Setelah aku merasa cukup baik, aku keluar dan membuka pintu untuk kembali ke dalam kelas. Namun Rianti dan teman-temannya sudah menungguku di luar pintu sambil berkacak pinggang menatapku bengis.
“Lama banget sih, lo di dalem! Lo nggak pingsan, kan? Ha ... ha ... ha ....” makinya mengundang gelak tawa anak-anak lain di sekitarku.
Aku hanya diam membisu tak membalas sehurup pun perkataannya karena tak ingin membuat suasana semakin ribut.
“Mana duit lo? Lo masih punya duit kan, buat kita jajan?” tanya Rianti
“Eng ... enggak ada lagi,” jawabku terbata-bata.
“Alah ... boong lo!” Rianti mengatakannya sembari mendorong tubuhku hingga aku jatuh tersungkur ke belakang.
Dia memerintahkan kedua temannya memegang kedua tanganku sehingga Rianti bisa mengambil uangku dengan bebas di saku bajuku.
“Gak usah lo repot-repot boongin gue, ujung-ujungnya juga duit lo bakal gue ambil. Awas aja kalau lo berani ngadu, gue bakal nyiksa lo lebih-lebih lagi dari ini!” teriaknya di wajahku.
Setelah mengambil semua uang jajanku, Rianti dan teman-temannya melengos pergi disusul olehku yang berjalan mengekor di belakangnya. Sepanjang jalan menuju kelas kata-kata hinaan dan ejekan itu terus masuk dalam ruang dengarku.
Seperti guntur di tengah gulita yang meraung-raung merobek gendangku, menakutiku, dan mencoba membunuhku perlahan sedang aku sendirian di tengah jalan tanpa siapapun bersedia memegang tanganku. Namun seakan sudah biasa, aku mengabaikannya berharap suara hujan itu akan menutupi gemuruhnya. Aku bahkan tidak berani untuk mengatakannya kepada siapapun. Aku hanya dapat menelannya bulat-bulat lalu kumuntahkan semua cacian itu saat ku sendiri.