Mohon tunggu...
Dara Ginanti
Dara Ginanti Mohon Tunggu... Jurnalis - Sampoerna University - The University of Arizona

A Beginner in Writing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Fantasi - Andira dan Sebuah Awal (Mulanya Takhayul Bulan Suro Kalender Jawa)

13 September 2017   20:46 Diperbarui: 2 Maret 2018   14:05 1387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sudahlah ibu!" aku berdiri dari tempat tidur dan mendorongnya hingga terjatuh. Aku sudah lelah mendengar semua perkataannya setiap hari, kusiram dia dengan minuman panas buatannya sendiri dan bergegas meninggalkan rumah hampa ini. Dia memanggilku dari belakang, tapi aku tak menengok. Ku acak -- acak lemari pakaian ibu di bilik sebelah dan mengambil semua lembaran uang yang ada dari sana.

Aku berjalan keluar gang kumuh itu dan memberhentikan sebuah taksi. Taksi itu berjalan mengikuti arah tujuan yang kuberikan menembus malam gelap pukul 11 kota metropolitan, Jakarta. Klub malam yang dituju pun akhirnya nampak didepan mata setelah sekian menit berkendara diatas aspal, itulah tempatku melepas semua beban. Lampu berkelap -- kelip yang menerangi ruangan membawa semangatku semakin menggila, di dalam telah menunggu kawan -- kawan berandal lainnya dengan kesibukan masing -- masing mengajakku bergabung. Lagi -- lagi kebiasaan itu berulang, minuman keras rasanya tak pernah lepas dari keseharianku di klub.

Jam masih berdenting menunggu malam berlarut hingga akhirnya menunjukkan pukul 2 pagi. Musik tak berhenti berputar heboh dan tak menghentikan mabukku. Ketika tangan ini memegang gelas wine yang tinggal setengah, tiba -- tiba pula pada saat itu suatu benda dilemparkan memecahkan gelasnya. Wine dan kaca pecah belah berserakan di lantai dan sontak aku berteriak kesal karena ulahnya. "Siapa yang melakukan hal ini!"

Teriakanku tak ada yang menjawab, tak ada yang merasa melemparkan benda itu. Aku menenngok ke luar dan melihat seorang wanita bermasker lari menjauh. Beraninya dia! Aku mulai memaki -- maki wanita itu dan memukulnya, dia tidak berkata sepatah katapun dibalik maskernya. Dengan kemarahanku aku mendorongnya dan ketika aku akan menarik masker itu dari wajahnya, dia menolak dan memberontak. Siapa dia beraninya menentang Andira yang sedang bersenang -- senang. Tak kalah jago, nampaknya dia pernah belajar bela diri juga. Tapi seperti apa yang orang -- orang berikan julukan, disini akulah pemenangnya.

"Beraninya kau!" Aku mencekik leher wanita brengsek itu.

"Pulanglah Andira! Wanita malang!" Jawabnya kecil. Beraninya dia menyebutku wanita malang. Geramku semakin memuncak, hingga akhirnya aku menamparnya dengan tanganku. Dia hanya diam. "Kau pasti akan menyesal, Andira!"

"Beraninya kau bicara seperti itu didepanku, biar kubuat mulutmu tak bisa bicara lagi!" tanganku terbang di udara memukul sang gadis tak tau diri itu, tapi sebelum tangan itu sampai di tubuhnya, seseorang telah memagangi tanganku terlebih dahulu dan menghalangi tanganku untuk memukulnya dari belakang. Laki -- laki berbadan tegap itu memegangi tanganku dan mendorongku menjauh dari si gadis, mereka bergandeng dan pergi meninggalkan tempat itu menjauhiku. Kedua manusia kurang ajar yang sangat ingin kupukuli itu pergi menjauh sangat cepat sampai aku tak bisa mengerjarnya, mungkin karena aku sedang mabuk juga.

Dari kejauhan aku menyipitkan mata, mengingat -- ingat orang yang baru saja kulihat. Tidak asing dimata ini, tapi aku tidak mengingat siapa. Malam yang semakin larut tak kunjung meredamkan emosi gadis ini, hingga akhirnya aku hanya bisa terlarut dalam dunia malam dan kemabukan ini. Hidupku hanya gemerlap di klub untuk malam ini.

Laki -- laki di gang yang pernah menghajar geng kami? Ya, dia yang bersama gadis itu. Aku yakin sekali. Dia adalah orangnya. Kenapa dia kembali?

***

Andira terbangun dari tidur malam pendeknya di hotel bintang lima seorang teman kaya yang semalam ikut mabuk -- mabukan di clubing yang sama. Pergaulannya sudah sangat memprihatinkan, tidak ada lagi yang mengawasi dan membatasi kehidupannya. Hidupnya sudah sangat bebas dan buruk. Andira membasuh wajahnya perlahan dan keluar duduk di balkon bersama si teman. Teman itu duduk sambil memmbaca koran paginya. Pembicaraan tak lepas dari pertemuan santai mereka itu, hingga akhirnya sesuatu menarik perhatian Andira.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun