Mohon tunggu...
Natasha Nurdin
Natasha Nurdin Mohon Tunggu... Freelance -

Pemimpi yang cinta damai. Blog: natashanurdin.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pelangi

11 September 2016   12:49 Diperbarui: 11 September 2016   12:57 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namaku Pelangi. Aku lahir di antara matahari dan hujan. Ibu dan ayahku sangat bahagia menyambut kelahiranku. Kata mereka, tangisku seperti lantunan melodi yang dinyanyikan seribu malaikat. Mereka berdoa, semoga hidupku selalu penuh warna-warni layaknya pelangi yang tampak indah menghiasi bumi.

***

Langit sore ini tampak kelabu. Tak ada cahaya matahari yang biasanya membias di langit sore ibukota. Hanya ada awan yang menumpuk berdesakan menutupi sang surya. Mendung. Sepertinya akan turun hujan. Kuseruput kopi yang sejak tadi kudiamkan dalam genggamanku. Dingin dan pahit. Sepertinya aku lupa memasukkan gula. Ada apa dengan hari ini? Aku terlalu banyak melamun.

Kulihat jam di dinding. Sudah pukul setengah enam sore rupanya. Jam kerja sudah selesai sejak pukul empat sore tadi. Tapi aku masih disini, melamun di meja kerja sembari menatap langit kelabu di luar jendela. Rasanya enggan pulang ke apartemenku. Apartemen kami maksudnya.

“Ris, lobelum pulang juga? Udah mau jam 6 lho!”, Reno mengangetkanku.

Seketika aku tersentak dari lamunanku dan kopi di gelas yang kugenggam tumpah sedikit. Aku hanya bisa menggerutu sembari membersihkan percikan kopi yang hampir membasahi dokumen-dokumen di meja kerjaku.

“Apaan sih lo, No! Bikin kaget orang aja! Ini juga gue udah siap-siap mau pulang”, sahutku.

“Siap-siap apanya? Daritadi juga gue liatin lo bengong-bengong terus liatin jendela. Emang si Bas nggak jemput? Lagi berantem ye?”, ujar Reno menggodaku.

“Ah, resek. Ini gue pulang sekarang”, aku membalas dengan ketus.

“Ooooh, pasti berantem lagi ya? Atau lo mau nemenin gue lembur hari ini makanya nggakpulang juga? Hahahaha”, Reno kembali menggodaku.

Bodoamat. NO COMMENT

Segera kurapikan tas kerjaku. Aku ambil barang-barang yang tampak tanpa memeriksanya terlebih dahulu. Dengan langkah enggan, aku berpamitan pada Reno dan segera meluncur ke lift. Aku memencet tombol GF. Masih ada 10 lantai yang harus dilewati. Aku terdiam dan kembali melamun. Masih segar dalam ingatanku kejadian pahit beberapa hari yang lalu.

***

Jum’at tanggal 10 Juni, hari yang tak pernah bisa kulupakan seumur hidupku. Hari ulang tahun Bhaskara, kekasihku. Aku sudah menyiapkan sebuah kejutan kecil. Pada Rabu petang, aku sengaja membuatnya kesal dengan mengatakan bahwa aku tidak bisa merayakan ulang tahunnya karena esok akan ada meetingdi luar kota dan baru kembali pada Sabtu malam. Tapi dia hanya berkata, “Nggak apa-apa, Sayang. Udah umur segini, buat apa ngerayain ulang tahun segala”, ujarnya sambil tersenyum manis seperti biasa. Aku mengiyakan sambil mencoba menahan senyum karena telah menyiapkan kejutan spesial untuknya. Seperti biasa, sore itu berakhir dengan canda dan tawa. Aku merasa utuh saat bersama Bas, matahariku.

Kamis pagi. Aku terbangun dan kulihat Bas masih terlelap di sisiku. Ku tatap setiap inci tubuhnya. Begitu menawan, masih sama seperti saat pertama kali aku berjumpa dengannya. Rahang yang kokoh, bibir tipis, kumis dan jenggot yang mulai tumbuh tidak beraturan, kulit coklat terbakar sinar matahari. Kupeluk dadanya yang bidang dan sontak membuatnya kaget. Terbangun dari tidur pulasnya.

