Mohon tunggu...
Irfan Tamwifi
Irfan Tamwifi Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Bagikan Yang Kau Tahu

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Keluar dari Widow Syndrome Akibat Istriku Meninggal Dunia

3 Februari 2022   01:03 Diperbarui: 4 Februari 2022   08:41 2464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi berziarah. (Foto: KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO)

Kami nyaris tidak pernah bertengkar apalagi dengan suara keras, karena kami selalu menyelesaikan masalah apapun dengan menghabiskan waktu berdua. Banyak kolega dan kerabat yang menilai sikapku dan istri seperti kakak-adik atau orang yang masih pacaran, meski sudah 21 tahun menikah. 

Itu sebabnya, sepeninggal istriku sama sekali tak ada nasehat yang benar-benar menyentuh perasaanku. Berbagai nasehat orang agar sabar, tabah dan tawakkal benar-benar terdengar klise dan tak berarti. 

Meski berusaha tegar di hadapan semua orang, tapi sejujurnya jiwaku benar-benar down. Saat itulah aku benar-benar tahu apa yang dirasakan orang yang dilanda patah hati, frustasi  dan sebagian orang yang memilih mengakhiri hidupnya sendiri, tanpa tahu bagaimana keluar dari keadaan ini.     

Aku baru mulai tersadar saat psikolog yang biasa dampingi murid-muridku sering bertanya keadaanku dan memberikan beberapa artikel. 

Semula aku malas membukanya, tapi aku terperangah saat iseng-iseng membaca artikel tentang widow syndrome. Ya, rupanya, aku termasuk orang yang menderita widow syndrome. Syndrome itu biasa dialami orang yang ditinggal mati pasangan yang sangat dicintai. 

Penderita syndrom ini  sangat potensial menyusul pasangannya yang meninggal dunia, karena beban kesedihan yang teramat dalam dan tak mudah terobati. 

Artikel-artikel itu membuatku jadi teringat paman dan bibiku yang menyusul pasangannya tidak lama setelah ditinggal mati. Ironisnya gejala-gejala syndrom itu ada padaku tanpa satu gejalapun terlewati.

"Ya Allah, setelah kepergian istriku, rasanya hidupku sudah tak berguna lagi, tapi bagaimana nasib anak-anakku bila ini harus terjadi padaku?" Gumanku dalam hati. 

Sejak saat itulah aku bertekad untuk bangkit dan berjuang untuk terus melanjutkan hidupku. Ya, aku harus terus hidup dan merasa hidup setidaknya demi mengantarkan anak-anakku mampu hidup mandiri. 

Aku tak peduli berapa lama Allah akan terus memberikan umur untukku. Setidaknya, aku harus hidup dengan penuh semangat agar mampu semangati anak-anakku dalam meraih masa depan mereka.  

Banyak teman dan keluarga yang menyarankan aku segera menikah kembali, padahal sejujurnya hal itu benar-benar jauh dari pikiranku. Aku bahkan heran melihat orang yang langsung menikah beberapa waktu setelah pasangannya meninggal dunia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun