"Aku mohon ... biarkan kita terus bersama. Aku akan menganggap ini tidak pernah terjadi. Mari kembali seperti biasanya dan kita akan baik-baik saja." rintih Zahra memohon agar hubungannya tak berakhir begitu saja.
"Lupakan saja aku. Aku tidak mencintaimu." Reyhan memutuskan teleponnya sepihak meninggalkan Zahra yang masih terisak.
Hari demi hari dilaluinya dengan penuh tangis. Saat kenangan demi kenangan itu kembali membanjiri ruang ingatannya, ia ikut larut dan tenggelam terbawa arus menyakitkan.
Kali ini ia bosan terus bergulat dengan cinta. Bertengkar siang malam dalam pikirannya atas nama cinta. Ia ingin melupakan semuanya dan kembali pada dirinya yang dulu. Seseorang yang kuat tanpa takut apapun.
Tok ... Tok ... Tok ....
Seseorang mengetuk pintu rumahnya. Lantas Zahra bergegas membukanya. Dia tercengang menatap seorang lelaki jangkung bermata elang itu tengah menatapnya dengan tatapan sendu.
"Maafkan aku ... Aku salah. Tidak seharusnya aku meninggalkanmu seperti itu. Aku terbuai dengan masa laluku yang datang dengan wujud lebih indah hingga aku menyia-nyiakan orang sepertimu."Â
Dia mencuri tatapku dan menenggelamkan tatapannya di mataku yang sudah kuyup. Dia mengambil kedua tanganku lalu menyimpannya di dadanya, "beri aku kesempatan kedua. Aku janji akan menjagamu lebih baik dan tidak akan pernah menyakitimu."
Munafik! Dia mungkin berpikir bahwa Zahra akan terbuai dengan perkataannya. Zahra melepaskan tangannya lalu mengusap kasar air matanya yang jatuh dengan tak tahu malu.
"Bodoh jika aku harus menerima kembali seseorang yang pernah berkhianat! Itu katamu dulu, kan? Kamu pikir aku akan kembali percaya sama kamu? Jangan mimpi! Aku tidak sepertimu! Aku tidak cukup bodoh untuk melakukan itu!" teriak Zahra di depan Rey.
Rey yang mendengarnya hanya mematung lemas, ia tak menyangka bahwa buah kedatangannya saat ini justru penolakan yang meremukkan perasaannya. Sakit dan penyesalan terus membayanginya mengingat dirinya yang sudah cukup bodoh menyia-nyiakan ketulusan Zahra.Â