Mohon tunggu...
Naraya Syifah
Naraya Syifah Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan Penggembala Sajak

Tidak ada yang istimewa dari Naraya Syifah, ia hanya seorang gadis kampung yang sederhana, putri sulung dari keluarga sederhana yang disimpan banyak harapan di pundaknnya. Ia memiliki kepribadian mengumpulkan sajak di pelataran rumahnya. Pernah tergabung dalam beberapa komunitas literasi dan alhamdullilah saat ini sebagai penggerak literasi di kabupaten Subang. Ia menjalankan komunitas Pena Cita bersama teman-teman sehobinya. Kecintaannya pada literasi menghantarkannya sampai di sini. Semoga awal yang baru ini dapat lebih mengembangkan tulisannya dan merubah hidupnya. Selain menulis ia juga tergila-gila dengan K-drama yang dapat menginspirasi nya dalam menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Kisah Nyata) Terjebak Rayuan Maut Sang Pujangga

2 Juli 2022   18:30 Diperbarui: 2 Juli 2022   19:29 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada pelataran pagi semilir sang bayu membelai-belai rambutnya yang kemerahan. Matahari mengintip lewat celah jendela kamarnya memeluk seorang perempuan yang tengah diseka duka. Daun-daun berguguran di halaman rumahnya, bunga-bunga menunda kemekarannya, burung-burung tak terdengar nyaringnya, bahkan kupu-kupu berlarian menuju taman yang lain.

Pemilik pilu itu adalah Hummaira Azahra, dia masih membeku di tempatnya menatap nanar sebuah pesan teks yang masuk ke ponselnya. Ia membiarkan air matanya memburai begitu saja melukai garis wajahnya.

Tulisan itu tampak seperti sayatan untuknya. Bodohnya ia masih terus memandanginya seakan menanti bahwa ucapan selamat pagi dan potongan puisi rindu akan kembali diterimanya pagi ini.

Satu menit ... dua menit ... hingga berjam-jam lamanya ia menunggu, kenapa bingkisan puisi itu belum juga ia terima? Apakah terjadi sesuatu di jalan? Apa ia lupa jalan menuju rumahnya?
Dia memeluk kedua lututnya yang bergetar dan menjambak rambutnya frustrasi dengan hati membiru.

"Apa puisimu tak lagi aku?"

"Benarkah?"

"Apa kita sungguh berakhir?"

Brang!

Benda pipih panjang itu ia banting dan menggelinting ke bawah kolong ranjang. Ia menjatuhkan dirinya ke atas kasur lalu menutup wajahnya dengan bantal lalu menangis. Isak tangisnya mulai kencang saat kenangan usang itu kembali berputar-putar di kepalanya yang berisik.

Empat tahun yang lalu ....

Seorang lelaki jangkung bermata elang, pemilik tubuh profosional namun dengan gayanya yang sederhana menghampiri Zahra yang saat itu tengah terduduk sendirian di kursinya.

"Kamu dari mana?" tanya lelaki yang biasa disapa Rey itu.

"Aku dari Subang," jawab Zahra ramah.

"Subang itu kota sepi, tapi tidak sepi lagi kalau ada kamu," gombalnya pada Zahra. 

Bagi Zahra, itu adalah sebuah bahasa untuk menjadi lebih akrab dengan temannya. Saat itu mereka adalah mahasiswa baru yang kebetulan duduk di kelas yang sama.

Zahra tertawa mendengar rayuan Rey yang lebih terdengar seperti lelucon untuknya. "Kamu sendiri dari mana?" tanya balik Zahra.

"Aku dari Surabaya, tapi aku bukan buaya," jawab Rey yang kembali membuat Zahra tertawa.

Keduanya terus berbincang memanfaatkan waktu mata kuliah yang saat itu kosong. Hingga perlahan keduanya menjadi dekat. Zahra dan Rey bahkan mempunyai gaya salam yang berbeda setiap mereka bertemu. Teman-teman mereka yang lain bahkan mengira bahwa keduanya tengah berpacaran. 

Namun sedekat apapun hubungan Zahra dan Rey, keduanya tidak pernah terikat dalam hubungan pacaran. Memang diakui Zahra, terkadang perlakuan Rey yang manis dan perhatian kecilnya acap kali membuat hatinya berdebar, namun ia singkirkan rasa itu jauh-jauh mengingat ia baru saja terluka parah dan belum pulih sepenuhnya. Ia tak ingin luka yang sama kembali diembannya. Butuh banyak waktu baginya untuk kembali membuka hati dan kembali percaya pada sesuatu yang disebut cinta.

Saat menginjak semester ke dua, laki-laki yang bernama Rey itu memutuskan untuk pindah sekaligus mencukupkan kenangannya di sini dengan Zahra. 

Bukankah itu keterlaluan? Apa dia tidak pernah memikirkan nasib seorang perempuan yang sudah menyimpan harapan di pundaknya?

Bukankah Zahra pantas menangis?

Tidak! Zahra tidak berhak atas apapun tentangnya. Kenyataan itu menamparnya. Dan betapa menyebalkannya itu.

"Sudah kubilang, setiap orang yang dekat denganku selalu meninggalkanku," rutuk Zahra pada dirinya sendiri.

Hari-hari yang biasa ia lewati bersama lelaki itu ia tutup dengan tangisan. Kelak dia akan kembali membuka lembar kenangan itu jika dia rindu.

Empat tahun kemudian ....

Reyhan si lelaki egois yang dahulu meninggalkannya tanpa izin kembali datang dan masuk ke dalam hidupnya yang berantakan. Zahra menyambutnya ramah, menyuguhkannya kopi termanis, sepotong kue puisi kesukaannya dan mempersilakannya untuk duduk di kursi kesayangannya. Sampai tibalah masanya mereka menjelma menjadi kita yang bahagia.

Dia hadir membawa obat disaat Zahra sedang merintih kesakitan. Dia datang dengan segala perjuangannya meyakinkan Zahra yang sudah tak mempercayai siapapun lagi. Dia ... lelaki itu nekat mencuri gembok yang sudah lama Zahra sembunyikan agar tak ada siapapun yang berani masuk ke hatinya.

Siapa yang menyangka bahwa potongan puisi yang dihidangkan Rey setiap pagi, romantisme yang dipertontonkannya setiap hari, dan bacaan ayat rindu yang diperdengarkannya setiap malam mampu merubah hati Zahra.

Siapa yang menyangka bahwa Zahra, si gadis kacau itu akan tenggelam dalam lembaran-lembaran puisi indah yang ditulis lelaki itu. Sampai pada tahap ia harus membayar sendiri potongan-potongan puisi itu untuknya.

Latar belakang Rey yang tidak seberuntung Zahra justru membuat perasaannya semakin kuat. Entah empati atau berdasar pada cinta, Zahra akan memberikan materi apapun yang diminta Rey. Baginya, itu tak dapat dibandingkan dengan semilir senyum yang diberikan Rey dengan tulus di hidupnya.

Dalam waktu yang cukup lama, Zahra selalu dininabobokan nyanyian puisi yang didendangkan Reyhan untuknya lalu terbangun dengan buncahan kebahagiaan. Hingga suatu hari ia tersadar bahwa potongan puisi yang biasa ia makan ternyata berduri. Zahra tertusuk durinya. Ia kembali berdarah.

Sebuket mawar putih telah disiapkannya lalu disimpannya di kamarnya. Ia sengaja membelinya sebab teringat lelaki itu yang begitu menyukainya. Bandung -- Surabaya menjadi jarak yang sangat kentara untuk memulai perjumpaan. Namun menjadi hal yang sangat indah karena romantisme jarak itu cukup membuatnya menyimpan bulir-bulir rindu dalam keranjang hatinya.

Zahra mengambil ponselnya lalu memotretnya untuk dikirimnya pada lelaki yang sudah sangat ia rindukan itu. Setelah menunggu beberapa menit akhirnya ponselnya bergetar pertanda sebuah pesan masuk.

"Itu pasti dia," ucapnya saumringah.

Lamat-lamat ia terus menatapnya sambil menahan sesuatu yang sudah berkumpul di pelupuk matanya. Dadanya sesak, sesuatu seperti tengah menghantam jantungnya dengan keras.

AKU INGIN PUTUS!

"Brengsek!"

"Kau bajing*n!"

"Munafik!"

Tentu saja Zahra tidak mengatakan semua umpatan itu. Andai seonggak tubuh yang menyebalkan itu ada di hadapannya saat ini, ia sudah mengulitinya dengan semua makiannya. Ia akan menghancurkan seluruh tubuh itu dengan segala kutukannya.

Tapi apa?

Mulutnya dibungkam dengan tangis, semua makian dan hinaan itu hanya menggumpal di kerongkongannya. Lihat saja ia, meraung-raung sendirian seperti orang bodoh. Dunianya hancur. Seperti mengorek kembali luka yang telah lalu, kali ini luka itu sudah berbau dan berlubang. Bahkan kini bertambah lebar.

Zahra, perempuan tinggi berambut panjang itu meninggalkan Bandung sembari menggendong lukanya dengan setia. Dia membelah jalanan kota dengan motornya, dan kucuran air mata yang senantiasa menemani perjalanannya.

"Aku mohon ... biarkan kita terus bersama. Aku akan menganggap ini tidak pernah terjadi. Mari kembali seperti biasanya dan kita akan baik-baik saja." rintih Zahra memohon agar hubungannya tak berakhir begitu saja.

"Lupakan saja aku. Aku tidak mencintaimu." Reyhan memutuskan teleponnya sepihak meninggalkan Zahra yang masih terisak.

Hari demi hari dilaluinya dengan penuh tangis. Saat kenangan demi kenangan itu kembali membanjiri ruang ingatannya, ia ikut larut dan tenggelam terbawa arus menyakitkan.

Kali ini ia bosan terus bergulat dengan cinta. Bertengkar siang malam dalam pikirannya atas nama cinta. Ia ingin melupakan semuanya dan kembali pada dirinya yang dulu. Seseorang yang kuat tanpa takut apapun.

Tok ... Tok ... Tok ....

Seseorang mengetuk pintu rumahnya. Lantas Zahra bergegas membukanya. Dia tercengang menatap seorang lelaki jangkung bermata elang itu tengah menatapnya dengan tatapan sendu.

"Maafkan aku ... Aku salah. Tidak seharusnya aku meninggalkanmu seperti itu. Aku terbuai dengan masa laluku yang datang dengan wujud lebih indah hingga aku menyia-nyiakan orang sepertimu." 

Dia mencuri tatapku dan menenggelamkan tatapannya di mataku yang sudah kuyup. Dia mengambil kedua tanganku lalu menyimpannya di dadanya, "beri aku kesempatan kedua. Aku janji akan menjagamu lebih baik dan tidak akan pernah menyakitimu."

Munafik! Dia mungkin berpikir bahwa Zahra akan terbuai dengan perkataannya. Zahra melepaskan tangannya lalu mengusap kasar air matanya yang jatuh dengan tak tahu malu.

"Bodoh jika aku harus menerima kembali seseorang yang pernah berkhianat! Itu katamu dulu, kan? Kamu pikir aku akan kembali percaya sama kamu? Jangan mimpi! Aku tidak sepertimu! Aku tidak cukup bodoh untuk melakukan itu!" teriak Zahra di depan Rey.

Rey yang mendengarnya hanya mematung lemas, ia tak menyangka bahwa buah kedatangannya saat ini justru penolakan yang meremukkan perasaannya. Sakit dan penyesalan terus membayanginya mengingat dirinya yang sudah cukup bodoh menyia-nyiakan ketulusan Zahra. 

Namun apa yang harus dilakukannya saat ini? Ia tak punya hak apapun untuk memutuskan, selain rasa bersalah dan penyesalan yang akan selalu ia bawa dalam setiap langkahnya.

"Pergilah, Rey ... jangan muncul lagi di hidupku. Aku tidak mencintaimu."

Tidak peduli seberapa menusuknya kata-kata itu untuk Rey, Zahra tidak akan peduli. Seperti saat dirinya harus menahan sakit ribuan kali akibat lontaran kata yang sama yang pernah diucapkan Rey dulu.

Pergilah Rey ... rasakan bagaimana sakitnya. Nikmati perihnya dicampakkan. Terima semua kesakitan itu seperti bagaimana aku dulu. Lalu dengan begitu aku akan memaafkanmu, dan kamu bisa lebih menghargai hati orang lain.

Reyhan ... bagiku ....

Hanya sekumpulan puisi usang yang sudah waktunya aku kubur dalam kuburan kenangan paling terdalam. Puisi-puisi itu sudah mati bagiku. Aku tak akan mendengarnya lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun