"Kamu dari mana?" tanya lelaki yang biasa disapa Rey itu.
"Aku dari Subang," jawab Zahra ramah.
"Subang itu kota sepi, tapi tidak sepi lagi kalau ada kamu," gombalnya pada Zahra.Â
Bagi Zahra, itu adalah sebuah bahasa untuk menjadi lebih akrab dengan temannya. Saat itu mereka adalah mahasiswa baru yang kebetulan duduk di kelas yang sama.
Zahra tertawa mendengar rayuan Rey yang lebih terdengar seperti lelucon untuknya. "Kamu sendiri dari mana?" tanya balik Zahra.
"Aku dari Surabaya, tapi aku bukan buaya," jawab Rey yang kembali membuat Zahra tertawa.
Keduanya terus berbincang memanfaatkan waktu mata kuliah yang saat itu kosong. Hingga perlahan keduanya menjadi dekat. Zahra dan Rey bahkan mempunyai gaya salam yang berbeda setiap mereka bertemu. Teman-teman mereka yang lain bahkan mengira bahwa keduanya tengah berpacaran.Â
Namun sedekat apapun hubungan Zahra dan Rey, keduanya tidak pernah terikat dalam hubungan pacaran. Memang diakui Zahra, terkadang perlakuan Rey yang manis dan perhatian kecilnya acap kali membuat hatinya berdebar, namun ia singkirkan rasa itu jauh-jauh mengingat ia baru saja terluka parah dan belum pulih sepenuhnya. Ia tak ingin luka yang sama kembali diembannya. Butuh banyak waktu baginya untuk kembali membuka hati dan kembali percaya pada sesuatu yang disebut cinta.
Saat menginjak semester ke dua, laki-laki yang bernama Rey itu memutuskan untuk pindah sekaligus mencukupkan kenangannya di sini dengan Zahra.Â
Bukankah itu keterlaluan? Apa dia tidak pernah memikirkan nasib seorang perempuan yang sudah menyimpan harapan di pundaknya?
Bukankah Zahra pantas menangis?