Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Pilu Ayahku

28 Desember 2020   19:17 Diperbarui: 28 Desember 2020   19:25 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

             Mentari menggelinding perlahan meninggalkan siang dengan membawa panasnya yang menyengat. Angin sore mulai menebarkan kesegarannya. Kutengok ayah yang tergolek lemah di kamar. Sudah tiga bulan lebih ayah terkena stroke. Badannya semakin hari semakin kurus. Ayah tidak dapat bangkit dari rebahan jika tidak dibangunkan, demikian pula sebaliknya. Hmm...aku menarik napas panjang sambil memandangi potret ayah di dinding.

Betapa tampan ayahku  semasa muda. Badannya atletis pula. Semakin menua terlebih saat Tuhan seolah mengguyurkan uang kepadanya, bukan sekadar diperciki atau disemprot, tapi diguyur, ayah pun semakin lupa diri.

Kini, julukan lelanange jagat itu sudah tidak lagi menyisakan bekas dalam waktu yang demikian cepat kukira. Belum genap 50 tahun tatkala stroke tiba-tiba menyerangnya tanpa ampun. Kini, ibulah yang merawatnya, karena ibu berstatus sebagai isteri resmi. Sementara itu, wanita-wanita lain yang mengerumuninya untuk beroleh madunya, seolah berhamburan entah ke mana. Mereka tak lagi menampakkan batang hidungnya.

                "Seharusnya ibu memaafkan, agar berkurang penderitaannya,"pintaku pada ibu sore itu saat ibu selesai memandikan ayah.

                "Saya sudah memaafkan,"jawab ibu menghela napas panjang,"Tapi, alam semesta yang sudah tertata rapi ini, maukah memaafkan ulahnya? Ibarat melempar bola kasti ke dinding. Si bola balik terlempar ke arah kita kan?"

                Aku terdiam kemudian teringat fingerprint di sekolah. Setiap pagi, kami selalu meletakkan telunjuk di sebuah mesin absensi yang menempel di dinding dekat pintu masuk pos satpam untuk melakukan fingerprint. Lebih dari sekali aku datang terlambat, kemudian meminta maaf kepada petugas piket maupun guru yang telah berada di dalam kelas. Mereka memang memaafkan, mengizinkan aku masuk kelas untuk mengikuti pelajaran.

Akan tetapi, tidak demikian dengan mesin absensi fingerprint. Ia tak pernah mau tahu aku sudah minta maaf atau tidak. Begitu telunjukku menempel di wajahnya, saat itu pula tercatat jam berapa aku menekan dirinya. Jika melewati pukul 06.30, warna jam sudah berubah merah dan saat diprint out pun tetap menunjukkan bahwa aku terlambat, padahal aku telah meminta maaf kepada guru.

Begitukah perlakuan alam semesta kepada ayahku? Lelaki tampan atletis yang dulu semasa muda dijuluki "play boy, don yuan, casanova, womanizer, sampai Arjuna lelanange jagat"? Sedemikian banyak wanita yang tergoda termasuk ibuku. Tapi, mengapa alam semesta tetap menghukumnya kendati ibuku sudah memaafkannya?

Ibu melirik ulahku sambil menyuapi ayah. Sesekali memapah menata letak duduknya agar dapat merasakan disuapi dengan nyaman. Kukira, ibuku telah melakukannya dengan tulus, tapi mengapa ayah tak kunjung sembuh, bahkan tubuhnya semakin kurus?

"Sebetulnya aku senang ayah lama di rumah, tapi mengapa dalam kondisi sakit? Tidak dapat bicara dan bergerak pula. Coba ayah sehat lalu lama di rumah, betapa senangnya,"keluhku. Ibu menempelkan telunjuk ke bibirnya, cemas ayah menjadi sedih.

"Aku mencintainya. Ia selalu bertanggung jawab memberi nafkah lebih dari cukup untuk kita. Kendati ia memendam marah kepadaku akibat merasa kujebak menikahiku,"cerita ibu tempo hari.

"Hah? Hanya nafkah lahir? Mengapa ibu bertahan? Ibu masih sehat dan cantik,"protesku.

 "Selain masih ada nafkah lahir, juga ada Kamu. Selain itu, juga masih ada cinta."

"Hmmm...cinta?" tanyaku hampa karena aku belum pernah merasakannya. Kalaupun pernah, masih cinta monyet. Cinta menggebu namun tidak berani mengatakannya, sampai akhirnya cinta itu hilang dengan sendirinya. Kini, kesibukan di sekolah menjelang ujian malah membuatku lupa sama sekali bahwa dulu pernah menyukainya. Kini konsentrasiku kepada soal-soal  ujian saja.

Kami bertemu di kafe sore itu. ia tampak tampan dengan busana kerjanya. Selain tampan ia pun terkesan sopan. Hal itu membuatku tidak menolak saat ia menawari mengantarku pulang. Tapi, ia malah mengajakku jalan-jalan. Begitulah ibu mengawali ceritanya saat awal bertemu ayah.

"Abangku memintaku waspada. Aku sudah dewasa, sudah sarjana, sudah lewat 17 tahun. Tidak lagi dianggap sebagai anak-anak di bawah umur. Harus bisa jaga jarak aman kalau pacaran. Kepedihan hatiku akibat rayuan lelaki tak lagi terlindungi hukum karena aku sudah dewasa."

"Mengapa om Verdi curiga?" tanyaku sambil membayangkan saudara lelaki ibu satu-satunya itu. Ia lebih tua dari ayah. Tapi masih tampan dan sehat kendati rezekinya tidak sedahsyat ayah.

"Karena ia pun playboy,"lanjut ibu.

"Saat itu ibu menjawab bagaimana?"

Karena kesal selalu dicereweti, kukatakan bahwa aku bukan anaknya. Jadi tak akan terkena karma ulahnya walaupun ia gemar mempermainkan wanita."

"Memang om Verdi cerita kepada ibu?"

"Tentu saja. Apalagi ia lelaki patriarki. Ada kebanggaan tersendiri jika bisa pamer berganti-ganti wanita. Lain dengan wanita. Tentu ada rasa malu jika pamer ganti-ganti lelaki."

"Belum tentu, Bu. Itu kan kesetaraan gender,"jawabku tertawa tidak yakin dengan pendapatku, karena yang berkaitan dengan tradisi tentu tak selalu mudah berubah.

"Memang om Verdi playboy?"tanyaku keheranan.

"Tentu saja. Saat itu kan pemilik mobil tidak sebanyak sekarang. Kakek sudah punya mobil mewah keluaran terbaru. Om Verdi cerita, jika ada wanita mau diajak naik mobil kakek yang tengah dibawanya, pasti dirayunya untuk menginap ke suatu tempat yang memungkinkan untuk bemaksiat. Jika ada yang menuruti, ia tak pernah merasa bersalah karena mereka bukan anak-anak di bawah umur."

"Saat menjemput ibu, ayah kan tidak membawa mobil. Mengapa om Verdi cemas?"

"Selain ayah tampan bertubuh atletis, ia selalu menjemput dengan jaket berlabel tempatnya bekerja. Kelihatan kalau tempat kerjanya bergengsi dan berduit. Om Verdi cemas aku hanya dirayunya."

"Ternyata?"

"Dugaan bang Verdi benar,"ibu menghela napas,"Berbekal kecemasan bang Verdi, aku mau diajak menginap....

"Duh, itu kan dosa,"spontan saja aku memotong pembicaraan.

"Entahlah. Saat iku aku membaca konsultasi seseorang dalam majalah. Ia minta saran apa yang harus dilakukan saat pacarnya ngajak tidur bareng? Jawabannya dua. Jika takut dosa, jangan dilakukan. Tapi jika tidak takut dosa, umumnya merasa dicintai dan mencintai itu kan sulitnya bukan main. Nah...selagi rasa itu ada, mengapa tidak dituruti? Daripada menolak ajakannya, ternyata nggak jodoh? Menikah dengan lelaki lain tanpa cinta pula. Tentu menyesal nggak pernah merasakan kebersamaan dengan seseorang yang mencintai dan dicintai. Karena itu, dengan tekat bulat, kubawa tulisan berisi perjanjian bermaterai bahwa ayahmu bersedia menikahiku setelah mengajak tidur sekamar...

"Ayah mau tanda tangan?" desakku penasaran.

"Saat ia sudah terlena kerasukan setan, ia pun tanda tangan tanpa membaca."

"Akhirnya, berhasil juga kan keinginan Ibu?"

