Mohon tunggu...
Naraya Syifah
Naraya Syifah Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan Penggembala Sajak

Tidak ada yang istimewa dari Naraya Syifah, ia hanya seorang gadis kampung yang sederhana, putri sulung dari keluarga sederhana yang disimpan banyak harapan di pundaknnya. Ia memiliki kepribadian mengumpulkan sajak di pelataran rumahnya. Pernah tergabung dalam beberapa komunitas literasi dan alhamdullilah saat ini sebagai penggerak literasi di kabupaten Subang. Ia menjalankan komunitas Pena Cita bersama teman-teman sehobinya. Kecintaannya pada literasi menghantarkannya sampai di sini. Semoga awal yang baru ini dapat lebih mengembangkan tulisannya dan merubah hidupnya. Selain menulis ia juga tergila-gila dengan K-drama yang dapat menginspirasi nya dalam menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Kisah Nyata) Temanku Guntur Sekolah

29 Juni 2022   19:28 Diperbarui: 2 Juli 2022   08:53 843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar: pinterest

Setelah aku merasa cukup baik, aku keluar dan membuka pintu untuk kembali ke dalam kelas. Namun Rianti dan teman-temannya sudah menungguku di luar pintu sambil berkacak pinggang menatapku bengis.

“Lama banget sih, lo di dalem! Lo nggak pingsan, kan? Ha ... ha ... ha ....” makinya mengundang gelak tawa anak-anak lain di sekitarku.

Aku hanya diam membisu tak membalas sehurup pun perkataannya karena tak ingin membuat suasana semakin ribut.

“Mana duit lo? Lo masih punya duit kan, buat kita jajan?” tanya Rianti

“Eng ... enggak ada lagi,” jawabku terbata-bata.

“Alah ... boong lo!” Rianti mengatakannya sembari mendorong tubuhku hingga aku jatuh tersungkur ke belakang.

Dia memerintahkan kedua temannya memegang kedua tanganku sehingga Rianti bisa mengambil uangku dengan bebas di saku bajuku.

“Gak usah lo repot-repot boongin gue, ujung-ujungnya juga duit lo bakal gue ambil. Awas aja kalau lo berani ngadu, gue bakal nyiksa lo lebih-lebih lagi dari ini!” teriaknya di wajahku.

Ilustrasi gambar by pinterest
Ilustrasi gambar by pinterest

Setelah mengambil semua uang jajanku, Rianti dan teman-temannya melengos pergi disusul olehku yang berjalan mengekor di belakangnya. Sepanjang jalan menuju kelas kata-kata hinaan dan ejekan itu terus masuk dalam ruang dengarku. 

Seperti guntur di tengah gulita yang meraung-raung merobek gendangku, menakutiku, dan mencoba membunuhku perlahan sedang aku sendirian di tengah jalan tanpa siapapun bersedia memegang tanganku. Namun seakan sudah biasa, aku mengabaikannya berharap suara hujan itu akan menutupi gemuruhnya. Aku bahkan tidak berani untuk mengatakannya kepada siapapun. Aku hanya dapat menelannya bulat-bulat lalu kumuntahkan semua cacian itu saat ku sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun