Uff!!! Ternyata aku tertidur sejak sore sebelum menemani suami dan anak-anak untuk makan malam. Waktu hampir pukul 24.00. Aku beranjak mengambil air wudu untuk salat Isya ketika suamiku masuk kamar setelah menonton TV.
"Sudah makan malam semua kan?" tanyaku basa-basi.
Seperti kebiasaan jika aku lembur atau rapat yang mengharuskanku pulang malam, urusan makan malam tentu sudah terselesaikan. Justru anak-anak lebih suka jika kutinggal bersibuk karena mereka pasti minta makan malam di luar berempat dengan ayahnya.
Seperti kebiasaan pula, walaupun kantuk luar biasa ibaratnya berjalan dengan mata terpejam, aku selalu membuka kamar anak-anakku satu per satu sekadar memastikan sudah di rumahkah mereka? Si sulung sudah mendengkur. Demikian pula si bungsu. Akan tetapi, kamar si anak tengah kosong. Ke manakah dia?
Bagaikan tentara yang harus siaga menghadapi musuh, kantukku mendadak hilang. Betapa berat mendapat titipan tiga orang jagoan. Jika si sulung saat dimarahi selalu minta maaf, si bungsu akan menemaniku bahkan membantuku memasak, lain lagi dengan si anak tengah. Jika dimarahi, ia berlalu kemudian mendiamkan aku, seolah ibunya tidak pernah ada.
Oleh karena itu, ketika mendapati kamarnya kosong, selain gelisah harus kucari ke mana, aku harus mencari-cari kalimat yang pas untuk menegurnya, yang tidak membuatnya marah. Ia sangat sensitif. Begitukah karakter anak tengah? Entahlah.
Tiba-tiba tampak sesosok tubuh sedang duduk di kursi taman dalam kegelapan. Ada nyala terang di tangannya, tentu itu gawainya. Aku pun pelan-pelan mendekatinya agar tak menimbulkan suara, kemudian duduk di sebelahnya. Ia hanya menoleh sebentar lalu menutup gawainya.
Tatkala melihat kerisauan membayangi wajahnya, aku pun memeluknya.
"Sudah lama sekali ibu tidak memelukmu, Nak. Ketika Kamu terbangun tidak menangis lagi jika tidak melihat ibu di sebelahmu, ibu pun menganggapmu sudah besar. Sudah tidak manja dan siap memiliki adik baru. Sejak saat itu, kita seolah menjadi jauh. Kamu selalu menjaga jarak dengan Ibu."
Tiba-tiba aku ingin menangis saat mengucapkan itu. Ia pun tidak memberontak seperti kebiasaannya jika kupeluk. Maka, aku pun tetap memeluknya sambil mengelus rambutnya karena kepalanya rebah di bahuku.
"Ibu tidak marah?" tanyanya lirih.