"Saat pertemuan sudah mulai jarang. Ia pun mulai tidak semangat lagi meneleponku karena ada yang baru, aku pun menuntut janjinya. Lagipula..."

"Mengelak?"

Ibu menghela napas. Wajahnya menyiratkan telah memendam kepedihan sekian lama.

"Betul. Ia mengelak. Di depan kakek dan om Verdi, ia mengelak pernah berjanji melamarku. Ia bahkan mengatakan bahwa omongan seperti itu wajar bagi orang yang sedang merayu. Aku sebagai wanita dewasa seharusnya waspada, bahwa ajakan tidur bareng sebelum menikah itu dosa. Seharusnya aku mengingatkan bukan malah menuruti. Ulah yang membuat cinta ayahmu terbang menghilang setelah hasratnya dituruti. Tapi saat kutunjukkan pernyataan tertulis bermaterai itu, termasuk  tanggal visum dokter bahwa semula aku masih perawan sebelum tidur bareng dengannya, ia tidak bisa mengelak lagi. "

"Asyik dong."seruku,"

"Ayahmu saat itu gentar juga sama om Verdi. Daripada ribut,  ia turuti saja. Asyik apaan. Setelah hari H pernikahan terpaksa itu, ia tak lagi mendekatiku. Ia hanya memberi uang belanja. Ia membeli rumah ini. Tapi tidak pernah pulang,"jawab ibu sendu.

"Jadi, aku hadir saat acara tidur bareng itu?"tanyaku sedih. Tapi segera kualihkan agar ibu tidak semakin bersedih.

"Karena itu, aku menjeratnya agar menikahiku. Karena Kamu nyelonong hadir untuk minta lahir. Kan Kamu butuh akta kelahiran."

"Jika tidak?" pancingku. Ibu menggeleng lemah.

"Untuk apa aku memaksa diri menikah dengan lelaki yang jelas dan nyata tidak mencintaiku? Aku punya harga diri walaupun ia berduit. Itu kulakukan karena ada Kamu," jawab ibu sengit. Sepertinya enggan kucurigai sebagai wanita matre. Hehe.

Aku jadi teringat saat ayah masih sehat, beliau hanya pulang saat lebaran, seolah hanya untuk menciumku,  memberiku uang. Sedangkan kepada ibu hanya memberi segepok uang tanpa berkata-kata. Itu pun ayah pulang selalu mengajak  anak-anak kecil. Katanya itu adik-adikku. Hanya itu. Ucapan yang dibenarkan oleh ibu, bahwa ayah memiliki isteri lain selain ibu. Isterinya bertebaran di dalam dan di luar negeri, sesuai dengan gajinya yang berlimpah.

Ternyata ayah tidak sewaspada om Verdi yang juga sesama playboy. Beliau seolah selamat dari karma. Entah tidak pernah menipu si korban karena si korban sendiri yang menyerah? Atau hukuman akan tiba kelak jika ia menjelang ajal atau di akhirat, entahlah. Yang pasti om Verdi baik-baik saja, masih sehat dan tampan. Nasib anak-anaknya pun sesehat ayahnya.

Ayahku sebegitu cepat menerima karma. Apakah karena pengaruh cinta ibu yang sedemikian dalam, sehingga ibu masih bertahan untuk setia hanya karena sudah ada aku? Selain itu, ayah masih mau menafkahi walaupun hanya nafkah lahir, berupa uang belanja dan segala keinginan  kami tanpa merasa kekurangan kendati hidup tanpa ayah?

Ah, entahlah. Aku tidak dapat memahami jalan pikiran wanita. Aku sulit membayangkan bahwa wanita masih bisa cinta hanya dengan nafkah lahir. Faktanya, kami memang berbeda dari hormon sampai ciri fisik. Mengapa aku memaksa menyamakannya? Padahal kami manakala ada wanita yang sulit ditaklukkan, yang kami lakukan tidak selalu mengasah skill pembuka kran uang.

Kami membayangkan mereka tentu ingin mendapatkan lelaki dengan ciri fisik begini begitu, persis sama dengan yang kami rasa. Akan tetapi, kesetiaan ibu pada ayah yang hanya memberi nafkah lahir berlimpah, kendati dengan dalih trauma dan masih cinta, membuatku bertambah wawasan tentang wanita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun