Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Karena Ia Temanku

29 April 2021   10:50 Diperbarui: 29 April 2021   10:59 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

         Aku tiba di tempat kos sore itu ketika teman-teman mengatakan aku baru saja dicari seseorang. Siapa? Tanyaku menerka-nerka. Mereka mengatakan aku belum kenal karena tamu tersebut memang mendapat saran dari seorang teman kerjaku untuk berkenalan denganku, kata mereka.

                "Tapi, karena Kamu tidak ada, maka kami minta Merta, teman sekamarmu untuk menemuinya. Kini keduanya malah keluar. Ia bersama Merta keluar entah ke mana."

                "Ya, itu namanya rezeki Merta," sahutku sambil memasuki kamar untuk beristirahat karena perjalanan dari rumah orangtua ke tempat kos lumayan jauh.

                Ketika Merta pulang, kutunggu ia bercerita tentang teman barunya itu, tapi ia tidak bercerita apa pun, bahkan ketika teman yang meminta temannya untuk datang dan berkenalan denganku itu menelepon, Merta pun tidak mengatakan apa-apa.

                "Tadi kuminta Dirly untuk datang ke tempat kosmu. Kuminta ia kenalan denganmu. Ia baru saja diterima kerja di bank," ujarnya,"Sudah sampai belum?"

                "Sudah,"kataku tanpa menceritakan yang sesungguhnya terjadi. Kupikir, ia begitu bertemu dengan Merta, langsung tertarik dilanjutkan dengan pergi berdua. Ya, biar sajalah. Toh belum tentu begitu bertemu denganku ia bersikap sama.

                Minggu pagi sebulan berikutnya, ketika aku pulang ke rumah orangtuaku, ada seseorang datang bertamu. Betapa terkejutku, ternyata dia Dirly yang dulu semula diminta berkenalan denganku lalu membelot menggoda Merta. Kini, mengapa ia datang bertamu ke rumah?

                "Merta seolah terobsesi punya pacar yang kerjanya seperti yang kujalani kini. Aku jadi merasa tidak dicintai,"ia melemparkan jurus rayuannya.

                "Salahkah Merta mengingini lelaki yang sudah bekerja? Aku pun sama,"jawabku mulai siaga dan curiga dengan ulahnya. Yang terlintas di hati bukan sekadar mencurigainya, karena aku pun curiga kepada teman yang memintanya datang ke tempat kos untuk berkenalan denganku. Jangan-jangan keduanya bersekongkol mempermainkan aku? Bukankah dulu ia pernah mengenalkannku dengan seseorang lalu kuabaikan?

                Aku dan Merta sekamar kos, meskipun kami sesama pekerja di perusahaan swasta, aku dengan Merta tidak sekantor. Ke mana-mana kami seringkali berdua karena merasa cocok dalam berteman.

                "Jadi, Kamu sama saja dengan Merta?" tanyanya dalam ekspresi polos. Aku hampir saja mencabut prasangka burukku, namun kubatalkan, karena bagaimanapun aku harus waspada.

                Abangku berpesan agar aku berhati-hati ketika berkenalan dengan lelaki. Aku harus jeli menggiring pertanyaan yang membuat ia terpancing mengaku sudah memiliki isteri atau calon isteri, agar aku tidak terluka. Demikian pula terhadap pria yang mengaku telah bekerja, aku pun harus waspada jangan sampai terkesan aku lebih tertarik kepada pekerjaannya daripada ciri fisiknya maupun sikapnya. Ia bohong atau tidak, akhirnya aku juga yang rugi nantinya.

                "Mengapa? Toh aku juga sudah bekerja?"

                "Lelaki pun ingin dicintai karena ciri fisiknya, karena kemampuannya melindungi Kamu, bukan sekadar uang dan pekerjaannya,"jawab Dirly.

                "Tapi aku kecewa saat Kamu terburu-buru mengajak Merta keluar jalan-jalan, padahal niatmu semula kan ingin berkenalan denganku,"protesku kepadanya, yang membuka percakapan bahwa ia kecewa kepada Merta. Katanya ia agresif setelah mengetahui pekerjaannya.

                "Seharusnya Kamu bertahan. Kamu seharusnya menolak ajakannya keluar rumah, apalagi ia mengajakmu nonton film ke bioskop...

                "Ia mentraktirku,"kilahnya,"Aku sudah cerita bahwa aku mencarimu, tapi ia memaksa mengajak keluar jalan-jalan. Makanya kini aku menemuimu ke rumah orang tuamu. Jauh-jauh aku ke sini," jawabnya menatapku.

                "Tidak inginkah Kamu menerima informasi, bahwa sesungguhnya Merta sebagai teman ternyata tega menikungmu?"

                Aku diam tidak segera menjawabnya. Ada setitik rasa percaya kepadanya dan ada setitik kewaspadaan terhadap Merta karena ia tega mencederai pertemanan kami selama ini. Akan tetapi, aku menolak diajak berjalan-jalan pagi itu karena kedua orang tuaku sedang pergi. Di rumah hanya ada dua orang adikku. Bagaimanapun, aku ingin mengetahui, beranikah ia mengajakku berjalan-jalan dengan berpamitan kepada kedua orangtuaku?

                "Kamu harus pamit pada ibuku jika ingin mengajakku jalan-jalan,"tolakku. Ia pun berjanji minggu depan saat aku pulang lagi, ia akan menyusul untuk mengajakku berjalan-jalan dengan cara berpamitan kepada kedua orangtuaku dan abangku. Siapa takut? Tantangnya.

                Sabtu sore aku segera pulang sambil berharap Minggu pagi ia datang kemudian mengajakku berjalan-jalan setelah berpamitan kepada kedua orangtuaku. Ternyata, sampai Minggu sore ia tidak datang. Dalam perjalanan pulang,  di bus aku melihat Merta mengunggah foto kebersamaan mereka berdua dengan pose mesra di story instagram. Busyet, dalam hatiku. Aku pun mengembalikan titik kewaspadaan kepadanya dan kepada teman yang memintanya berkenalan denganku, padahal seminggu yang lalu sudah kuhapus.

                Setiba di tempat kos, malam harinya sambil melihat TV, kubuka instagram sambil berpura-pura tidak mengenal Dirly.

                "Duh, cakepnya pacar barumu, Mer,"ujarku.

                Merta pun menjawab dengan berbunga-bunga,

                "Tampan ya. Atletis pula bodinya. Ia kerja di bank lho. Hebat nggak. Dulu pacarku kerja di perpajakan, kini dapat ganti kerja di bank. Hebat banget kan? Merta gitu loh."

                "Kamu kenal di mana cowok sekeren ini?" tanyaku berlagak blo'on.

                "Kenalnya..." ia berpikir sebentar,"Kenalnya di media sosial dong. Ia mengajakku berkenalan. Katanya terpesona melihat foto-fotoku di IG."

                "Iya sih. Lelaki mana tidak terpesona melihat fotomu,"jawabku.

                "Kalian sering jalan-jalan?"pancingku.

                "Iyalah. Ia kan sudah jelas masa depannya. Jadi, kupepet saja. Kuajak jalan-jalan teruus. Untuk buruan beginian, jangan pelitlah. Keluar modal duluan nggak apa-apa toh kelak pasti balik modal dan berlebihan malah yang bakal kudapatkan."

                "Jadi, selama ini, saat jalan-jalan, selalu Kamu yang membiayai?"

                "Tentulah. Memberikan yang terbaik untuk yang tersayang. Tidak salah kan?"

                Tiba-tiba gawai mengisyaratkan ada pesan darinya. Dirly meminta maaf tidak dapat menyusulku ke rumah orangtuaku untuk mengajakku berjalan-jalan, karena Merta memaksanya untuk ditemani berbelanja lalu berlanjut ke tempat wisata.

                Hm...aku menghela napas. Entah mengapa, aku menjadi kesal kepadanya. Apa sih maunya? Apakah ia ingin memacari kami berdua? Ulahnya tidak dapat dibiarkan. Bagaimanapun, Merta temanku, ia harus diselamatkan dari rasa malu.

                "Mer, pacarmu itu merayuku lho. Ini buktinya,"aku menunjukkan isi gawaiku.

                Merta termenung lama, kemudian memelukku.

                "Duh, maaf ya Vin. Ulahku ini menikung nggak?" ia pun bercerita asal muasal perkenalan mereka. Merta yang ingin sekali memanasi mantan pacarnya, spontan menyabotnya untuk diajak berduaan dan memotret setiap momen kebersamaan mereka untuk diunggah di story IG-nya.

                "Memang berdampak? Bukankah ia sudah bertunangan dengan Nadila?"

                "Tapi, lumayan juga kan?   Dirly pun menikmati dan menurut saja kuajak foto-foto mesra kan? Untuk penghapus rasa maluku karena ia telah bertunangan dengan Nadila."

                Kulihat airmatanya berlinangan. Aku merasa iba juga.

                "Tapi Kamu telah mengeluarkan biaya begitu banyak untuk itu."

                "Nggak juga. Untuk BBM ia yang membiayai. Aku hanya mengeluarkan uang untuk makan."

                "Ke mana saja Kalian? Kemarin itu ia jual laptop yang kubeli itu. "

"Itu bukan untuk beli BBM. Ia ingin membelikanku peralatan membuat kue untuk hadiah ulang tahun."

"Tapi, ia belum bisa setia. Dirly masih mencoba merayuku,"sahutku dengan iba.

                Merta terdiam beberapa saat kemudian memelukku.

                "Betul. Ia bahkan beberapa kali memberi komentar di foto-fotomu. Aku jadi malu. Aku malu Nadila dan teman-teman menertawaiku. Bisakah Kamu menolongku?" tatapnya penuh harap.

                "Menolong bagaimana?" tanyaku berlagak bloon.

                "Pertama, jangan hiraukan rayuannya...

                "Ada uang mundur nggak nih?" godaku tertawa. Ia pun berjanji akan membelikan tas yang telah kuincar.

                "Kedua, hapuslah foto-fotomu yang ada komentar darinya."

                Aku pun menyetujuinya meskipun ingin mengatakan bahwa Merta harus berhati-hati kepadanya. Buktinya, ketika merayuku untuk mengajakku berjalan-jalan, begitu kuminta pamit kepada kedua orangtuaku, Dirly kembali menempel kepada Merta. Mungkin ia hanya iseng atau masih melakukan penjajagan.

Tapi Merta temanku. Maka, sore itu seperti tiga bulan yang lalu saat  aku kembali ke tempat kos, begitu Merta tidak ada di kamar kos karena sedang berjalan-jalan dengan Dirly aku pun hanya bisa berharap yang terbaik untuknya. Barangkali kelak mereka memang berjodoh? Karena Merta temanku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun