasi madzhabnya serta rujukan kitabnya.
Pembahasan
Bab 1
A. Pengertian dan Tujuan Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan Menurut Bahasa
Perkawinan adalah merupakan suatu kata,/istilah yang hampir tiap hari didengar dalam pembicaraan atau dibaca dalam media massa cetak maupun diSital/elektronik. Namun jika ditanyakan apa yang di maksud dengan istilah tersebut, orang akan berpikir terlebih dahulu untuk mendapatkan formulasi yang tepat. Perkawinan menurut bahasa Arab berasal dari kata al-nikah yang bermakna al-wathi' dan al-dammu wa al-tadakhul. 

Terkadang juga disebut al-dammu wa al-jam'u, atau ibarat 'an al-wathi' wa al-'aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul, dan akad Dalam kamus bahasa Indonesia ada dua kata yang menyangkut masalah ini, yaitu kawin dan nikah. Kawin menurut bahasa adalah membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristri, menikah. Perkawinan mengandung arti perihal (urusan dan sebagainya) kawin, pernikahan, Pertemuan hewan jantan dan betina secara seksual. 

Pernikahan yang berasal dari kata nikah mengandung arti ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan agama. Adapun pernikahan mengandung arti hal (Perbuatan) nikah, upacara nikah. Definisi perkawinan menurut bahasa bersenggama atau bercampur dalam pengertian majaz orang menyebut nikah sebagai akad, sebab akad adalah sebab bolehnya bersenggama atau bersetubuh. 

Golongan Hanafiyah mendefinisikan nikah itu adalah akad yang memfaedahkan memiliki, bersenang-senang dengan sengaja, golongan asy-Syafi'iyah nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan watha' dengan lafaz nikah atau tazwij atau yang semakna dengan keduanya, golongan Malikiyah nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk membolehkan watha', bersenang-senang dan menikmati.
Menurut Sayuti Thalib, definisi perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kukuh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, tenteram dan bahagia. Hazairin menyatakan bahwa inti dari sebuah perkawinan adalah apa yang ada pada diri seorang wanita yang boleh nikah dengannya, dan golongan Hanabilah nikah adalah akad dengan menggunakan lafaz nikah atau tazwij guna membolehkan manfaat, bersenang-senang dengan wanita hubungan seksual, menurutnya tidak ada nikah (perkawinan) bila tidak ada hubungan seksual.
 
2. Pengertian Pernikaham Menurut UU
Pengertian perkawinan menurut ketentuan pasal 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pengertian perkawinan yang diberikan oleh UU tersebut, terdapat lima unsur dalam perkawinan yakni :
a. Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
b. Sebagai suami istri
c. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang Bahagia dan kekal
d. Berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa.
Menurut rumusan Pasal UU No. 1 Tahun 1974 tersebut bahwa ikatan suami istri harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yakni perkawinan merupakan perikatan yang suci. perikatan tidak dapat melepaskan dari agama yang dianut suami istri. Hidup bersama suami istri dalam perkawinan tidak semata-mata untuk tertibnya hubungan seksual tetap pada pasangan suami istri, tetapi dapat membentuk rumah tangga yang bahagia, rumah tangga yang rukun, kekal, aman, dan harmonis antara suami istri.
 
3. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan menurut perintah Allah adalah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat melalui dibentuknya rumah tangga yang damai dan teratur, hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam QS. ar-Ruum ayat 21:
 
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnga pada yang demikion itu benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berfikir."
Bagi penganut agama Islam, hukum perkawinan adalah merupakan bagian dari ajaran agama islam yang wajib ditaati dan dilaksanakan sesuai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ketentuan agama Islam dan tidak ada ketentuan/norma dalam UU Perkawinan yang bertentangan dengan hukum Islam. 

Adapun tujuan dari perkawinan menurut, ketentuan Pasal 1 UU No. 7/7974 adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun dalam KUH Perdata tidak ada satu pasal pun yang secara jelas-jelas mencantumkan mengenai tujuan perkawinan itu. 

Dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan berumah tangga yang Sakinah, mawaddah, dan warahmah. Adapun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganur prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan. Ketentuan dalam UU Perkawinan yang mempersulit perceraian dimaksud bertujuan agar perkawinan tersebut berlangsung kekal dan agar suami istri beserta anak-anaknya dapat hidup bahagia. 

Faedah dalam perkawinan adalah untuk menjaga dan memelihara perempuan yang lemah itu dari pada kebinasaan. Sebab seorang perempuan apabila telah kawin, maka nafkah maupun perlindungannya menjadi tanggungan suaminya.
 
4. Filosofi Pernikahan
Sehubung dengan konsep ideal yang dicita-citakan berlangsung dalam keadaan serasi yang mencerminkan dapat dipenuhinya kebutuhan keluarga dan perkawinan, yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan: pribadi, sosial, dan Tuhan. Sementara aspek epistemologi adalah upaya filosofis untuk memahami hakikat kebenaran dan pengetahuan yang dapat dicapai rasio manusia atas hukum keluarga dan perkawinan sehingga akan dapat dipelihara dengan baik sebagai sarana manusia untuk menunaikan kehidupan di dunia. Aspek aksiologi berupaya mengetahui hakikat esensi nilai yang terdapat di dalam hukum keluarga. 

Fokus dari nilai di sini adalah mengenai baik dan buruk dari sudut pandang rnoral etika dan manfaat. Berpangkal dari keluarga yang terbentuk atas dasar perkawinan antara seorrng laki-laki dan seorang perempuan, kemudian menimbulkan hubungan keluarga yaitu dibedakan atas dasar keturunan darah maupun hubungan perkawinan. Demikian pula timbul hubungan kewarisan yang rnenjadi kepentingan negara untuk mengaturnya dalam hukum positif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun