"Enggak aku di sini saja" sergahku ingin menemani istriku.Â
"Ayolah, di mobilku saja. Bisa-bisa kamu nanti kenapa-napa. Sopirnya makin susah" ajaknya dengan memaksa.
Akupun menurutinya dan tak berapa lama mobil mas Samsul terus membuntuti ambulan. Sepanjang jalan wajahku tak henti mandi air mata.Â
Disambut banyak sekali pelayat, jenazah istriku tiba di lapangan sekolah di sebelah rumahku. Hujan tangis kembali pecah saat anak-anak dan keluargaku menyambutku turun dari mobil.Â
Tangisku benar-benar tak mampu kutahan selama sholat jenazah di lapangan itu dan baru sedikit mereda saat pemakaman selesai dan kami diijinkan mendekati makam wanita yang telah menemaniku 21 tahun itu untuk berdoa bersama anak-anak dan keluargaku.
Beberapa lama aku bertahan di sisi makan istriku. aku tak henti bertanya padanya meski sama sekali tak terjawab, "Kenapa? Kenapa mama ninggalin aku dan anak-anak?" tanyaku.
"Dulu mama memaksa papa agar mau tinggal di kampung mama, kenapa sekarang malah pergi duluan?" tanyaku berulang kali.
"Pah Sudahlah... Ayo pulang" Suara anak sulungku yang tegar membuatku terjaga dan dengan berat hati bangkit berdiri, lalu beranjak meninggalkan pemakaman.
Hari itu, aku benar-benar tak tahu apa yang harus aku lakukan. Pikiranku terasa benar-benar kosong, perasaanku hampa dan teramat sedih dengan apa yang telah terjadi. Kehadiran tamu yang silih berganti berlalu begitu saja.Â
Aku bagai orang linglung selama berada di tengah sanak keluarga yang datang dan menemaniku hampir seminggu, dan baru mulai tersadar saat bulan Ramadhan tiba, saat aku benar-benar menyadari keadaanku.