Pernah pada suatu hari saat uang jajanku dirampasnya hingga ludes bahkan uang tabunganku diambil pula. Aku hanya berpasrah menerima semua kesalahan yang tidak aku lakukan. Guruku mengomentariku bahwa aku tidak bisa menjaga kepercayaan orang tuaku. Orang tuaku yang mengasuhku selama ini yang tak lain adalah om ku sendiri namun biasa kusapa papa dan mama yang merupakan istri dari om ku menuduhku bahwa aku selalu memakai uangnya untuk kupakai sendiri. Hal seperti itu tidak hanya terjadi sesekali namun terus terjadi sampai kelulusanku.
“Nadia, uangnya mana?” tanya guruku begitu membuka buku tabunganku.
Seperti biasa, aku hanya mengatupkan bibirku tanpa berkata satu hurup pun. Aku terlalu takut untuk bicara. Bahkan tubuhku bergetar dan kaki-kakiku lemas.
“Hahahaha ....” ledek semua siswa di kelasku.
Mereka jelas tau semua yang terjadi kepadaku? Dan mereka berpura-pura tuli seakan tidak mendengar. Tidak hanya Rianti dan teman-temannya yang membullyku, tetapi juga geng Reno yang terkenal sangar dan galak. Mana ada orang yang berani membelaku.
Lalu apa yang menarik dari menyiksa seorang anak Sekolah Dasar?
Apa karena kepolosannya?
Atau kepasrahannya menerima nasib?
Apa kalian bersenang-senang melihat ketuna dayaanku?
Tidak hanya teman-temanku yang mengejekku, tetapi juga seseorang yang begitu kuhormati ikut campur dalam meremukkan hatiku yang sudah lebam-lebam.
Saat itu sore hari menjelang magrib, saat gerombolan anak ayam pun sudah masuk ke kandangnya mengikuti induknya. Saat semua cerita keluarga mulai disuguhkan dan menikmatinya bersama-sama menanggalkan seluruh kesibukannya di siang hari. Namun berbeda denganku, bukan senyuman yang dihidangkan di atas piringku, bukan rindu atau romantisme yang ku kunyah saat itu, namun air mata dan sesak yang menghujam jantungku.