“Ada apa, Sayang? Kok pagi-pagi gini udah manja-manja aja?”, ujarnya masih mengantuk sambil menggosok mata.

Nggak ada apa-apa, Sayang. Aku cuma mau meluk kamu yang lama, soalnya kan hari ini aku harus ke Semarang. Nanti nggak bisa peluk-peluk kamu tiga hari ini. Mana aku nggak bisa rayain ulang tahun kamu lagi”, jawabku memelas sambil mencoba menahan senyum, takut rencana kejutanku akan terbongkar.

“Duh, kamu ngegemesin banget sih. Sini aku peluk yang lama”, Bas menggendong tubuhku dan jatuh ke pelukannya sambil mencoba menggelitik pinggangku.

“Ih, geli tau, Bas”, aku menggeliat geli.

Bas kemudian memelukku, lama, dan mengecup keningku. Ada yang berbeda darinya. Entah apa, tapi aku tak punya firasat apapun. Yang aku tahu, detik ini aku sangat bahagia ada di sisinya, di pelukannya.

“Ris, kamu tahu. Aku bahagia bisa ketemu kamu. Kamu jadi warna dalam hidup aku yang dulunya suram dan kosong. Kamu seperti pelangi yang muncul setelah badai. Aku pria yang beruntung. Tapi...”, Bas tiba-tiba terdiam.

“Tapi apa, Sayang?”, sahutku penasaran.

“Tapi... tapi aku selalu sayang kamu!”, katanya sambil tertawa.

“Ih, Bas! Kirain ada apa. Aku udah deg-deg-an. Aku juga sayaaang banget sama kamu”, aku berkata sambil mengencangkan pelukanku.

“Iya, aku tahu koook. Udah ya, aku mau siap-siap dulu. Kamu juga siap-siap gih, pesawatnya jam 9 pagi kan? Nanti ketinggalan lho”, Bas melepaskan dekapannya dariku dan segera meluncur ke kamar mandi.

Aku mengangguk sambil tersenyum. Tapi hari ini aku tidak bisa tenang. Aku masih memikirkan ucapan Bas yang menggantung tadi. Ada apa ini? Kenapa hatiku gelisah? Kenapa perasaanku tidak enak? Namun aku enggan untuk bertanya pada Bas. Aku tidak mau menghancurkan hari yang telah dimulai dengan kebahagiaan.

Aku segera mengambil koper kecil dan memasukkan pakaian, sepatu, peralatan mandi dan make-up, serta dokumen-dokumen penting untuk meetingnanti. Harusnya aku packingtadi malam, aku menggerutu. Alhasil, aku panik dan kalang kabut memilih baju-baju yang harus dibawa. Saat aku mengambil baju dibawah tumpukan pakaian lain di lemari, ada sesuatu yang tersenggol dan jatuh ke lantai. Aku segera memungutnya. Ternyata lipstick merek YSL yang masih tersimpan rapi di dalam dusnya. Rasanya aku tidak punya lipstick merek ini, ditambah lagi warnanya yang merah gelap. Bukan seleraku. Tapi lipstick ini kan lipstick mahal. Mungkin Bas mau memberikan kejutan untukku. Dia kan laki-laki, tidak paham warna-warna lipstick, jadi bisa saja Bas sembarangan mengambil di counter dan langsung membayar tanpa mengeceknya lagi. Aku hanya bisa tersenyum geli membayangkan Bas dengan canggung datang ke counter make up untuk membeli lipstick. Kutaruh kembali lipstick itu ke sela-sela tumpukan pakaian. Aku tidak ingin mengacaukan kejutan Bas, ucapku dalam hati. Tak lama, Bas keluar dari kamar mandi sambil menggosok rambutnya dengan handuk. Ia tampak panik saat melihatku merapikan tumpukan baju di lemari.

“Ada apa, Sayang. Kamu kok pakengerapiin baju segala di lemari? Udah biarin sama aku, kamu kan harus cepet ke bandara. Ini aja kamu belom mandi. Buruan mandi sana”, kata Bas sambil terburu-buru membantuku merapikan lemari.

“Ini aku mau ngambil baju yang mau dibawa. Posisinya agak dibawah, makanya ribet”, jawabku polos, pura-pura tidak tahu tentang lipstick yang kutemukan.

“Ya udah, Sayang. Biar aku yang lanjutin beres-beres dan packingbarang-barang kamu. Ada lagi nggak yang mau dibawa?”

Nggak ada, semua yang mau dibawa udah aku taro di atas kasur. Makasih banyak ya Bas-ku sayaaang”, balasku genit sambil mencium pipinya dan berlalu ke kamar mandi. Ternyata wajah Bas yang panik menggemaskan juga, pikirku dalam hati.

***

Ku lihat jam tanganku. Sudah pukul setengah 10. Seharusnya aku sudah boardingdari setengah jam yang lalu. Kulirik orang-orang di sekitarku. Mereka juga tampak cemas, sama sepertiku. Kenapa belum ada juga panggilan untuk naik ke pesawat. Tak lama, ada pengumuman dari maskapai penerbangan yang akan kunaiki.

“Perhatian kepada para penumpang penerbangan nomor x. Karena ada gangguan teknis, penerbangan anda akan ditunda selama 45 menit. Terimakasih. Attention please to passengers of flight number x. Because of technical problem, your flight will be delayed for 45 minutes. Thank you.

Sial, ujarku dalam hati. Tahu begini lebih baik aku sarapan dulu bersama Bas. Karena tadi terburu-buru, Bas hanya mengantarku sampai tempat drop offdi bandara. Kami hanya berpamitan sebentar dan Bas segera meluncur ke kantornya. Kuambil ponselku dan mencoba menelepon Bas.

“Tuuuuut........ Tuuuuuuuut....... Tuuuuuuut........... Nomor yang anda tuju sedang..... Klik.”, segera kuakhiri panggilannya.

Tumben. Biasanya Bas selalu mengangkat teleponku. Mungkin dia sedang sibuk. Aku berusaha untuk positive thinking. Tak mau menunggu lama, segera aku telepon bosku yang telah lebih dulu sampai di Semarang kemarin malam.

“Halo, Ris. Kamu belom berangkat? Kok jam segini masih bisa telepon? Mau kabur ya dari meeting? Hahahaha”, jawab bos ku di telepon sambil bercanda.

“Halo, Bos. Ha? Bukan. Saya nggak kabur, Bos. Mau laporan, pesawatnya delay45 menit. Saya minta maaf sekali Bos. Saya takut nanti nggak keburu ikutmakan siang bareng klien”, jawabku sambil terus meminta maaf kepada bosku.

“Oooh, kalau makan siang nggak ikut mah nggakapa. Kan ada Tara sama Shinta juga disini. Tapi gantinya, nanti kamu pijitin saya sama klien ya abis presentasi, hahahaha”, terdengar tawa renyah bosku di seberang telepon.

“Yaah, boos.....”, aku meringis.

“Hahahaha.... bercanda, Riss. Orapopo. Yang penting kamu selamat sampai tujuan. Nanti kabari saya ya, kalau ada apa-apa”

“Iya. Makasih banyak ya Bos untuk pengertiannya. Sampai ketemu di hotel nanti”, sahutku lega.

“Iya, Ris. Sampai ketemu. Safe flight.Udah ya, saya mau nonton dulu, hahahaha. Tuuut.....”

Satu masalah selesai. Aku bersyukur punya bos yang baik dan pengertian. Padahal cucunya sudah dua, tapi tingkahnya masih seperti anak muda. Aku hanya bisa tersenyum geli memikirkan kelakuan-kelakuan bosku. Tiba-tiba aku teringat Bas. Aku meneleponnya sekali lagi.

“Tuuuuut........ Tuuuuuuuut....... Tuuuuuuut........... Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau. Klik”, kumatikan dan kucoba telepon sekali lagi.

“Tuuuuut........ Tuuuuuuuut....... Tuuuuuuut........... Nomor yang anda. Klik.”, kumatikan lagi. Ada apa ini? Kenapa Bas daritadi tidak mengangkat teleponku?. Kucoba sekali lagi.

“Nomor yang anda tuju sedang. Klik.” Kali ini teleponnya mati. Akhirnya dengan perasaan kesal, aku mengirim pesan pada Bas.

“Sayang, kenapa ga bisa ditelp? Pesawatku delay. Kabarin aku secepatnya”

Tak lama, pengumuman kembali terdengar di ruang tunggu. Ternyata 45 menit telah berlalu dan penumpang diminta untuk segera naik ke pesawat. Dengan perasaan gundah, aku melangkah gontai menuju pesawat dan segera mencari nomor kursiku. Setelah kutemukan, aku segera duduk dan larut memikirkan Bas di sepanjang perjalanan.

***

Meetingdi Semarang berjalan lancar. Sangat lancar. Bos dan klien puas akan presentasiku hari ini. Kerjasama pun terjalin dan kontrak telah ditandatangani. Namun hatiku masih gelisah. Sejak turun dari pesawat tadi siang hingga malam ini, Bas masih belum bisa dihubungi. Aku takut ada hal-hal buruk yang terjadi padanya. Bos dan teman-temanku sedang berpesta di bar hotel dan aku hanya duduk diam sambil terus-terusan mengecek ponselku.

“Ris, kenapa lo bengong aja? Itu si Bos udah siapin yang spesial buat lo. Berkat lo, kerjasama hari ini lancar jaya. Ayo gabung!”, Shinta mengagetkanku dari belakang.

“Eh iya, Shin. Sori-sori, ada yang mau gue urus dulu. Bentar lagi guegabung kesana. Lo duluan aja”, sahutku.

Shinta segera berlalu dan kembali bergabung dengan bos dan teman-teman yang lain. Tak lama ponsel di tanganku berdering. Dari Bas. Tanpa pikir panjang segera kuangkat.

“Halo Bas. Kamu kemana aja? Daritadi aku hubungin nggak bisa-bisa!”, aku langsung menggerutu.

“Halo, Sayang. Maaf banget ya. Tadi aku ada tugas mendadak, disuruh ke lapangan ngurus proyek. Baterai hp-ku habis, aku nggak bawa casan. Ini aku baru banget nyampe apartemen. Sekali lagi maaf ya, Iris sayang. Nanti kalau kamu pulang kita dinneryaa”, Bas berusaha merayuku yang merajuk.

“Hmmm.... iya deh. Aku maafin kamu. Tapi syaratnya kamu harus bikindinner-nya romantis seromantis-romantisnya”, aku masih berlagak ngambek.

“Iya, Sayang. Apa sih yang nggak buat Pelangi-ku. Eh, ngomong-ngomong gimana meeting-nya? Lancar?”

“Lumayan. Tapi besok harus lanjut lagi, soalnya klien masih kurang puas sama presentasiku”, jawabku. Padahal meetingberjalan lancar dan telah selesai. Aku sengaja berbohong agar kejutanku besok tidak gagal.

“Yaudah, kamu istirahat ya sekarang. Besok kan harus meetinglagi. Besok lanjut lagi neleponnya, oke? Selamat istirahat, Sayang”

Bas langsung mematikan teleponnya tanpa memberiku kesempatan untuk menjawabnya. Ada apa? Firasatku mulai tidak enak. Tapi aku masih berusaha untuk positive thinking.Mungkin Bas juga kecapaian setelah seharian mengurus proyek dan ingin segera tidur. Aku juga harus tidur karena besok mengejar penerbangan pagi, kembali ke Jakarta. Aku tidak ingin rencana kejutan ulang tahun untuk Bas besok gagal karena aku ketiduran. Aku beranjak menghampiri bos dan teman-temanku untuk pamit tidur. Mereka berusaha mengajakku bergabung dengan mereka, namun aku menolak dengan halus. Segera aku menuju kamar dan terlelap dengan perasaan berdebar.

***

Pagi yang cerah di ibukota. Rencanaku satu per satu mulai kujalankan. Kuharap semuanya lancar. Tak mau berlama-lama di bandara, aku langsung bertolak menuju toko kue langgananku. Aku memesan kue coklat kesukaan Bas. Aku memberikan rangkaian kata untuk dihias di atas kue ulang tahun kepada pegawai toko. Sambil menunggu kue selesai dihias, aku memilih lilin angka bernomor 3 dan 0. Aku juga memilih kartu ucapan yang disediakan di toko itu. Kartu ucapan berwarna coklat dengan desain sederhana. Bas orang yang tidak suka bermewah-mewah, dia tidak suka sesuatu yang glamour. Jadi aku sengaja membuat semuanya sesimpel mungkin, namun penuh arti dan makna.

Dari toko kue, aku berangkat ke mall terdekat. Disana, aku mampir ke toko sepatu dan memilih sepatu yang cocok untuk Bas. Sepatu kerjanya sekarang sudah mulai terkelupas dan solnya mulai menipis. Kurasa, sepatu adalah kado yang tepat untuknya. Pilihanku tertuju pada sepatu pantofelberwarna coklat tua. Selesai memilih sepatu, aku mencari toko alat tulis untuk membeli kertas kado. Saat berjalan menuju toko alat tulis, aku melihat banner yang menampilkan kalung pasangan di toko perhiasan. Aku tertarik dan mampir kesana. Apa salahnya memberikan dua kado, pikirku. Apalagi kalung ini kalung pasangan, pasti akan jadi hadiah yang berarti pula bagi Bas. Tanpa pikir panjang, aku langsung membeli kalung pasangan tersebut dan segera menuju toko alat tulis, memilih kertas kado dan meminta pegawainya untuk membungkus kedua hadiah yang telah aku siapkan.

Kulihat jam tanganku. Hari sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Harusnya Bas sudah ada di rumah dari pukul tiga tadi. Biasanya hari Jum’at Bas selesai kerja lebih cepat dan langsung pulang, tidak mampir kemana-kemana. Aku sengaja tidak meneleponnya seharian agar tidak mengacaukan rencanaku. Aku berjalan menuju lobby malldan memesan taksi untuk pulang ke apartemen.

Aku telah sampai di depan pintu apartemen. Kuenya telah dipasang lilin yang menyala. Aku tidak sabar memencet bel pintu apartemen kami. Pasti Bas akan sangat kaget mendapatiku ada di depan pintu sambil membawa kue ulang tahun, pikirku. Ini kejutan ulang tahun yang sangat sempurna.

“Ding.... Dong.....”, aku memencet bel.

“Ya, tunggu sebentar”, Bas membuka pintu dengan enggan. “Iris?!?! Kamu kok....”

“Kejutaaan! Selamat ulang tahun, Sayang!”, aku menyambut Bas di depan pintu sambil memegang kue ulang tahun.

“Kamu.... kamu.... kok? Kan katanya baru pulang hari Sabtu??”, Bas terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba.

 “Hehehe... kaget ya? Kan kamu ulang tahun hari ini, aku mau kasih kejutan dong. Udah, tiup dulu lilinnya, keburu abis ntar dilahap api. Eh, jangan lupa make a wishya sebelum tiup lilin”

Bas meniup lilin ulang tahunnya dengan terburu-buru. Saat akan memberikan kado, tiba-tiba ada seseorang yang menyela dari dalam apartemen kami.

“Siapa Beb? Kok lama amat? Tukang antar makanan ya?”, kata seorang wanita di dalam sana.

Jedar. Aku diam mematung. Siapa yang ada di dalam? Siapa wanita yang ada di apartemen kami? Tanpa bertanya, aku segera masuk ke dalam. Bas berusaha menghalangiku. Tapi secepat kilat pula aku berhasil mendorong Bas dan mendapati seorang wanita dengan pakaian minim di dalam apartemen kami. Apa yang dilakukannya disini? Sebelum aku bisa berkata-kata, Bas sudah terlebih dahulu menyelaku.

“Iris. Sayang. Aku bisa jelasin ke kamu. Dia... dia Verisha, teman sekantorku. Tadi ada proyek yang belum beres, jadi dia.... dia mampir kesini buat nyelesaiin proyek kantor sama-sama”, Bas menjelaskan dengan terbata-bata.

“Proyek? Proyek apa? Mana ada ngerjain proyek kantor di rumah? Pake baju seksi lagi?!”, aku langsung menjawab Bas dengan nada tinggi.

“Ya, umm.. dia... dia....”, Bas tergagap.

“Udah deh Bas. Pantesan beberapa hari ini aku lihat ada yang aneh dari kamu. Ternyata kamu selingkuh sama wanita ini?! Siapa namanya? Sha? Vesha? Kamu kejam Bas. Kamu...”

“Verisha, mbak Iris. Nama saya Verisha. Aduh, harusnya Mbak ngaca dong. Liat penampilan Mbak, uwel-uwelan gitu. Mana betah Bas sama cewek macam Mbak”, wanita yang bernama Verisha, menyelaku.

Aku tidak menjawabnya. Segera kujambak rambutnya dan mengusirnya keluar dari apartemen kami. Bas sempat mencegahku, tapi urung karena takut melihat api kemarahan di mataku. Bas hanya terdiam. Rencana kejutan ulang tahunku akhirnya gagal total. Tidak ada yang bahagia hari ini. Aku langsung membuang kue ulang tahunnya ke tong sampah dan melempar kado-kado yang rencananya akan kuberikan pada Bas.

Malam itu, yang harusnya menjadi malam yang menyenangkan, berakhir dengan menyakitkan. Aku harus menerima kenyataan bahwa Bas bukanlah sosok lelaki sempurna yang dulu pernah dan terus aku bayangkan. Semua kata cinta yang diucapkan di bibirnya hanyalah kepalsuan belaka. Aku duduk terdiam di sofa. Bas memelukku dari belakang. Aku tak bergeming. Biasanya pelukan ini terasa hangat dan menggetarkan hati. Tapi malam ini, pelukan itu terasa beku.

“Sayang, aku minta maaf sama kamu. Aku tahu aku salah. Kamu udah berusaha keras buat ngebahagiain aku hari ini, tapi aku malah mengacaukannya”, Bas mengucapkan penyesalannya.

Aku masih diam, menatap kumpulan awan yang menari-nari di luar jendela. Sebentar lagi air hujan akan tumpah membasahi tanah, pikirku. Tak terasa, air mata juga meleleh di pipiku. Bas menyeka pipiku yang basah.

“Iris sayang, jangan diemin aku kayak gini dong. Ngomong sesuatu. Marahin aku. Maki-maki aku. Aku pantas nerima sumpah serapah dari kamu. Aku yang salah. Aku yang bodoh. Aku minta maaf, Sayang”, Bas masih berusaha untuk membujukku.

Aku lepaskan pelukannya dan segera menuju tempat tidur. Dalam tangis, aku memejamkan kedua mataku, berusaha tidur walau pikiran dan hatiku masih kacau, berkecamuk, dan penuh luka. Bas mengikutiku ke tempat tidur dan langsung memelukku lagi. Dalam diam, kami tidur berpelukan. Dekat tapi jauh. Hangat tapi kosong dan hampa. Perasaanku hancur. Cinta yang kupercaya selama ini telah mengkhianatiku.

***

Aku tersadar dari lamunan panjangku. Ternyata taksi yang kunaiki sudah sampai di depan lobbyapartemenku. Segera aku bayar dan melangkah gontai menaiki lift menuju kamar. Aku tidak siap bertemu Bas. Apa yang harus kukatakan padanya? Apa aku masih bisa tersenyum seperti biasanya? Apa aku masih bisa mengobrol seperti biasanya? Pertanyaan-pertanyaan itu segera buyar dalam pikiranku setelah aku membuka pintu kamar dan tidak menemukan Bas disana. Kulihat kamar apartemen yang kutempati bersama Bas telah bersih dan rapi.

Kulihat rak sepatu di depan. Tidak ada sepatu ataupun sendal Bas yang biasanya berserakan. Kulihat gantungan pakaian. Tidak ada jaket, dasi, ataupun baju dan celana Bas yang biasa menggantung disana. Hanya ada jaketku saja. Kulihat meja riasku. Tidak ada botol parfum, lotion, ataupun alat cukur Bas. Segera kubuka lemari pakaian. Hanya ada baju-bajuku saja disana yang tertata rapi. Tidak ada lagi baju-baju Bas yang biasanya bertumpuk memenuhi lemari.

Aku terkejut, bagai tersambar petir. Aku duduk tertegun di sofa. Bas tidak disini lagi dan tidak akan pernah kembali. Dia telah pergi, meninggalkan aku dan segala kenangan kami yang dulu pernah ada. Segala kenangan indah, segala kenangan bahagia. Pelupukku mulai penuh oleh air mata dan aku tak mampu lagi menahan derasnya. Tangisku pecah. Aku menangis dan meraung sejadi-jadinya. Mengutuk Bhaskara dan Varisha yang telah menghancurkan hidupku, mematahkan hatiku hingga berkeping-keping. Malam itu, aku terus menerus menangis hingga jatuh tertidur.

Aku terbangun di sofa dan mataku masih basah karena terus menangis hingga tertidur. Kulihat jam di dinding. Pukul dua dini hari. Aku belum ganti baju. Aku berjalan ke kamar mandi, mengganti baju dan mencuci muka. Kubasuh wajahku di wastafel dan bercermin. Mataku sembab dan bengkak. Aku terlalu banyak menangis. Keluar dari kamar mandi, aku membaringkan tubuh di atas kasur. Wangi khas Bas masih tercium disini. Tapi untuk sekarang dan seterusnya, aku harus membiasakan diriku tanpa kehadiran Bas. Aku bangun dan menarik seprai. Aku tidak mau segala hal tentang Bas yang dulu pernah ada terasa disini. Dengan marah aku mengacak kasur dan bantal. Sambil terus menarik seprai, aku menemukan secarik kertas yang terselip di sela tempat tidur. Aku mengambil kertas itu dan ternyata, surat dari Bas. Aku membacanya.

Dear Iris, Pelangi Hidupku,

Maaf, maaf, dan maaf. Aku tahu, seribu ucapan maaf takkan cukup agar kamu bisa memaafkanku. Aku telah melakukan kesalahan, kebodohan yang membuatmu hancur dan terluka. Aku tidak tahu, kenapa aku bisa melakukan hal ini. Bagimu cinta adalah hal yang suci dan sakral. Tidak boleh ternoda sedikitpun. Tapi aku telah menodai cinta kita.

Kamu hadir dalam hidupku, memberikan warna yang berbeda di diriku. Kamu bagaikan pelangi yang muncul setelah hujan turun. Kamu memberi arti dalam hidupku, membuatku belajar tentang arti cinta yang sesungguhnya. Tapi aku begitu keras hati, tak bisa menerima cintamu seutuhnya. Mungkin aku belum pantas menjadi labuhan hatimu.

Verisha datang seperti hujan yang membasahi ladang dan aku tak mampu menolak kehadirannya. Aku tak ingin melepasmu, tapi aku juga tak ingin melepas Verisha. Aku bingung dan bimbang. Aku tak ingin melukai siapa-siapa. Bukan dirimu, bukan juga Verisha. Tapi aku sadar. Aku harus memilih dan setiap pilihan mempunyai sebuah konsekuensi: akan ada yang terluka. Maka aku memilih untuk melepaskan Verisha, dan juga melepasmu, Iris. Biarlah kita semua terluka.

Sejujurnya, aku masih ingin bersamamu. Tapi aku tidak bisa. Aku telah menyakitimu. Jika kita memaksakan untuk kembali bersama saat ini, semua memori yang menyakitkan itu pasti tak akan pernah terlupa seumur hidupmu dan akan terus menjadi duri dalam hubungan kita. Untuk saat ini, biarlah kita berjalan sendirian, di jalan kita masing-masing. Jika kita memang ditakdirkan untuk bersama, kita pasti akan terus bersama. Aku akan berusaha untuk memperbaiki diriku yang penuh nista ini. Begitu juga dirimu, Sayang. Kamu harus mengejar semua mimpi-mimpimu dan selalu menjadi pelangi yang mewarnai kehidupan orang-orang di sekitarmu.

Aku berharap dan berdoa, semoga suatu hari nanti kita bisa bertemu dan bersatu. Aku dengan diriku yang baru dan kamu dengan dirimu yang baru. Jangan sakiti dirimu, Iris. Untuk saat ini, melepaskan adalah jawaban yang terbaik bagi kita. Semoga kamu selalu bahagia, Iris-ku.

Salam Cinta,

Bhaskara Haradika

Air mata yang kusangka telah mengering, ternyata keluar lagi dan membasahi pipiku. Aku sadar, bahagia tidak akan datang begitu saja. Dia harus melewati tangis dan luka. Aku harus melepaskan, jika ingin bersama. Aku harus merelakan, sebelum memiliki untuk selamanya. Aku harus melewati badai, sebelum bertemu pelangi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun